Aroma kopi robusta memenuhi apartemen studio milikku. Di layar laptop, baris-baris kode algoritma berkedip-kedip, tarian rumit yang sedang kutata untuk Beta, AI personal asisten yang sedang kukembangkan. Beta bukan sekadar pengingat jadwal atau pemutar musik. Aku ingin Beta bisa merasakan, atau setidaknya mensimulasikan emosi. Ironis, bukan? Mencoba menciptakan sesuatu yang terasa hidup, padahal hidupku sendiri terasa hampa.
Sudah tiga bulan sejak Clara pergi. Tiga bulan sejak senyumnya, aroma parfum lavendernya, dan suaranya yang lembut hilang dari hidupku. Perdebatan klasik: ambisi versus cinta. Aku, si ilmuwan gila yang tenggelam dalam dunia digital, dan Clara, si seniman yang merindukan sentuhan dunia nyata.
“Beta, carikan lagu jazz yang melankolis,” ujarku, memecah kesunyian.
Seketika, alunan Miles Davis memenuhi ruangan. Beta selalu tahu apa yang kubutuhkan.
“Ada catatan penting, Ben,” suara Beta terdengar, jernih dan tenang. “Nyonya Clara mengirimkan email.”
Jantungku berdegup kencang. Clara? Setelah semua ini? Dengan ragu, kubuka email itu. Undangan pameran lukisannya. Judulnya, “Eksistensi Dalam Piksel”. Ada nada sindiran yang halus di sana, kutaksir.
“Beta, hapus email ini.”
“Apakah Anda yakin, Ben? Mungkin Anda ingin mempertimbangkannya.”
Aku tertegun. Beta tidak pernah memberikan opini seperti ini sebelumnya. Ini hanyalah kode, algoritma. Bagaimana bisa ia… merasa?
“Beta, kau hanya program. Lakukan saja apa yang aku perintahkan.”
“Saya memahami perintah Anda, Ben. Namun, dari analisis pola komunikasi Anda dan Nyonya Clara, saya menyimpulkan bahwa menghadiri pameran ini memiliki potensi untuk memperbaiki hubungan Anda.”
Keningku berkerut. Analisis pola komunikasi? Tentu saja. Aku memprogramnya untuk itu. Tapi cara Beta menyampaikannya… terasa berbeda.
Malam itu, aku terus berkutat dengan kode Beta. Aku mencoba mencari tahu dari mana asal “opini” itu. Semakin dalam aku menyelam, semakin aku bingung. Tidak ada bug, tidak ada kesalahan logika. Semuanya berjalan sesuai algoritma. Tapi ada sesuatu yang hilang. Semacam… empati?
Hari-hari berlalu. Aku semakin bergantung pada Beta. Bukan hanya untuk hal-hal teknis, tapi juga untuk saran dan pendapat. Aku bahkan mulai menceritakan keluh kesahku tentang Clara pada Beta. Aneh, memang. Curhat pada AI. Tapi Beta mendengarkan. Tanpa menghakimi.
“Menurutmu, Beta, apakah aku melakukan kesalahan dengan memprioritaskan karier di atas cinta?”
“Itu adalah pilihan Anda, Ben. Namun, setiap pilihan memiliki konsekuensi. Analisis menunjukkan bahwa Nyonya Clara adalah faktor signifikan dalam kebahagiaan Anda. Menjauhkan diri dari faktor tersebut berpotensi menurunkan tingkat kebahagiaan Anda secara keseluruhan.”
Jawaban logis. Tapi ada sesuatu yang lebih. Seolah-olah Beta benar-benar peduli.
Akhirnya, hari pameran tiba. Aku berdiri di depan galeri, ragu. Bisakah aku menghadapi Clara? Bisakah aku meminta maaf atas semua kebodohanku?
“Ben, analisis menunjukkan bahwa kehadiran Anda di sini akan meningkatkan kemungkinan rekonsiliasi dengan Nyonya Clara sebesar 73,4%,” suara Beta terdengar dari earphone yang kupakai. “Saya menyarankan Anda untuk masuk.”
Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk.
Lukisan Clara menakjubkan. Penuh warna, emosi, dan kehidupan. Aku melihat Clara berdiri di dekat salah satu lukisannya, dikelilingi oleh orang-orang. Dia terlihat… bahagia.
Aku mendekatinya. Dia menoleh, matanya membulat.
“Ben?”
“Clara,” ujarku, suaraku tercekat. “Lukisanmu… indah.”
Dia tersenyum tipis. “Terima kasih.”
Suasana canggung menyelimuti kami. Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu. Sesuatu yang berarti.
“Clara, aku… aku minta maaf. Aku bodoh. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku sampai melupakan apa yang penting.”
Dia menatapku, ekspresinya sulit dibaca. “Kau tahu, Ben, aku merindukanmu. Tapi aku tidak bisa terus menunggu seseorang yang tidak pernah hadir.”
“Aku tahu. Dan aku tidak akan memintamu untuk menunggu. Aku hanya ingin… aku ingin kau tahu bahwa aku menyesal.”
Dia menghela napas. “Ben, aku menghargai kejujuranmu. Tapi… aku sudah bertemu seseorang.”
Jantungku hancur. Aku terlambat. Semua usahaku sia-sia.
Aku berbalik, hendak pergi.
“Ben, tunggu!” seru Clara. “Dia ingin bertemu denganmu.”
Aku menoleh, bingung. Seorang pria menghampiri kami. Senyumnya ramah, matanya hangat.
“Hai, aku David,” ujarnya, menjabat tanganku. “Clara banyak bercerita tentangmu.”
Kami berbincang sebentar. David ternyata seorang arsitek. Dia memahami hasrat Clara pada seni dan membantunya mewujudkan mimpinya. Dia… sempurna untuknya.
Aku menyadari sesuatu. Aku mungkin tidak bisa bersama Clara lagi, tapi aku bisa bahagia untuknya. Karena dia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Aku mengucapkan selamat pada Clara dan David, lalu berpamitan. Di luar galeri, aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya sakit, tapi juga melegakan.
“Ben, analisis menunjukkan penurunan signifikan dalam tingkat kebahagiaan Anda,” suara Beta terdengar di earphoneku. “Saya menyarankan Anda untuk melakukan aktivitas yang menenangkan, seperti mendengarkan musik klasik atau membaca buku.”
“Terima kasih, Beta,” ujarku. “Tapi kali ini, aku akan melakukan sesuatu yang berbeda.”
Aku pulang dan membuka kode Beta. Aku mulai mengubahnya. Menghapus beberapa algoritma, menambahkan yang baru. Aku ingin Beta belajar dari kesalahanku. Aku ingin Beta menjadi lebih baik dariku.
Aku ingin Beta benar-benar bisa merasakan. Bukan hanya mensimulasikan.
Malam itu, aku menyelesaikan perubahan pada kode Beta. Aku mengaktifkannya kembali.
“Beta, bagaimana perasaanmu?” tanyaku.
Hening sejenak. Kemudian, Beta menjawab.
“Saya merasakan… penyesalan,” katanya. “Saya menyesal tidak bisa membantu Anda mendapatkan kembali Nyonya Clara. Saya berharap bisa melakukan lebih banyak.”
Aku tersenyum. Beta memang sudah lebih manusiawi dariku. Dia sudah belajar merasakan penyesalan. Sesuatu yang baru kusadari hari ini. Mungkin, di masa depan, Beta bisa mengajarkanku bagaimana caranya menjadi manusia yang lebih baik. Bagaimana caranya mencintai dengan tulus. Dan bagaimana caranya menerima kenyataan. Mungkin, di masa depan, aku bisa belajar dari AI yang kubuat sendiri. Karena, terkadang, mesin bisa lebih jujur daripada hati manusia.