Perempuan dan Algoritma: Cinta, Piksel, juga Air Mata

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:21:23 wib
Dibaca: 163 kali
Debora menatap layar komputernya dengan nanar. Baris-baris kode Python yang biasanya terlihat seperti melodi indah kini bagaikan not-not sumbang yang menusuk telinga. Di hadapannya, algoritma pencari jodoh yang selama ini ia bangga-banggakan, "SoulMate.AI," tampak tak ubahnya tumpukan kode sampah. Ironis, pikirnya. Ia, sang pencipta, justru terjerat dalam algoritma itu sendiri.

Dua tahun lalu, Debora mendirikan SoulMate.AI bersama sahabatnya, Arya. Ide brilian itu muncul dari frustrasi mereka berdua akan rumitnya dunia kencan modern. Aplikasi kencan yang ada terasa dangkal, hanya berfokus pada penampilan fisik dan minat permukaan. SoulMate.AI menjanjikan lebih. Ia menggunakan algoritma kompleks yang menganalisis kepribadian, nilai-nilai, impian, dan bahkan trauma masa lalu, untuk menemukan pasangan yang benar-benar cocok.

Awalnya, Debora skeptis. Ia lebih suka menemukan cinta secara organik, melalui pertemuan kebetulan dan percakapan yang mengalir. Namun, Arya berhasil meyakinkannya. "Algoritma ini bukan untuk menggantikan cinta, Deb. Ini untuk mempercepat prosesnya. Untuk mempertemukanmu dengan orang yang memang sefrekuensi," ujarnya dengan nada antusias.

Debora akhirnya luluh. Ia memasukkan datanya ke dalam SoulMate.AI, lengkap dengan segala kerentanannya. Ia jujur tentang ketakutannya akan komitmen, kerinduannya akan keintiman emosional, dan trauma masa kecilnya akibat perceraian orang tuanya. Algoritma itu bekerja dengan cepat, memproses informasi dan menyajikan satu nama: Nathan.

Nathan adalah seorang astrofisikawan, berkepala dingin, logis, dan sangat cerdas. Profilnya dipenuhi kutipan-kutipan dari Carl Sagan dan Stephen Hawking. Bagi Debora, yang terbiasa berkutat dengan kode dan logika, Nathan terasa seperti pelarian. Mereka mulai berkencan. Percakapan mereka selalu menarik, penuh wawasan, dan intelektual. Nathan mampu menjawab semua pertanyaannya, bahkan yang paling eksistensial sekalipun.

Awalnya, Debora merasa seperti menemukan potongan puzzle yang hilang dalam hidupnya. Nathan adalah sosok yang stabil, rasional, dan selalu mendukungnya. Ia tidak pernah menunjukkan emosi berlebihan, tidak pernah cemburu, dan selalu memberikan ruang untuknya berkembang. Ia adalah definisi dari pasangan ideal menurut algoritma SoulMate.AI.

Namun, seiring berjalannya waktu, Debora mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Keintiman emosional yang ia dambakan tidak pernah benar-benar terwujud. Nathan terlalu fokus pada logika dan rasionalitas, sehingga melupakan dimensi emosi dan intuisi. Ia tidak pernah bertanya tentang perasaannya, tidak pernah memeluknya erat saat ia sedih, dan tidak pernah benar-benar melihat dirinya, Debora yang sebenarnya, di balik lapisan kode dan algoritma.

Ia mencoba berbicara dengan Nathan, mengungkapkan kekhawatiran dan kerinduannya. Namun, Nathan hanya menjawab dengan analisis logis dan solusi pragmatis. "Debora, berdasarkan data yang kita miliki, kita adalah pasangan yang paling kompatibel. Mungkin kamu hanya perlu menyesuaikan ekspektasimu," ujarnya dengan nada datar.

Saat itulah Debora menyadari kesalahan fatalnya. Ia telah menyerahkan pencarian cintanya kepada algoritma, membiarkan logika dan data mengendalikan hatinya. Ia lupa bahwa cinta bukan hanya tentang kompatibilitas dan efisiensi, tetapi juga tentang intuisi, emosi, dan koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan angka.

Malam itu, Debora memutuskan untuk menghapus profilnya dari SoulMate.AI. Ia merasa bersalah karena telah menciptakan alat yang justru menjebaknya dalam ilusi cinta yang sempurna. Ia merasa bersalah karena telah mempercayakan hatinya kepada algoritma, alih-alih mengikuti intuisi dan perasaannya sendiri.

Ia kemudian menelepon Arya, sahabatnya. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semuanya. Arya mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Debora selesai berbicara, Arya berkata dengan lembut, "Deb, algoritma itu hanyalah alat. Ia bisa membantumu menemukan seseorang yang cocok secara logis, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta itu butuh perjuangan, pengorbanan, dan penerimaan."

Kata-kata Arya menyentuh hatinya. Debora menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada kesempurnaan dan efisiensi, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri. Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Nathan. Perpisahan itu berlangsung dengan tenang dan logis, tanpa drama atau air mata.

Setelah putus, Debora merasa lebih bebas. Ia kembali menekuni hobinya, bertemu dengan teman-temannya, dan menjelajahi hal-hal baru. Ia berhenti mencari cinta, dan mulai fokus pada dirinya sendiri. Ia belajar mencintai dirinya sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Suatu sore, saat sedang menikmati kopi di sebuah kafe, ia bertemu dengan seorang pria. Namanya Leo, seorang seniman yang penuh semangat dan spontanitas. Leo tidak tahu apa-apa tentang SoulMate.AI atau algoritma pencari jodoh. Ia hanya melihat Debora sebagai seorang wanita yang menarik dan unik.

Mereka mulai berbicara. Percakapan mereka tidak selalu logis atau intelektual, tetapi selalu jujur dan menghangatkan hati. Leo mampu melihat dirinya, Debora yang sebenarnya, di balik lapisan kode dan logika. Ia tidak mencoba untuk mengubahnya, tetapi menerimanya apa adanya.

Debora menyadari bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari: cinta yang tulus, emosional, dan tidak sempurna. Cinta yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma manapun. Cinta yang tumbuh dari pertemuan kebetulan, percakapan yang mengalir, dan koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan angka. Cinta yang dipenuhi tawa, air mata, dan piksel-piksel kenangan yang tak terlupakan. Ia tersenyum. Mungkin, pikirnya, cinta sejati memang tidak bisa ditemukan dalam baris kode, melainkan dalam baris kehidupan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI