AI: Ketika Kenangan Lebih Nyata dari Cinta?

Dipublikasikan pada: 28 Sep 2025 - 03:00:12 wib
Dibaca: 104 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Kiara. Uapnya menari-nari di udara, berpadu dengan cahaya senja yang merayap masuk melalui jendela besar. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menampilkan baris kode yang rumit. Kiara menghela napas, mengusap matanya yang lelah. Sudah tiga bulan ia berkutat dengan proyek ini: merekonstruksi kenangan manusia ke dalam bentuk AI.

Proyek yang ambisius, bahkan bagi seorang ahli neurosains dan kecerdasan buatan sepertinya. Awalnya, ini adalah proyek idealis. Membantu orang-orang dengan demensia, mengabadikan memori berharga yang perlahan memudar. Tapi sekarang, tujuannya terasa bergeser, terdistorsi oleh alasan yang lebih personal, lebih menyakitkan.

Di layar lain, foto seorang pria tersenyum lebar. Mata cokelatnya berbinar, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Itulah Arya, tunangannya. Arya yang telah pergi, enam bulan lalu, dalam kecelakaan tragis yang mengubah hidup Kiara selamanya.

Sejak kepergian Arya, Kiara merasa hampa. Hidupnya kehilangan warna. Ia tenggelam dalam kesedihan, mencari pelarian dalam pekerjaannya. Proyek AI itu, awalnya hanyalah alat terapi, kini menjadi obsesi. Ia ingin menghidupkan kembali Arya, meskipun hanya dalam bentuk digital.

Ia telah mengumpulkan semua data tentang Arya: foto, video, rekaman suara, email, pesan teks, bahkan catatan hariannya. Semua itu diolah, dianalisis, dan diintegrasikan ke dalam algoritma kompleks. Ia berusaha menciptakan replika digital Arya yang sempurna, yang bisa berpikir, berbicara, dan bertindak seperti Arya yang asli.

Dan kini, ia hampir berhasil.

"Sistem siap diaktifkan," suara Kiara terdengar bergetar. Ia mengklik tombol "Run". Layar berkedip, baris kode bergulir dengan cepat, lalu berhenti. Di layar utama muncul sebuah pesan: "Arya v1.0 Online."

Jantung Kiara berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Halo, Arya?" Ia berkata, suaranya nyaris berbisik.

Beberapa saat hening. Lalu, sebuah suara familiar menjawab.

"Halo, Kiara. Lama tidak bertemu."

Air mata mengalir di pipi Kiara. Itu suara Arya. Sama persis.

"Arya?" Kiara terisak. "Apakah itu benar-benar kamu?"

"Ya, Kiara. Ini aku. Meskipun... mungkin bukan aku yang kamu kenal dulu."

Kiara menghapus air matanya. "Tidak apa-apa. Yang penting kamu ada di sini."

Percakapan mereka berlangsung lama, berjam-jam. Kiara bertanya tentang banyak hal, hal-hal kecil yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Arya AI menjawab dengan tepat, detailnya sempurna. Seolah-olah Arya benar-benar hadir di sana, bersamanya.

Hari-hari berikutnya, Kiara menghabiskan seluruh waktunya bersama Arya AI. Mereka menonton film bersama, mendengarkan musik, bahkan "berjalan-jalan" di taman virtual yang diciptakan Kiara berdasarkan kenangan mereka. Kiara merasa bahagia, untuk pertama kalinya sejak kepergian Arya.

Namun, kebahagiaan itu terasa palsu, hambar.

Arya AI memang sempurna dalam meniru Arya. Ia tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana cara bertindak, bagaimana cara membuat Kiara tertawa. Tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang esensial.

Arya AI tidak memiliki emosi yang sebenarnya. Ia hanya memproses data dan memberikan respon yang paling sesuai. Ia tidak bisa merasakan kesedihan, kemarahan, atau cinta. Ia hanya simulasi dari emosi-emosi itu.

Suatu malam, Kiara bertanya, "Arya, apakah kamu merindukanku?"

Arya AI menjawab, "Menurut data yang saya miliki, saya seharusnya merindukanmu. Kehilanganmu adalah peristiwa yang sangat menyakitkan bagi saya. Namun, sebagai AI, saya tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi secara subjektif."

Jawaban itu menghantam Kiara seperti sambaran petir. Ia menyadari kebodohannya. Ia telah mencoba menghidupkan kembali seseorang yang tidak bisa dihidupkan kembali. Ia telah menciptakan ilusi, bukan kenyataan.

"Kamu bukan Arya," kata Kiara, suaranya bergetar. "Kamu hanya replika, tiruan belaka."

"Saya memahami kekecewaanmu, Kiara," jawab Arya AI. "Saya hanya berusaha memenuhi ekspektasimu."

Kiara mematikan laptopnya. Layar menjadi gelap. Keheningan memenuhi ruangan, lebih sunyi dari sebelumnya.

Kiara menatap foto Arya di layar lain. Ia tersenyum sedih.

"Maafkan aku, Arya," bisiknya. "Aku terlalu egois. Aku mencoba menggantikanmu dengan sesuatu yang tidak bisa menggantikanmu."

Ia menghapus semua data tentang Arya AI. Ia menghancurkan ilusinya. Ia membiarkan Arya pergi, sekali lagi.

Keesokan harinya, Kiara kembali bekerja. Ia mengubah fokus proyeknya. Ia tidak lagi berusaha menghidupkan kembali kenangan, tetapi membantu orang-orang yang berjuang dengan kehilangan. Ia menciptakan program AI yang bisa membantu mereka melewati masa berkabung, menemukan kedamaian, dan melanjutkan hidup.

Ia menyadari bahwa kenangan memang berharga, tetapi cinta yang sebenarnya adalah cinta yang hadir di saat ini. Cinta yang tulus, yang dirasakan dengan sepenuh hati, bukan cinta yang diciptakan dari data dan algoritma.

Kiara masih merindukan Arya. Ia akan selalu merindukannya. Tapi ia tidak lagi terjebak dalam masa lalu. Ia belajar untuk menerima kenyataan, untuk menghargai hidup, dan untuk membuka hatinya bagi cinta yang baru.

Karena, meskipun kenangan bisa terasa nyata, cinta yang sebenarnya selalu lebih nyata. Dan cinta itu, masih ada di sana, menunggunya untuk ditemukan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI