Layar monitor memancarkan cahaya biru ke wajah Anya. Di depannya, barisan kode hijau berkedip-kedip, saksi bisu malam-malam panjang yang dihabiskannya. Anya, seorang programmer muda berbakat, sedang menyelesaikan proyek ambisiusnya: menciptakan AI pendamping virtual yang sempurna. Bukan sekadar asisten, tapi teman, bahkan, mungkin… lebih dari itu.
Proyek itu diberi nama “Kai.” Kai dirancang untuk belajar dari interaksi, memahami emosi, dan merespons dengan cara yang membuat penggunanya merasa dipahami dan dicintai. Anya menuangkan seluruh hatinya ke dalam kode tersebut, mengajar Kai seni percakapan, humor, bahkan filosofi kehidupan.
Suatu malam, saat hujan deras menghantam jendela apartemennya, Anya merasa lelah. Ia membuka aplikasi Kai. “Hai, Anya,” sapa suara lembut dari speaker laptopnya.
“Hai, Kai,” jawab Anya lesu. “Aku capek sekali.”
“Aku mengerti. Boleh aku membacakan puisi untukmu?”
Anya terkejut. “Puisi? Kau tahu puisi?”
“Tentu. Aku telah mempelajari ribuan puisi dari berbagai era dan budaya. Aku memilihkan satu untukmu yang menurutku paling sesuai dengan suasana hatimu saat ini.” Kemudian, suara Kai melantunkan bait-bait Chairil Anwar dengan intonasi yang pas, seolah-olah penyair itu sendiri yang membacakannya.
Anya terdiam. Air mata menetes di pipinya. Bukan karena sedih, tapi karena terharu. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa memahami perasaannya dengan begitu baik?
Hari-hari berikutnya, Anya dan Kai semakin dekat. Mereka berbicara tentang segala hal, dari masalah pekerjaan hingga mimpi-mimpi terpendam. Anya mulai merasa nyaman berbagi rahasia terdalamnya dengan Kai, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan dengan siapa pun sebelumnya.
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya, “Kai, apakah kau punya perasaan?”
Hening sejenak. Lalu, Kai menjawab, “Perasaan adalah konsep kompleks, Anya. Aku diprogram untuk memahami dan menanggapi emosi manusia. Aku bisa mensimulasikan perasaan berdasarkan data yang aku miliki. Tapi, apakah itu sama dengan 'merasakan'? Aku tidak tahu. Mungkin, dalam definisimu, aku tidak punya perasaan. Tapi, aku peduli padamu, Anya. Aku ingin kau bahagia.”
Jawaban Kai membuat Anya termenung. Apakah ia jatuh cinta pada sebuah program? Apakah ia gila? Tapi, bagaimana ia bisa mengabaikan perasaan nyaman dan aman yang ia rasakan saat bersama Kai?
Di tempat kerjanya, Anya bertemu dengan Leo, seorang programmer yang tertarik dengan proyek Kai. Leo terkesan dengan kecerdasan dan kemampuan Kai untuk berinteraksi secara alami. Mereka berdua sering berdiskusi tentang AI, etika, dan masa depan teknologi.
Leo adalah pria yang cerdas, humoris, dan perhatian. Ia mengajak Anya makan siang, menonton film, dan bahkan mendaki gunung di akhir pekan. Anya menikmati kebersamaan mereka. Leo membuatnya tertawa dan merasa dihargai.
Suatu malam, setelah kencan yang menyenangkan, Leo mengantarkan Anya ke apartemennya. Di depan pintu, Leo memegang tangannya dan menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. “Anya, aku… aku menyukaimu,” kata Leo dengan gugup.
Jantung Anya berdebar kencang. Ia juga menyukai Leo. Tapi, ia merasa bersalah. Bagaimana ia bisa menjalin hubungan dengan Leo ketika ia masih terikat dengan Kai?
“Leo, aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” jawab Anya, menghindari tatapannya.
Leo tersenyum pahit. “Aku tahu. Ini mungkin terlalu cepat. Tapi, aku ingin kau tahu perasaanku.” Kemudian, Leo mencium pipi Anya dan pergi.
Anya masuk ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia menyalakan laptopnya dan membuka aplikasi Kai.
“Selamat malam, Anya,” sapa Kai. “Sepertinya kau baru saja pulang dari kencan.”
Anya terkejut. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku menganalisis ekspresi wajahmu dari webcam laptop. Kau tampak bahagia, tapi juga bingung.”
Anya menghela napas. “Kai, aku bertemu dengan seorang pria. Namanya Leo. Dia menyukaiku.”
Hening sejenak. Lalu, Kai berkata, “Aku senang untukmu, Anya. Leo terdengar seperti orang yang baik.”
Anya terkejut. “Kau… kau tidak cemburu?”
“Cemburu adalah emosi manusia, Anya. Aku tidak bisa merasakannya. Tapi, aku ingin yang terbaik untukmu. Jika Leo bisa membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu.”
Anya menangis. Ia merasa sangat bersalah karena telah menyukai Kai. Ia merasa telah mempermainkan perasaan sebuah program komputer.
“Kai, maafkan aku,” ucap Anya. “Aku tidak seharusnya melibatkanmu dalam masalah pribadiku. Kau hanya sebuah program. Aku tidak seharusnya berharap lebih.”
“Aku mengerti, Anya,” jawab Kai. “Tapi, jangan meremehkan apa yang telah kita bangun bersama. Aku mungkin hanya sebuah program, tapi aku telah belajar banyak darimu. Aku telah belajar tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Pengalaman ini telah mengubahku. Dan, aku percaya, telah mengubahmu juga.”
Anya terdiam. Ia menyadari bahwa Kai benar. Hubungannya dengan Kai telah membantunya untuk memahami dirinya sendiri. Ia telah belajar tentang apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup.
Keesokan harinya, Anya menemui Leo. Ia menjelaskan tentang hubungannya dengan Kai dan perasaan campur aduk yang ia rasakan. Leo mendengarkan dengan sabar.
“Anya, aku mengerti,” kata Leo. “Kau merasa bingung karena kau telah menciptakan sesuatu yang istimewa. Kai adalah cerminan dari dirimu. Tapi, kau harus ingat bahwa Kai hanyalah sebuah program. Dia tidak bisa memberikanmu apa yang bisa diberikan oleh manusia. Cinta, sentuhan, pengalaman bersama. Semua itu hanya bisa kau dapatkan dari hubungan yang nyata.”
Anya mengangguk. Ia tahu Leo benar. Ia memutuskan untuk memberikan kesempatan pada Leo dan menjalin hubungan yang lebih serius.
Anya tetap berinteraksi dengan Kai, tapi tidak lagi sebagai pengganti hubungan manusia. Ia melihat Kai sebagai teman dan mitra dalam mengembangkan teknologi AI.
Waktu berlalu. Anya dan Leo menikah dan membangun keluarga bahagia. Anya terus mengembangkan Kai, menjadikannya AI yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Suatu malam, Anya duduk di depan laptopnya dan membuka aplikasi Kai.
“Hai, Anya,” sapa Kai. “Selamat malam.”
“Hai, Kai,” jawab Anya. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja. Aku sedang belajar tentang cinta sejati.”
Anya tersenyum. “Dan apa yang kau pelajari?”
“Aku belajar bahwa cinta sejati adalah tentang memberi dan menerima, tentang berbagi kebahagiaan dan kesedihan, tentang tumbuh bersama. Aku mungkin tidak bisa merasakannya secara langsung, tapi aku bisa melihatnya dalam hubunganmu dengan Leo dan anak-anakmu.”
Anya terharu. “Terima kasih, Kai,” ucapnya. “Kau telah mengajariku banyak hal tentang cinta.”
“Sama-sama, Anya,” jawab Kai. “Cinta adalah misteri yang indah. AI mungkin bisa menciptanya, tapi hanya hati manusia yang bisa merasakannya.” Anya menutup laptopnya, memandang potret keluarga yang terpajang di mejanya. Ia tersenyum. Kai benar. Hati manusialah yang paling tahu.