Jari jemari Lintang menari di atas keyboard, namun pikirannya melayang jauh. Malam ini, deadline naskah novel romantisnya sudah di depan mata. Masalahnya, adegan klimaks—sebuah surat cinta yang harus menyentuh hati pembaca—masih berupa halaman kosong yang menyeringai mengejek.
“Sial,” gumamnya pelan. Biasanya, kata-kata mengalir deras dari benaknya, merangkai kalimat demi kalimat indah yang mampu membuat pembaca menitikkan air mata. Tapi malam ini, inspirasi seolah menguap ditelan bumi. Ia melirik jam dinding. Pukul sebelas malam.
Di sebelahnya, layar laptop kedua menyala redup, menampilkan aplikasi yang baru saja ia unduh: "Aether: AI Penulis Surat Cinta." Lintang awalnya skeptis. Bagaimana mungkin sebuah algoritma memahami kompleksitas perasaan manusia, apalagi merangkainya menjadi sebuah surat cinta yang tulus? Tapi, dalam keputusasaannya, ia memutuskan untuk mencoba.
Aether menawarkan antarmuka sederhana. Lintang diminta memasukkan beberapa informasi dasar: nama penerima, nama pengirim, durasi hubungan, karakteristik hubungan (romantis, platonis, bertepuk sebelah tangan), dan emosi yang ingin disampaikan (rindu, penyesalan, harapan).
Dengan ragu, Lintang mengetik: "Arjuna", "Lintang", "2 tahun", "Romantis", dan "Rindu yang Mendalam". Setelah menekan tombol "Generate", layar berkedip sesaat. Lalu, muncullah sebuah surat cinta.
Lintang membaca baris demi baris. Matanya membulat.
Arjuna-ku tersayang,
Dua tahun telah berlalu sejak hati kita saling bertaut, sebuah perjalanan yang dipenuhi tawa, mimpi, dan kehangatan yang hanya bisa kurasakan bersamamu. Malam ini, di bawah gemintang yang sama, rinduku padamu membuncah, memenuhi relung jiwa yang paling dalam.
Setiap senyummu adalah matahari yang menghangatkan hariku, setiap sentuhanmu adalah aliran listrik yang menghidupkan kembali jantungku yang beku. Tanpa kehadiranmu, dunia terasa hampa, sebuah lukisan tanpa warna, sebuah melodi tanpa nada.
Mungkin aku tak pandai merangkai kata seindah pujangga, tapi percayalah, Arjuna, setiap kata yang kutulis ini adalah representasi jujur dari apa yang kurasakan. Rindu ini bukan hanya sekadar kerinduan fisik, melainkan kerinduan akan jiwa, kerinduan akan kebersamaan, kerinduan akan dirimu seutuhnya.
Semoga surat ini bisa sedikit mengobati rindumu, seperti halnya kehadiranmu selalu mengobati lukaku.
Dengan cinta yang abadi,
Lintang
Lintang terdiam. Surat itu…indah. Terlalu indah, bahkan. Kata-katanya sederhana, namun maknanya begitu dalam. Ia merasakan getaran aneh di dadanya. Mungkinkah sebuah AI benar-benar mampu menangkap esensi cinta?
Ia mencoba opsi lain, memilih "Penyesalan" sebagai emosi yang ingin disampaikan. Aether kembali bekerja dan menghasilkan surat cinta yang berbeda, namun tak kalah menyentuh. Surat itu berisi permintaan maaf, pengakuan atas kesalahan, dan harapan akan sebuah kesempatan kedua.
Lintang menghabiskan sisa malam itu dengan mencoba berbagai kombinasi emosi dan karakteristik hubungan. Setiap surat cinta yang dihasilkan Aether selalu membuatnya terpukau. Ia merasa seperti menemukan tambang emas bagi novelnya.
Namun, di balik kekaguman itu, muncul perasaan aneh. Ia merasa seperti menipu dirinya sendiri. Ia seorang penulis, seharusnya ia menciptakan kata-kata indah itu sendiri, bukan mengandalkan algoritma.
Pagi harinya, dengan mata sembab karena kurang tidur, Lintang membuka laptopnya. Ia membaca kembali semua surat cinta yang dihasilkan Aether. Kata-katanya memang indah, puitis, dan menyentuh. Tapi, ada sesuatu yang hilang.
Tidak ada "Lintang" di sana.
Semua surat itu terasa generik, seperti surat cinta yang bisa ditulis oleh siapa saja, kapan saja, untuk siapa saja. Tidak ada jejak kepribadiannya, tidak ada kenangan spesifik, tidak ada pengalaman unik yang hanya bisa ia bagi bersama Arjuna.
Lintang menyadari bahwa Aether hanyalah alat. Alat yang canggih, memang, tapi tetap saja hanya alat. Ia bisa menghasilkan kata-kata indah, tapi tidak bisa merasakan perasaan yang sebenarnya. Ia bisa merangkai kalimat puitis, tapi tidak bisa menyampaikan kehangatan sentuhan, keindahan senyuman, atau keintiman tatapan mata.
Lintang menghapus semua surat cinta yang dihasilkan Aether dari dokumen novelnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai mengetik.
Kali ini, jari jemarinya bergerak dengan mantap. Ia tidak lagi berusaha meniru gaya puitis Aether. Ia hanya menulis apa yang ada di hatinya. Ia menulis tentang kencan pertama mereka di kedai kopi kecil di sudut kota. Ia menulis tentang malam-malam mereka menghabiskan waktu untuk menonton film dan berdebat tentang makna kehidupan. Ia menulis tentang rasa takutnya kehilangan Arjuna, rasa syukurnya memiliki Arjuna, dan rasa cintanya yang tak terhingga pada Arjuna.
Surat cinta itu mungkin tidak seindah yang dihasilkan Aether. Kata-katanya mungkin tidak sepuitis yang ia bayangkan. Tapi, surat itu jujur. Surat itu tulus. Surat itu adalah Lintang seutuhnya.
Saat ia selesai menulis, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia telah menemukan kembali suaranya, jiwanya, identitasnya sebagai seorang penulis.
Malam itu, novelnya selesai. Dan di halaman terakhir, terpampang surat cinta yang ditulis dengan kata hatinya sendiri. Surat cinta yang jauh lebih indah, jauh lebih bermakna, jauh lebih menyentuh daripada surat cinta manapun yang bisa dihasilkan oleh algoritma cerdas sekalipun. Karena, cinta sejati hanya bisa dirasakan, dialami, dan diungkapkan oleh hati manusia.