Aplikasi "SoulConnect" itu, ironisnya, mempertemukan mereka di saat keduanya merasa paling terisolasi. Elara, seorang programmer introvert yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, menemukan kenyamanan dalam algoritma dan kode, menjauhi keramaian dunia nyata. Sementara itu, Raka, seorang musisi berbakat yang kehilangan pendengarannya akibat kecelakaan, merasa dunianya sunyi dan hampa, nada-nada indah yang dulu mengalir dari jemarinya kini hanya gema di dalam ingatannya.
SoulConnect menjanjikan koneksi yang lebih dalam dari sekadar obrolan biasa. Ia menganalisis gelombang otak, frekuensi emosi, dan pola berpikir penggunanya, lalu mencocokkannya dengan orang lain yang memiliki resonansi serupa. Elara skeptis, tetapi rasa ingin tahu dan kesepian mengalahkannya. Raka, di sisi lain, mencoba apa saja yang bisa membawa secercah harapan ke dalam kehidupannya.
Awalnya, percakapan mereka canggung, dipenuhi emoji dan pertanyaan basa-basi. Namun, lambat laun, mereka mulai membuka diri. Elara menceritakan obsesinya pada dunia virtual, bagaimana ia menciptakan program yang bisa memahami emosi manusia lebih baik daripada manusia itu sendiri. Raka berbagi tentang kecintaannya pada musik, bagaimana ia masih bisa merasakan getaran nada meskipun tidak bisa mendengarnya.
Melalui SoulConnect, mereka bertukar playlist lagu (yang Raka rasakan melalui getaran di dadanya), potongan kode program, dan cerita-cerita masa kecil. Mereka menemukan kesamaan yang mengejutkan: kecintaan pada kesunyian, ketertarikan pada hal-hal yang abstrak, dan kemampuan untuk merasakan emosi secara mendalam.
Suatu malam, Elara bercerita tentang mimpi buruk yang menghantuinya. Mimpi tentang dunia di mana teknologi mengendalikan manusia, di mana emosi hanyalah data yang bisa dimanipulasi. Raka, yang biasanya pendiam, merespon dengan pesan panjang dan penuh semangat. Ia menceritakan bagaimana ia berjuang untuk mempertahankan identitasnya setelah kehilangan pendengarannya, bagaimana ia menolak untuk menjadi didefinisikan oleh keterbatasannya.
"Kita tidak boleh membiarkan teknologi merampas kemanusiaan kita," tulis Raka. "Justru sebaliknya, kita harus menggunakannya untuk memperkuatnya."
Kata-kata itu menyentuh Elara. Ia merasa ada koneksi yang lebih dalam antara mereka, sesuatu yang melampaui algoritma dan data. Ia merasakan, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, bahwa ada seseorang yang benar-benar memahaminya.
Mereka terus berbicara, berjam-jam setiap hari. Mereka berbagi tawa, kesedihan, dan harapan. Elara mulai merasa lebih percaya diri, berani mengambil risiko dalam pekerjaannya, bahkan mulai mempertimbangkan untuk keluar dari zona nyamannya. Raka menemukan kembali semangatnya untuk bermusik, ia mulai bereksperimen dengan menciptakan musik yang bisa dirasakan melalui getaran, musik yang bisa menyentuh jiwa tanpa harus didengar.
Hubungan mereka berkembang, tetapi tetap terkurung di dunia virtual. Mereka belum pernah bertemu secara langsung. Elara takut, ia khawatir koneksi yang mereka bangun akan hancur saat bersentuhan dengan kenyataan. Raka juga ragu, ia takut kekurangannya akan menjadi penghalang bagi Elara.
Namun, suatu hari, Raka mengirimkan pesan singkat: "Aku ingin bertemu denganmu."
Elara terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, cepat atau lambat, momen ini akan tiba. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetik: "Baiklah."
Mereka sepakat bertemu di sebuah taman kota yang tenang. Elara datang lebih awal, merasa gugup dan tidak yakin. Ia memperhatikan seorang pria duduk di bangku taman, memegang sebuah alat musik yang belum pernah dilihatnya. Pria itu menoleh, dan Elara mengenalinya dari foto profilnya di SoulConnect. Itu Raka.
Raka tersenyum. Senyum yang tulus dan hangat. Ia berdiri dan mendekati Elara.
"Elara?" sapanya, suaranya sedikit serak.
Elara mengangguk, terlalu gugup untuk berbicara.
Raka mengulurkan tangannya. Elara ragu-ragu sejenak, lalu meraihnya. Sentuhan mereka ringan, tetapi terasa seperti aliran listrik yang mengalir melalui tubuh mereka.
Mereka duduk berdampingan di bangku taman, terdiam. Suara burung berkicau dan angin berdesir di antara pepohonan mengisi keheningan. Elara memperhatikan Raka dengan seksama. Ia melihat bekas luka di telinganya, mata yang teduh, dan senyum yang menenangkan. Ia tidak melihat kekurangan apa pun. Ia hanya melihat seorang pria yang penuh dengan kebaikan dan keindahan.
Raka meraih alat musiknya. Itu adalah sebuah alat yang ia rancang sendiri, sebuah kotak kayu dengan sensor-sensor yang bisa mengubah suara menjadi getaran. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan Elara dan menyuruhnya untuk meletakkan tangannya di atasnya.
Raka mulai memainkan musik. Nada-nada lembut dan melankolis mengalir melalui getaran di kotak kayu, merambat ke tangan Elara, dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Elara menutup matanya, merasakan emosi yang begitu kuat, begitu dalam. Ia merasakan kesedihan Raka, kerinduannya, dan juga harapan serta cintanya.
Ketika musik berhenti, Elara membuka matanya. Air mata mengalir di pipinya. Ia menoleh ke arah Raka dan tersenyum.
"Indah," bisiknya.
Raka tersenyum kembali. Ia tidak perlu mendengar kata-kata Elara. Ia bisa merasakan emosinya. Ia bisa merasakan koneksi mereka.
Di saat itu, mereka menyadari bahwa cinta mereka tidak membutuhkan sentuhan fisik. Cinta mereka adalah koneksi jiwa nirkabel, sebuah resonansi emosi yang melampaui batasan ruang dan waktu. Mereka menemukan cinta di dunia digital, cinta yang lebih nyata dan lebih dalam daripada apa pun yang pernah mereka bayangkan. Dan mereka tahu, meskipun tantangan menghadang, koneksi mereka akan tetap kuat, selamanya.