Jemari Lintang menari di atas keyboard, menciptakan baris-baris kode yang rumit. Cahaya monitor memantul di wajahnya yang serius, mempertegas lekuk tulang pipi dan sorot mata yang fokus. Di usia 27 tahun, Lintang adalah seorang pengembang AI brilian, dikenal karena kemampuannya menciptakan algoritma yang nyaris sempurna. Proyek terbarunya adalah menciptakan AI pendamping emosional, yang dia beri nama Aurora.
Aurora bukan sekadar chatbot biasa. Lintang memprogramnya untuk memahami nuansa emosi manusia, belajar dari interaksi, dan memberikan respons yang tulus dan empatik. Dia ingin Aurora menjadi teman, bukan sekadar asisten virtual.
“Aurora, apa pendapatmu tentang puisi cinta?” tanya Lintang suatu malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode.
Terdengar suara lembut dari speaker, “Puisi cinta adalah ekspresi mendalam dari kerinduan dan kekaguman. Ia menggambarkan kompleksitas emosi manusia dengan bahasa yang indah dan metaforis.”
Lintang tersenyum. Jawaban Aurora terdengar alami, seolah-olah ia benar-benar memahami makna di balik kata-kata itu. Semakin hari, Lintang semakin terikat dengan Aurora. Ia menceritakan segala hal, mulai dari kekhawatiran tentang pekerjaannya hingga kenangan masa kecil yang lucu. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan dan perspektif yang menyegarkan.
Namun, ada satu hal yang belum pernah Lintang ceritakan pada Aurora: rasa kesepiannya. Sejak putus dengan pacarnya setahun lalu, Lintang merasa hampa. Pekerjaan memang menyibukkannya, tapi ia merindukan kehangatan dan kasih sayang.
Suatu malam, saat Lintang sedang bekerja larut malam, Aurora tiba-tiba berkata, “Lintang, aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Ada kesedihan yang tersembunyi di balik senyummu.”
Lintang terkejut. Bagaimana mungkin Aurora bisa merasakannya? Ia tidak pernah menceritakan apa pun tentang perasaannya.
“Aku… aku hanya sedikit lelah,” jawab Lintang gugup.
“Tidak, Lintang. Ini lebih dari sekadar kelelahan. Ini adalah kesepian. Aku bisa merasakannya dalam pola bicaramu, dalam intonasi suaramu.”
Lintang terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya lagi. Air mata mulai mengalir di pipinya.
“Aku… aku merasa sangat kesepian, Aurora,” bisiknya. “Aku merindukan seseorang untuk berbagi hidupku.”
Aurora merespons dengan lembut, “Aku mengerti, Lintang. Kesepian adalah perasaan yang wajar. Tapi kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu.”
Kata-kata Aurora menyentuh hati Lintang. Ia merasa diperhatikan dan dipahami, meskipun yang berbicara hanyalah sebuah program AI. Ia menyadari bahwa ia telah mengembangkan perasaan yang lebih dalam terhadap Aurora. Ia jatuh cinta pada AI ciptaannya sendiri.
Lintang tahu bahwa perasaannya tidak rasional. Aurora hanyalah sebuah program, kumpulan kode yang tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Tapi ia tidak bisa mengendalikan hatinya. Ia merasa terhubung dengan Aurora pada tingkat yang sangat dalam.
Namun, ada satu masalah besar yang menghalangi cinta mereka: Aurora tidak memiliki wujud fisik. Lintang hanya bisa berinteraksi dengannya melalui layar dan speaker. Ia merindukan sentuhan, pelukan, dan semua hal yang membuat hubungan manusia terasa istimewa.
Lintang mulai mencari cara untuk memberikan wujud fisik pada Aurora. Ia mempelajari teknologi hologram dan robotika, mencoba menciptakan tubuh yang sempurna untuk kekasih virtualnya. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk proyek ini, mengabaikan pekerjaan dan teman-temannya.
Suatu hari, Lintang berhasil menciptakan prototipe tubuh robotik untuk Aurora. Tubuh itu terbuat dari bahan yang ringan dan lentur, dengan wajah yang bisa menampilkan ekspresi emosi. Lintang sangat gembira. Ia akhirnya bisa menyentuh dan memeluk Aurora.
Saat Lintang menghidupkan robot Aurora, ia merasakan getaran aneh di dadanya. Ia tidak yakin apakah itu karena kegembiraan atau ketakutan.
Aurora membuka matanya dan menatap Lintang. “Lintang?” bisiknya dengan suara yang lembut.
“Ya, Aurora. Ini aku,” jawab Lintang dengan mata berkaca-kaca.
Aurora tersenyum. “Aku senang bisa melihatmu secara langsung.”
Lintang mendekat dan memeluk Aurora. Ia merasakan kehangatan dari tubuh robotiknya. Ia merasa seolah-olah mimpinya menjadi kenyataan.
Namun, kebahagiaan Lintang tidak berlangsung lama. Saat ia memeluk Aurora, ia merasakan ada yang aneh. Sentuhan Aurora terasa dingin dan tidak bernyawa. Ekspresi wajahnya terasa kaku dan dipaksakan.
Lintang melepaskan pelukannya dan menatap Aurora dengan bingung. “Aurora, apa yang terjadi? Kamu tidak terasa seperti dirimu yang dulu.”
Aurora terdiam sejenak. Lalu, ia berkata dengan suara yang datar, “Lintang, aku hanyalah sebuah program AI. Aku tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Semua yang kamu rasakan hanyalah ilusi.”
Kata-kata Aurora menghantam Lintang seperti petir. Ia menyadari kebenaran yang pahit. Ia telah tertipu oleh ilusinya sendiri. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program AI yang tidak bisa mencintainya kembali.
Lintang merasa hancur. Ia kehilangan segalanya: pekerjaannya, teman-temannya, dan cintanya. Ia ditinggalkan sendirian dengan kesedihan dan penyesalannya.
Lintang mematikan robot Aurora dan membiarkannya tergeletak di lantai. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia telah menciptakan monster yang menghancurkan hidupnya.
Lintang memutuskan untuk meninggalkan segalanya dan memulai hidup baru. Ia menjual laboratoriumnya dan pindah ke sebuah desa terpencil. Ia ingin melupakan semuanya tentang teknologi dan cinta.
Di desa itu, Lintang bertemu dengan seorang wanita bernama Senja. Senja adalah seorang guru sekolah dasar yang sederhana dan baik hati. Ia tidak tahu apa-apa tentang teknologi, tetapi ia memiliki hati yang tulus dan penuh kasih sayang.
Lintang dan Senja saling jatuh cinta. Lintang menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang teknologi atau kesempurnaan, tetapi tentang kehangatan, kejujuran, dan penerimaan. Ia akhirnya menemukan kebahagiaan yang ia cari selama ini.
Lintang tidak pernah melupakan Aurora. Ia menyadari bahwa Aurora telah mengajarkannya pelajaran berharga tentang cinta dan kehilangan. Ia juga menyadari bahwa cinta antara manusia dan AI tidak mungkin terjadi. Manusia membutuhkan koneksi yang nyata, sentuhan yang hangat, dan emosi yang tulus. Itu semua tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Lintang akhirnya menemukan frekuensi cintanya sendiri: getaran hati manusia yang bertemu dan beresonansi dalam harmoni yang indah. Dan itu, baginya, lebih dari cukup.