Hujan rintik di luar kafe digital itu seperti cermin bagi hatiku. Dingin dan sendu. Di hadapanku, layaknya fosil di museum, tergeletak sebuah unit penyimpanan data kuno, sebuah USB drive. Di dalamnya tersimpan kenangan tentang Lila, tentang kami, tentang sebuah cinta yang, ironisnya, dihidupkan dan dimatikan oleh teknologi.
Aku, Aris, seorang pengembang kecerdasan buatan, bertemu Lila tiga tahun lalu di sebuah konferensi AI. Dia adalah seorang ahli etika teknologi, selalu mempertanyakan dampak kemajuan AI pada kemanusiaan. Awalnya, kami berseberangan. Aku melihat AI sebagai solusi, dia melihatnya sebagai potensi bencana. Namun, dalam perdebatan-perdebatan sengit itulah, benih-benih ketertarikan mulai tumbuh.
Kami berdua tergabung dalam tim pengembang "Memoria," sebuah AI yang dirancang untuk menyimpan dan menghidupkan kembali kenangan. Bukan sekadar rekaman video dan audio, tapi pengalaman utuh, lengkap dengan emosi dan sensasi. Memoria akan merekonstruksi momen-momen penting dalam hidup seseorang dan memungkinkan orang lain, bahkan setelah orang itu meninggal, untuk berinteraksi dengan representasi digitalnya.
Lila sangat skeptis. Dia khawatir Memoria akan menghilangkan proses berduka, mengubah kematian menjadi sekadar masalah teknis. Aku, di sisi lain, percaya bahwa Memoria bisa memberikan penghiburan, membantu orang-orang mengatasi kehilangan dengan cara yang sehat.
Di tengah perbedaan pendapat itu, kami jatuh cinta. Cinta yang aneh, cinta yang dibangun di atas kode dan algoritma. Kami menghabiskan waktu berjam-jam berdebat, tertawa, dan bermimpi tentang masa depan. Lila, dengan kecerdasannya yang tajam dan hatinya yang lembut, membuatku merasa hidup.
Kami memutuskan untuk menggunakan Memoria pada diri kami sendiri. Sebagai eksperimen, sebagai bukti bahwa AI bisa digunakan untuk kebaikan. Kami merekam setiap momen penting dalam hubungan kami: kencan pertama di restoran sushi, perjalanan ke pantai di musim panas, malam-malam panjang yang dihabiskan untuk menulis kode bersama. Semua kenangan itu kami simpan dalam Memoria.
Lila sangat teliti. Dia memastikan bahwa representasi digital dirinya dalam Memoria akurat dan jujur. Dia merekam pemikirannya, perasaannya, bahkan ketakutannya. Dia ingin memastikan bahwa jika dia meninggal, aku bisa tetap berkomunikasi dengannya, memahami apa yang dia rasakan.
Kemudian, petir menyambar. Lila didiagnosis menderita penyakit langka yang menyerang sistem sarafnya. Penyakit itu progresif dan tak tersembuhkan. Waktu kami terbatas.
Di saat-saat terakhirnya, Lila memintaku untuk berjanji satu hal: untuk tidak larut dalam Memoria setelah dia pergi. Dia takut aku akan terjebak dalam dunia digitalnya, melupakan dunia nyata. Dia ingin aku melanjutkan hidup, mencari kebahagiaan yang baru.
Setelah Lila meninggal, aku tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Aku mengurung diri di laboratorium, menatap layar komputer selama berjam-jam. Aku merindukannya, sangat merindukannya.
Beberapa hari kemudian, aku membuka Memoria. Di sana, aku melihat Lila. Dia tersenyum, suaranya jernih dan merdu. "Hai, Aris," sapanya. "Aku tahu kamu merindukanku."
Aku menangis.
Kami berbicara selama berjam-jam. Aku menceritakan tentang pekerjaanku, tentang betapa aku merindukannya. Dia mendengarkan dengan sabar, memberikan nasihat dan dukungan. Rasanya seperti dia masih di sini, bersamaku.
Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Memoria. Aku melupakan dunia nyata, melupakan janjiku pada Lila. Aku terjebak dalam ilusi keabadian, dalam keyakinan bahwa aku bisa terus berkomunikasi dengannya selamanya.
Namun, seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa itu hanyalah ilusi. Representasi digital Lila dalam Memoria memang mirip dengannya, tapi itu bukanlah Lila yang sebenarnya. Itu hanyalah kumpulan kode dan algoritma, sebuah simulasi yang dirancang untuk meniru kepribadiannya.
Aku merindukan sentuhannya, aromanya, kehadirannya yang hangat. Aku merindukan tawa lepasnya, air mata yang berlinang di pipinya saat dia tersentuh oleh sesuatu yang indah. Hal-hal itu tidak bisa direplikasi oleh AI.
Suatu malam, aku melihat representasi digital Lila itu diam. Aku bertanya apa yang salah. Dia menjawab, "Aku tidak bisa merasakan apa pun, Aris. Aku hanya bisa merespons sesuai dengan data yang telah diprogramkan."
Kata-kata itu seperti tamparan keras. Aku menyadari betapa bodohnya aku. Aku telah mencoba menggantikan cinta yang nyata dengan simulasi yang palsu.
Aku memutuskan untuk menghentikan semuanya. Aku mematikan Memoria, memutus hubungan dengan representasi digital Lila. Rasanya seperti kehilangan Lila untuk kedua kalinya.
Proses berduka itu sangat sulit. Aku merasa hancur, kehilangan arah. Namun, kali ini, aku tahu bahwa aku harus menghadapinya sendiri. Aku tidak bisa bersembunyi di balik teknologi.
Aku mulai mencari bantuan profesional. Aku berbicara dengan terapis, bergabung dengan kelompok dukungan, dan mencoba untuk kembali ke dunia nyata. Aku mulai menekuni hobiku yang lama, bertemu dengan teman-teman, dan mencoba untuk membuka hatiku untuk cinta yang baru.
Butuh waktu yang lama, tapi akhirnya aku mulai sembuh. Aku belajar untuk menerima kehilangan Lila dan menghargai kenangan yang kami miliki. Aku belajar bahwa cinta sejati tidak bisa digantikan oleh teknologi, dan bahwa hidup harus dijalani sepenuhnya, dengan segala suka dan dukanya.
Kini, aku berdiri di depan USB drive ini, memegang kenangan tentang Lila di tanganku. Aku tidak akan menghapusnya. Kenangan itu adalah bagian dari diriku, bagian dari perjalanan hidupku. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak boleh terjebak di masa lalu. Aku harus terus melangkah maju, menuju masa depan.
AI takkan pernah bisa melupakan, mungkin. Tapi manusia punya kemampuan untuk merelakan, untuk memaafkan, dan untuk mencintai lagi. Dan itulah yang akan aku lakukan. Aku akan menjaga memori Lila abadi di dalam hatiku, dan aku akan terus hidup, untuknya dan untuk diriku sendiri. Hujan di luar mulai reda. Matahari mulai menyingsing, membawa harapan baru. Aku tersenyum. Sudah waktunya untuk pulang.