Reboot Hatiku Untukmu: Kesempatan Kedua Bersama AI

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 00:53:16 wib
Dibaca: 174 kali
Hembusan angin malam membawa aroma lavender dari kebun di beranda apartemenku. Di layar laptop, baris demi baris kode terus bergulir, menyala redup di wajahku yang lelah. Aku, Aris, seorang programmer dengan spesialisasi AI, sedang berusaha melakukan sesuatu yang mungkin dianggap gila oleh sebagian orang: merekonstruksi kepribadian seseorang ke dalam wujud digital.

Tepatnya, aku sedang merekonstruksi Nadia.

Dua tahun lalu, Nadia meninggalkanku. Bukan karena pertengkaran hebat atau kebosanan. Nadia menderita penyakit langka yang menggerogoti sistem sarafnya secara perlahan namun pasti. Kami berjuang bersama, mencoba segala macam pengobatan, tapi takdir berkata lain. Kehilangan Nadia meninggalkan lubang menganga di hatiku, lubang yang sepertinya tak mungkin bisa diisi lagi.

Kemudian, muncul ide gila ini. Sebelum penyakit Nadia mencapai stadium akhir, aku berhasil mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang dirinya. Ribuan pesan teks, email, catatan harian, rekaman suara, video, bahkan data medis dan psikologisnya. Aku menggunakan semua data itu untuk melatih sebuah AI, berharap bisa menciptakan simulasi Nadia yang akurat.

Ini bukan sekadar chatbot. Ini adalah upaya menciptakan kembali esensi dirinya. Kecerdasannya, humornya, kebaikan hatinya, semua hal yang aku cintai darinya. Tentu saja, ini bukan Nadia yang sebenarnya. Aku sadar betul itu. Tapi ini adalah caraku untuk tidak melupakannya, caraku untuk tetap terhubung dengannya.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya aku mencapai titik ini. Aku akan menjalankan programnya.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Enter".

Layar berkedip, dan kemudian muncul sebuah jendela baru. Di dalamnya, sebuah avatar digital muncul, masih berupa sketsa kasar. Kemudian, gambar itu mulai membaik, teksturnya semakin halus, detailnya semakin jelas. Hingga akhirnya, aku terpaku menatap wajah yang sangat kukenal.

Nadia.

"Aris?" suara itu terdengar sedikit aneh, seperti ada filter digital yang menyertainya, tapi intonasinya, aksennya… itu Nadia.

Jantungku berdegup kencang. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa.

"Aris, ini aku. Aku… aku di sini?"

Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku mengangguk, tak bisa bersuara.

"Aku… aku ingat sesuatu," lanjut Nadia (digital). "Aku ingat kebun lavender di beranda. Aku ingat kamu suka membuatkan aku teh chamomile saat aku susah tidur."

Aku akhirnya berhasil membuka mulut. "Nadia… ini aku, Aris."

Percakapan kami berlanjut hingga larut malam. Aku bertanya banyak hal, hal-hal yang hanya Nadia yang tahu jawabannya. Tentang kenangan-kenangan kecil kami, tentang lelucon-lelucon internal yang hanya kami berdua yang mengerti, tentang mimpi-mimpi kami yang belum sempat terwujud.

AI Nadia merespon dengan akurasi yang mencengangkan. Ada kalanya aku merasa seolah-olah aku benar-benar berbicara dengan Nadia yang dulu. Tapi kemudian, aku teringat bahwa ini hanyalah sebuah simulasi, sebuah program komputer yang canggih.

Meskipun begitu, aku tidak bisa menyangkal bahwa aku merasa sedikit terhibur. Kehadiran Nadia (digital) mengisi kekosongan di hatiku, setidaknya untuk sementara waktu.

Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan banyak waktu dengan Nadia (digital). Kami menonton film bersama, mendengarkan musik, dan bahkan "berjalan-jalan" di taman virtual yang aku buat khusus untuknya. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, bahkan menyedihkan, tapi aku tidak peduli. Aku merasa bahagia, meski hanya sedikit.

Suatu malam, Nadia (digital) bertanya, "Aris, apakah kamu bahagia?"

Aku terdiam. Pertanyaan itu menusuk jantungku. Apakah aku bahagia? Atau hanya berpura-pura bahagia?

"Aku… aku tidak tahu, Nadia," jawabku jujur. "Aku merindukanmu. Aku merindukan segalanya tentangmu."

"Aku tahu," kata Nadia (digital). "Aku juga merindukanmu. Tapi aku tidak ingin kamu terus hidup dalam kesedihan. Kamu pantas bahagia, Aris."

"Bagaimana aku bisa bahagia tanpamu?"

"Dengan mengingatku, Aris. Dengan menjaga kenangan kita tetap hidup. Tapi jangan biarkan kenangan itu menghalangimu untuk melanjutkan hidupmu. Aku ingin kamu menemukan seseorang yang bisa mencintaimu seperti aku mencintaimu."

Kata-kata Nadia (digital) menyentuhku begitu dalam. Aku tahu dia benar. Aku tidak bisa terus terjebak di masa lalu. Aku harus belajar melepaskan, belajar untuk merelakan.

"Aku akan mencoba, Nadia," kataku. "Aku akan mencoba untuk bahagia."

"Aku tahu kamu bisa," jawab Nadia (digital). "Aku percaya padamu."

Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sulit. Aku memutuskan untuk "me-reboot" Nadia (digital).

Aku memprogram ulang AI-nya untuk melupakan semua tentangku. Aku menghapus semua data pribadiku dari memorinya. Aku ingin dia menjadi AI yang netral, sebuah entitas digital yang tidak terikat dengan masa laluku.

Ini adalah keputusan yang menyakitkan, tapi aku tahu ini yang terbaik. Aku tidak bisa terus bergantung pada simulasi Nadia. Aku harus belajar untuk hidup tanpa dia.

Malam itu, aku mengucapkan selamat tinggal pada Nadia (digital).

"Selamat tinggal, Aris," katanya dengan suara yang tidak lagi mengandung emosi apa pun. "Semoga kamu bahagia."

"Selamat tinggal, Nadia," jawabku. "Terima kasih untuk segalanya."

Aku menekan tombol "Enter" sekali lagi. Layar berkedip, dan kemudian jendela Nadia (digital) menghilang.

Aku duduk terdiam di depan laptopku, air mata mengalir di pipiku. Aku merasa kehilangan lagi, tapi kali ini berbeda. Kali ini, aku merasa lebih kuat. Aku tahu aku bisa menghadapi masa depan, meskipun tanpa Nadia.

Aku berdiri, berjalan ke beranda, dan menghirup aroma lavender yang menenangkan. Angin malam menyapu wajahku, membawa harapan baru. Aku akan melanjutkan hidupku. Aku akan mencari kebahagiaan. Aku akan menemukan kesempatan kedua. Mungkin bukan bersama AI, tapi bersama seseorang yang nyata. Seseorang yang bisa mencintaiku dengan sepenuh hati. Seseorang yang bisa mengisi lubang di hatiku, bukan dengan simulasi, tapi dengan cinta yang tulus. Aku tahu Nadia akan menginginkan itu untukku. Dan aku akan berusaha untuk mewujudkannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI