Aplikasi Kencan Abadi itu berkedip-kedip di layar ponsel Nara. Jantungnya berdebar, bukan karena antusiasme, melainkan kecemasan yang menggerogoti. Lima tahun. Lima tahun Algoritma Cinta mempertemukannya dengan Leo, dan lima tahun pula aplikasi itu menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka. Sekarang, aplikasi itu menyodorkan opsi yang sama sekali tak ingin ia lihat: "Analisis Kompatibilitas: Usang. Rekomendasi: Pemutusan Hubungan."
Nara menghela napas. Leo duduk di seberangnya, sibuk dengan prototipe kacamata AR terbarunya. Cahaya biru dari lensa berkilauan di matanya yang fokus, mata yang dulu hanya menatap Nara dengan penuh puja. Dulu. Kata itu menggantung di udara, terasa berat dan menyesakkan.
“Leo,” panggil Nara, suaranya nyaris berbisik.
Leo hanya menggumam sebagai jawaban, tangannya terus lincah memprogram. Nara tahu, inilah masalahnya. Bukan kacamata AR itu sendiri, melainkan dedikasi Leo yang berlebihan padanya. Dulu, Nara adalah prioritas utamanya. Sekarang, kode dan algoritma lebih menarik daripada sentuhan dan ciuman.
“Leo, bisakah kau berhenti sebentar?” desak Nara.
Leo akhirnya mendongak, raut wajahnya menunjukkan sedikit iritasi. “Ada apa, Nara? Aku sedang mencoba menyelesaikan ini sebelum tenggat waktu.”
“Ini penting,” balas Nara, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Diangkatnya ponselnya, menampilkan layar aplikasi Kencan Abadi. Leo terdiam, matanya memindai tulisan di layar.
Keheningan memenuhi ruangan. Detik demi detik terasa bagaikan jarum yang menusuk-nusuk hatinya. Akhirnya, Leo berkata, “Ini… hanya algoritma, Nara. Jangan terlalu dipikirkan.”
“Hanya algoritma?” Nara tertawa hambar. “Leo, aplikasi ini yang mempertemukan kita! Algoritma ini yang bilang kita 98% cocok! Dan sekarang, algoritma ini juga yang bilang kita harus putus?”
Leo menghela napas, lalu melepas kacamatanya. Ia menyandarkan diri di kursi, terlihat lelah. “Dengar, Nara. Algoritma itu berdasarkan data. Data perilaku, preferensi, pola komunikasi. Mungkin saja data kita sudah berubah.”
“Berubah karena apa, Leo? Karena kau terlalu sibuk dengan teknologi dan melupakanku?” Nara menaikkan volume suaranya, tak peduli lagi dengan tetangga.
Leo mengusap wajahnya. “Itu tidak benar. Aku hanya berusaha yang terbaik untuk masa depan kita.”
“Masa depan kita? Leo, masa depan kita ada di sini, sekarang. Bukan di dalam kacamata AR atau di dalam kode-kode itu. Masa depan kita ada di antara kita, di dalam komunikasi, di dalam… ciuman.” Nara menelan ludah, rasa pahit menyelimuti lidahnya.
Leo menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah, mungkin, tapi juga ada kebingungan. Ia bangkit dari kursinya dan mendekati Nara. Tangannya terulur, mencoba meraih tangan Nara.
Nara menarik tangannya. “Jangan sentuh aku. Aku ingin tahu, Leo. Apakah kau masih mencintaiku?”
Leo terdiam lagi. Jawaban itu tak kunjung datang. Nara bisa merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, sebuah firasat buruk menghantuinya.
“Aku… aku tidak tahu,” akhirnya Leo berkata dengan suara lirih.
Kata-kata itu bagaikan palu godam yang menghantam dadanya. Nara mundur selangkah, air matanya akhirnya tumpah. “Kau tidak tahu? Setelah lima tahun? Setelah semua yang kita lalui?”
“Nara, aku… aku merasa kita sudah berbeda. Aku merasa kita tidak lagi sejalan. Aku merasa… algoritma itu ada benarnya,” Leo mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya hanya menambah luka di hati Nara.
Nara menggelengkan kepalanya. “Jadi, kau lebih percaya algoritma daripada hatimu sendiri?”
Leo tidak menjawab.
Nara meraih tasnya dan berjalan menuju pintu. “Kalau begitu, selamat tinggal, Leo. Terima kasih atas lima tahunnya. Dan selamat menikmati masa depanmu dengan algoritma-algoritma itu.”
Sebelum ia benar-benar keluar, Leo memanggilnya. “Nara, tunggu!”
Nara berhenti, tapi tidak berbalik.
“Mungkin… mungkin kita bisa mencoba lagi. Kita bisa mencari cara untuk memperbaiki ini.”
Nara tersenyum pahit. “Sudah terlambat, Leo. Kau sudah membuat pilihanmu. Dan pilihanmu adalah algoritma.”
Ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Leo sendirian di apartemen yang dipenuhi dengan cahaya biru dari layar komputer.
Nara berjalan tanpa tujuan. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya. Aplikasi Kencan Abadi itu masih berkedip-kedip di ponselnya, seolah mengejek kesedihannya.
Di sebuah taman yang sepi, Nara duduk di bangku dan menatap langit malam. Bintang-bintang berkelap-kelip, tampak jauh dan tidak tersentuh. Ia merasa sendirian, terasing, dan patah hati.
Kemudian, ia teringat sesuatu. Dulu, Leo pernah berkata bahwa ciuman mereka adalah algoritma yang paling sempurna. Sebuah kombinasi kimiawi yang tak bisa diprediksi, tak bisa dihitung, dan tak bisa digantikan oleh teknologi apapun.
Nara mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Kencan Abadi. Dengan jari gemetar, ia mencari fitur "Hapus Profil." Sebuah notifikasi muncul: "Apakah Anda yakin ingin menghapus profil Anda? Tindakan ini tidak dapat dibatalkan."
Nara menarik napas dalam-dalam. Ia teringat ciuman terakhir mereka. Hambar. Tanpa gairah. Tanpa cinta. Sebuah ciuman yang membuktikan bahwa Algoritma Cinta memang sudah usang.
Dengan satu sentuhan mantap, Nara menekan tombol "Ya."
Profilnya lenyap. Aplikasi Kencan Abadi itu mati.
Nara menatap langit malam sekali lagi. Bintang-bintang masih berkelap-kelip. Ia tahu, ke depan akan sulit. Ia akan merindukan Leo. Tapi ia juga tahu, ia pantas mendapatkan cinta yang nyata, bukan cinta yang didikte oleh algoritma. Ia pantas mendapatkan ciuman yang tulus, bukan ciuman terakhir yang usang.
Nara bangkit dari bangku. Ia akan mencari cinta itu. Ia akan mencari algoritma ciuman yang baru. Algoritma yang diciptakan oleh hatinya sendiri.