Cinta: Versi Beta, Masihkah Ada Bug di Hati?

Dipublikasikan pada: 02 Sep 2025 - 03:20:13 wib
Dibaca: 130 kali
Kopi Latte pesananku mendingin. Di seberang sana, Anya masih asyik mengutak-atik tabletnya. Sesekali dahinya berkerut, bibirnya menggumam kode-kode rumit. Anya, seorang software engineer brilian, pikirannya memang selalu satu langkah di depan orang lain, terutama dalam hal pemrograman. Tapi, soal hati, sepertinya dia masih menjalankan versi beta.

“Jadi, bagaimana, Anya?” tanyaku, berusaha membuyarkan fokusnya. “Sudah selesai mengurai algorithm hatiku?”

Anya mendongak, matanya yang cokelat berkilat jenaka. “Hampir. Ada beberapa syntax error yang perlu diperbaiki. Terutama bagian yang berkaitan dengan… ekspektasi.”

Aku terkekeh. “Ekspektasi? Memang apa yang salah dengan ekspektasiku?”

“Terlalu tinggi, mungkin? Kau berharap aku bisa langsung mencintaimu seperti… seperti di film-film romantis yang kau tonton setiap malam Jumat.”

Aku meringis. Ketahuan lagi. “Maaf. Sulit rasanya menahan diri. Kau tahu, Anya, sejak pertama kali bertemu, aku merasa seperti menemukan source code yang sempurna. Semuanya terasa… lengkap.”

Anya tersenyum lembut. “Kau ini memang. Bisa-bisanya membandingkan perasaan dengan kode program. Tapi, aku mengerti maksudmu. Aku juga merasakan sesuatu, Rey. Hanya saja… butuh waktu.”

Waktu. Kata itu bagaikan firewall yang menghadang perasaanku. Aku tahu, Anya bukan tipe perempuan yang mudah jatuh cinta. Dia terlalu rasional, terlalu analitis. Setiap perasaan harus diuji, dianalisis, dan dibuktikan validitasnya sebelum diizinkan masuk ke dalam sistem hatinya.

Aku mengenalnya di sebuah konferensi teknologi. Saat itu, aku sedang kesulitan memahami sebuah algoritma kecerdasan buatan yang rumit. Anya, dengan sabar dan telaten, menjelaskannya kepadaku, selangkah demi selangkah, hingga aku benar-benar paham. Sejak saat itu, aku terpesona. Bukan hanya karena kepintarannya, tapi juga karena kehangatan dan ketulusannya.

Kami mulai sering bertemu. Berdiskusi tentang teknologi, bertukar pikiran tentang masa depan, dan sesekali menonton film bersama. Aku mencoba memberikan input positif ke dalam sistemnya, berharap bisa memicu update ke versi yang lebih stabil, versi yang memungkinkan adanya… cinta.

Namun, setiap kali aku mencoba mendekat, Anya selalu memasang semacam debugging tool yang membuatku merasa seperti sedang diinterogasi. Dia menanyakan segala hal tentangku, mulai dari masa kecil hingga rencana masa depan. Semua jawabanku dianalisis dengan cermat, mencari celah atau ketidaksesuaian.

“Kau terlalu idealis, Rey,” katanya suatu malam, setelah kami menonton film tentang robot yang jatuh cinta pada manusia. “Kau percaya bahwa cinta itu bisa diprogram, bisa diotomatisasi. Padahal, cinta itu rumit, tidak terduga, dan seringkali tidak masuk akal.”

Aku menghela napas. “Aku tahu. Tapi, aku percaya bahwa cinta juga bisa dipelajari, bisa dikembangkan. Seperti halnya teknologi, cinta juga mengalami evolusi. Mungkin dulu cinta itu hanya sekadar insting, tapi sekarang, di era digital ini, cinta bisa menjadi lebih kompleks, lebih bermakna.”

Anya menggelengkan kepalanya. “Kau dan segala teorimu. Sudahlah, lupakan saja. Mari kita fokus pada proyek kita.”

Proyek yang dimaksud adalah aplikasi dating berbasis kecerdasan buatan yang sedang kami kembangkan bersama. Ironis, bukan? Kami membuat aplikasi yang membantu orang lain menemukan cinta, sementara kami sendiri masih kesulitan untuk mendefinisikan cinta itu sendiri.

Beberapa bulan berlalu. Aplikasi kami semakin populer. Banyak pasangan yang berhasil dipertemukan berkat algoritma yang kami rancang. Aku merasa bangga, tapi di sisi lain, aku juga merasa frustasi. Aku berhasil membantu orang lain menemukan cinta, tapi aku sendiri masih terjebak dalam versi beta hubunganku dengan Anya.

Suatu malam, aku mendapat telepon dari Anya. Suaranya terdengar panik. “Rey, aku butuh bantuanmu. Server aplikasi kita diserang hacker. Semua data terancam hilang.”

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju apartemennya. Kami bekerja semalaman untuk mengatasi serangan tersebut. Anya dengan cepat mengidentifikasi sumber masalah dan aku membantunya memperbaiki vulnerability sistem.

Saat matahari mulai terbit, kami berhasil mengamankan data. Anya bersandar di kursinya, tampak kelelahan. Aku menyodorkan secangkir kopi padanya.

“Terima kasih, Rey,” katanya, suaranya pelan. “Kau menyelamatkan aplikasi kita.”

“Bukan masalah. Aku senang bisa membantu.”

Kami terdiam beberapa saat. Suasana hening, hanya terdengar suara mesin kopi yang berdegung. Tiba-tiba, Anya menatapku dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang tidak lagi analitis, tidak lagi skeptis.

“Rey,” katanya, “aku… aku rasa aku mulai mengerti.”

“Mengerti apa?”

“Mengerti kenapa kau begitu menyukaiku. Kau selalu ada untukku, dalam suka maupun duka. Kau selalu mendukungku, bahkan ketika aku meragukan diriku sendiri. Kau… kau membuatku merasa aman.”

Aku menahan napas. Ini dia. Update yang kutunggu-tunggu selama ini.

“Anya,” kataku, “aku mencintaimu. Aku mencintaimu apa adanya. Aku mencintai kepintaranmu, keraguanmu, dan semua keunikanmu.”

Anya tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang hangat. “Aku juga, Rey. Aku juga mencintaimu.”

Kami berpelukan. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa sistem hatiku dan sistem hati Anya telah terhubung dengan sempurna. Tidak ada lagi bug, tidak ada lagi syntax error. Hanya ada cinta, cinta yang sederhana, cinta yang nyata.

Mungkin, cinta memang tidak bisa diprogram, tidak bisa diotomatisasi. Tapi, cinta bisa dipelajari, bisa dikembangkan. Seperti halnya aplikasi, cinta juga membutuhkan proses debugging, proses updating, dan proses maintenance. Dan mungkin, cinta versi beta, meskipun masih ada bug di hati, tetaplah berharga. Karena dari bug itulah, kita belajar untuk menjadi lebih baik, untuk mencintai dengan lebih tulus. Dan, siapa tahu, suatu hari nanti, versi beta itu akan menjadi versi yang sempurna. Atau setidaknya, mendekati sempurna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI