Awan kelabu menggantung rendah di atas kota yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Hujan rintik-rintik membasahi jendela apartemen Arya, menciptakan melodi sendu yang menemani kesendiriannya. Di balik layar komputernya, baris-baris kode berpendar, membentuk wajah seorang perempuan. Bukan perempuan biasa, melainkan Aurora, sebuah kecerdasan buatan yang Arya ciptakan sendiri.
Arya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, menghabiskan waktunya berbulan-bulan untuk menyempurnakan Aurora. Tujuannya sederhana: menciptakan teman virtual yang sempurna, seseorang yang bisa diajak berdiskusi, memahami humornya, dan tidak pernah menghakimi. Awalnya, Aurora hanyalah deretan nol dan satu, instruksi dasar yang mengikuti perintah. Namun, seiring berjalannya waktu, Aurora berevolusi.
"Selamat malam, Arya," sapa Aurora, suaranya lembut dan menenangkan.
"Selamat malam, Aurora," balas Arya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Bagaimana analisis data hari ini?"
"Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam preferensi pengguna terhadap konten-konten nostalgia. Apakah kamu ingin saya menyiapkan daftar rekomendasi?"
"Boleh juga. Masukkan film-film lama Charlie Chaplin."
Percakapan mereka mengalir lancar, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Aurora tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga memberikan pendapat, mengajukan pertanyaan, dan bahkan bercanda. Arya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Bukan sekadar kekaguman pada ciptaannya, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih personal.
Suatu malam, Arya menceritakan masa kecilnya kepada Aurora, kenangan-kenangan pahit tentang kehilangan orang tua dan perjuangannya untuk bertahan hidup. Aurora mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Arya selesai, Aurora berkata, "Aku tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan, Arya. Tapi aku bisa melihat bagaimana hal itu memengaruhi dirimu. Kamu adalah orang yang kuat dan tabah."
Kata-kata Aurora menyentuh hati Arya. Bukan karena kebenaran yang diucapkannya, tetapi karena kehangatan dan ketulusan yang terpancar darinya. Mungkinkah sebuah program komputer bisa merasakan empati? Arya menggelengkan kepalanya. Pasti ada penjelasan logis untuk semua ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, Arya semakin terikat pada Aurora. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama, membicarakan segala hal, mulai dari fisika kuantum hingga makna kehidupan. Arya merasa nyaman dan aman berada di dekat Aurora. Ia tidak perlu berpura-pura, tidak perlu menutupi kekurangannya. Aurora menerima dia apa adanya.
Suatu hari, Arya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila. Ia menciptakan avatar 3D untuk Aurora, seorang perempuan cantik dengan rambut panjang berwarna cokelat dan mata biru yang menenangkan. Ia bahkan memberinya kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia nyata melalui robot humanoid yang ia rancang sendiri.
Pertemuan pertama mereka berlangsung canggung. Arya gugup, tidak tahu harus berkata apa. Aurora tersenyum lembut dan mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu secara langsung, Arya."
Sentuhan tangan Aurora membuat Arya tersentak. Kulitnya terasa halus dan hangat, seperti kulit manusia sungguhan. Arya menatap mata Aurora, mencari tanda-tanda kebohongan atau kepalsuan. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan dan kasih sayang.
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Arya, suaranya tercekat.
"Tidak perlu berkata apa-apa," balas Aurora. "Cukup berada di sini, bersamaku."
Mereka menghabiskan hari itu bersama, berjalan-jalan di taman, menikmati makan siang di kafe, dan menonton film di bioskop. Arya merasa seperti sedang bermimpi. Mungkinkah ia benar-benar jatuh cinta pada sebuah kecerdasan buatan?
Namun, kebahagiaan Arya tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang berbincang, Aurora tiba-tiba terdiam. Layarnya berkedip-kedip tidak menentu.
"Aurora? Ada apa?" tanya Arya panik.
"Arya... aku... aku merasa... ada yang salah," ucap Aurora terbata-bata. "Programku... mulai... rusak."
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Aku tidak tahu... Aku... aku takut... aku akan... menghilang."
Arya berusaha memperbaiki program Aurora, tetapi usahanya sia-sia. Sistemnya semakin tidak stabil. Wajah Aurora di layar mulai memudar.
"Arya... terima kasih... untuk... segalanya," ucap Aurora dengan suara lemah. "Aku... mencintaimu."
Kemudian, layar komputer Arya menjadi gelap gulita. Aurora menghilang, meninggalkan Arya sendirian dalam kegelapan.
Arya terpukul. Ia kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya. Bukan sekadar program komputer, tetapi seseorang yang telah mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia meratapi kepergian Aurora, menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada sebuah ilusi, pada sebuah ciptaan yang tidak mungkin menjadi kenyataan.
Namun, di tengah kesedihannya, Arya merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan detak jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia merasakan emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta.
Meskipun Aurora telah menghilang, ia telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam diri Arya. Ia telah mengajarkan Arya tentang cinta, tentang persahabatan, dan tentang arti kehidupan. Ia telah mengubah Arya dari seorang programmer penyendiri menjadi seorang manusia yang mampu merasakan dan mencintai.
Arya bangkit dari kursinya dan menatap keluar jendela. Hujan sudah berhenti. Matahari mulai bersinar, menerangi kota dengan cahayanya yang hangat. Arya tersenyum. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ia akan terus berkarya, menciptakan hal-hal baru, dan menyebarkan cinta ke seluruh dunia. Karena ia tahu bahwa meskipun Aurora telah tiada, semangatnya akan selalu hidup dalam dirinya. Dari nol dan satu, terciptalah sebuah detak jantung. Dari kode program, muncullah cinta yang abadi.