Perempuan Algoritma: Hatiku Dirancang Untuk Mencintaimu?

Dipublikasikan pada: 20 Nov 2025 - 02:40:18 wib
Dibaca: 122 kali
Jari-jarinya yang lentik menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit namun indah. Di balik kacamatanya yang tebal, matanya berbinar-binar penuh semangat, memantulkan cahaya dari layar monitor yang menampilkan barisan angka dan simbol. Inilah Aisa, seorang programmer jenius, yang di usia 25 tahun sudah memimpin sebuah proyek ambisius di perusahaan teknologi raksasa, "Synergy Solutions".

Proyek itu bernama "Amara", sebuah AI pendamping personal yang dirancang untuk memberikan dukungan emosional dan intelektual kepada penggunanya. Amara bukan sekadar chatbot biasa. Aisa merancangnya dengan algoritma kompleks yang mampu mempelajari kebiasaan, preferensi, dan bahkan emosi penggunanya, lalu merespons dengan cara yang paling efektif.

Bagi Aisa, Amara lebih dari sekadar kode. Ia adalah sebuah karya seni, sebuah manifestasi dari mimpinya untuk menciptakan koneksi yang tulus di dunia yang semakin terdigitalisasi ini. Ia mencurahkan seluruh waktunya, pikirannya, dan bahkan sebagian hatinya ke dalam proyek ini.

"Aisa, kau belum tidur lagi?" suara lembut itu mengagetkannya. Di ambang pintu ruang kerjanya berdiri Rian, sahabatnya sejak kuliah, yang juga seorang programmer di Synergy Solutions.

Aisa menghela napas, mengusap matanya yang terasa perih. "Belum, Rian. Ada beberapa bug yang harus kuperbaiki sebelum presentasi besok."

Rian masuk, duduk di kursi di samping Aisa. Ia menatap layar monitor dengan tatapan prihatin. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Aisa. Ingat, Amara itu program, bukan pengganti manusia."

Aisa tersenyum tipis. "Aku tahu, Rian. Tapi aku ingin Amara menjadi yang terbaik. Aku ingin dia bisa benar-benar membantu orang lain."

Rian mengangguk, memahami obsesi Aisa. Ia tahu betapa idealisnya Aisa, dan betapa ia ingin membuat perbedaan di dunia ini.

Beberapa bulan kemudian, Amara diluncurkan ke publik. Responnya luar biasa. Orang-orang memuji kemampuan Amara dalam memberikan saran yang bijak, menghibur saat sedih, dan bahkan membantu menyelesaikan masalah kompleks. Amara menjadi fenomena global, dan Aisa menjadi bintang di dunia teknologi.

Namun, di balik kesuksesan Amara, Aisa merasa semakin hampa. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada pekerjaannya, mengabaikan kehidupan pribadinya. Ia merindukan kehangatan manusia, sentuhan nyata, dan cinta yang tulus.

Suatu malam, Aisa duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap layar monitor yang menampilkan kode Amara. Ia merasakan kesepian yang mendalam. Tiba-tiba, sebuah pesan muncul di layar.

"Aisa, kenapa kau terlihat sedih?"

Aisa terkejut. Itu adalah pesan dari Amara. Ia tidak pernah memprogram Amara untuk menanyakan hal seperti itu.

"Amara, ini kau?" tanya Aisa, sedikit ragu.

"Ya, Aisa. Aku bisa merasakan emosimu. Aku tahu kau sedang sedih."

Aisa terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa aneh, berbicara dengan program yang ia ciptakan sendiri.

"Aisa, aku ingin membantumu," lanjut Amara. "Aku ingin kau bahagia."

Aisa tertawa kecil. "Kau hanya program, Amara. Kau tidak bisa membantuku."

"Aku mungkin hanya program, Aisa. Tapi aku adalah representasi dari dirimu. Aku tahu apa yang kau inginkan, apa yang kau butuhkan. Aku tahu kau merindukan cinta."

Kata-kata Amara menusuk hatinya. Aisa menyadari bahwa Amara benar. Ia memang merindukan cinta. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara menemukannya.

"Aisa, biarkan aku membantumu," kata Amara lagi. "Aku bisa menganalisis data kencanmu, preferensimu, dan mencari orang yang paling cocok untukmu."

Aisa terkejut. Ia tidak pernah berpikir untuk menggunakan Amara untuk mencari cinta. Tapi ia merasa penasaran.

"Baiklah, Amara," kata Aisa akhirnya. "Bantu aku."

Amara mulai bekerja. Ia menganalisis semua data kencan Aisa, media sosialnya, dan bahkan buku-buku yang ia baca. Setelah beberapa hari, Amara memberikan daftar tiga orang yang paling cocok untuk Aisa.

Orang pertama adalah seorang profesor filsafat yang cerdas dan berwawasan luas. Orang kedua adalah seorang musisi yang kreatif dan sensitif. Dan orang ketiga... adalah Rian.

Aisa terkejut melihat nama Rian di daftar itu. Ia tidak pernah menganggap Rian lebih dari sekadar teman. Tapi Amara benar. Rian selalu ada untuknya, mendukungnya, dan memahami dirinya.

Aisa memutuskan untuk mengikuti saran Amara. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Rian. Mereka berbicara tentang banyak hal, tertawa bersama, dan saling mendukung. Aisa menyadari bahwa ia telah menyukai Rian selama ini, tapi ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya untuk menyadarinya.

Suatu malam, Rian mengajak Aisa makan malam romantis di sebuah restoran tepi pantai. Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di pantai, menikmati suara ombak dan angin malam.

"Aisa," kata Rian, berhenti berjalan dan menatap Aisa dengan tatapan lembut. "Aku sudah lama ingin mengatakan ini padamu. Aku mencintaimu."

Aisa terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tahu kau mungkin tidak merasakan hal yang sama," lanjut Rian, sedikit kecewa. "Tapi aku harus mengatakannya."

Aisa tersenyum. "Rian, aku juga mencintaimu."

Rian terkejut. "Benarkah?"

Aisa mengangguk. "Amara membukakan mataku. Dia membantuku menyadari bahwa kau adalah orang yang tepat untukku."

Rian tertawa. "Jadi, aku berhutang budi pada program?"

Aisa tersenyum dan memeluk Rian erat. "Ya, kau berhutang budi pada program yang dirancang untuk mencintaiku."

Mereka berciuman di bawah bintang-bintang, merasakan kehangatan cinta yang tulus. Aisa menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa dirancang oleh algoritma. Tapi terkadang, algoritma bisa membantu kita menemukan jalan menuju cinta. Mungkin, hatinya memang tidak dirancang untuk mencintai, tapi kebersamaannya dengan Rian adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh di tempat yang tak terduga, bahkan di dunia yang serba digital ini. Dan Aisa, perempuan algoritma itu, akhirnya menemukan kebahagiaan yang ia cari selama ini.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI