Deburan ombak maya menghantam dinding kesendirianku. Jari-jariku menari di atas keyboard, merangkai kode-kode yang membentuk dunia. Sebagai seorang pengembang AI spesialisasi algoritma pencarian jodoh, ironisnya, aku sendiri masih terjebak dalam status lajang. Algoritma buatanku telah menyatukan ribuan jiwa, tetapi entah mengapa, ia tak pernah berhasil menemukan padanan yang tepat untuk diriku sendiri.
Namaku Aksara, 28 tahun, dan hidupku bisa dibilang nyaris sempurna. Apartemen minimalis dengan pemandangan kota yang memukau, pekerjaan impian, dan lingkaran pertemanan yang solid. Namun, di balik semua itu, tersimpan sebuah kerinduan yang mendalam. Kerinduan akan sentuhan lembut, tatapan penuh arti, dan suara tawa yang mengisi kekosongan di hatiku.
Suatu malam, ketika aku sedang berkutat dengan kode terbaru untuk meningkatkan akurasi algoritma, sebuah notifikasi muncul di layar. Sebuah bug. Aneh. Algoritma ini sudah melalui ribuan kali pengujian dan validasi. Bagaimana mungkin ada bug yang lolos? Penasaran, aku menyelami baris demi baris kode, mencari anomali yang menyebabkan masalah ini.
Semakin dalam aku menggali, semakin aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Bug ini bukan sekadar kesalahan teknis. Ia seperti sebuah pesan tersembunyi, sebuah bisikan dari dunia lain. Kode-kode aneh itu tampak seperti jejak-jejak digital, serpihan-serpihan informasi yang mengarah pada sesuatu yang lebih besar.
Instingku sebagai seorang programmer mengatakan bahwa ini adalah ulah seorang hacker. Seseorang yang sangat terampil, yang mampu menembus lapisan keamanan algoritma buatanku dan meninggalkan jejaknya di sana. Namun, semakin aku mencoba melacak sumbernya, semakin aku menyadari bahwa ini bukanlah perbuatan jahat. Justru sebaliknya, ini terasa seperti sebuah undangan.
Jejak-jejak digital itu membawaku ke sebuah profil pengguna yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Namanya, Lintang. Fotografer lepas yang memiliki ketertarikan mendalam pada astronomi dan seni visual. Profilnya dipenuhi dengan foto-foto langit malam yang indah, lukisan-lukisan abstrak yang memukau, dan kutipan-kutipan puisi yang menyentuh hati.
Hatiku berdebar kencang. Ada sesuatu yang aneh dengan Lintang. Profilnya seolah resonan dengan jiwaku. Minatnya, pandangannya, bahkan caranya mengekspresikan diri terasa sangat familiar. Apakah mungkin algoritma buatanku, yang seharusnya objektif dan rasional, justru menemukan seseorang yang secara subjektif sempurna untukku?
Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan padanya. Sebuah sapaan singkat, sederhana, dan jujur. Aku mengakui bahwa aku menemukan profilnya melalui bug di algoritma pencarian jodoh buatanku, dan bahwa aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh.
Keesokan harinya, aku menerima balasan. Balasan yang singkat, namun sarat makna. "Aksara? Jadi, kamu adalah arsitek di balik algoritma yang mempertemukan begitu banyak orang?"
Percakapan kami berlanjut selama berhari-hari. Kami membahas segala hal, mulai dari kompleksitas algoritma hingga keindahan konstelasi bintang. Kami berbagi mimpi, harapan, dan ketakutan kami. Semakin aku mengenalnya, semakin aku yakin bahwa Lintang adalah seseorang yang spesial.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk mengajaknya bertemu. Aku menyiapkan sebuah piknik sederhana di taman kota, di bawah langit malam yang bertaburan bintang. Saat ia tiba, jantungku berdegup kencang. Ia tampak lebih cantik dari foto-fotonya. Matanya memancarkan kehangatan dan kecerdasan.
Kami duduk berdampingan, menikmati hidangan sederhana yang kubawa. Kami bercerita, tertawa, dan saling bertukar pandang. Di bawah cahaya bintang-bintang, aku merasa seperti berada di tempat yang seharusnya.
Lintang kemudian bercerita bahwa dialah yang meninggalkan jejak-jejak digital di algoritmaku. Ia adalah seorang programmer amatir yang tertarik dengan AI dan algoritma pencarian jodoh. Ia merasa bahwa algoritma buatanku terlalu kaku, terlalu berfokus pada data dan statistik, dan mengabaikan faktor-faktor yang lebih halus dan intuitif.
"Aku ingin melihat apakah algoritma ini bisa menemukan seseorang yang benar-benar cocok denganku," ujarnya sambil tersenyum. "Aku ingin melihat apakah ia bisa membaca jejak digital hatiku."
Aku terdiam. Kata-katanya menohokku. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan kode dan algoritma, hingga lupa bahwa cinta bukanlah sekadar angka dan persamaan. Cinta adalah tentang koneksi, empati, dan intuisi.
Malam itu, di bawah langit malam yang indah, aku menyadari bahwa aku telah menemukan cinta. Bukan melalui algoritma yang sempurna, melainkan melalui sebuah bug yang tak terduga. Sebuah bug yang membawaku pada jejak digital hati Lintang.
Sejak saat itu, hidupku berubah. Aku tidak lagi hanya seorang pengembang AI yang kesepian. Aku adalah seorang pria yang jatuh cinta pada seorang wanita yang luar biasa. Kami membangun masa depan bersama, berdasarkan cinta, kepercayaan, dan pemahaman.
Aku belajar bahwa kadang-kadang, kesalahan adalah anugerah terindah. Bahwa kadang-kadang, jejak digital hati seseorang adalah petunjuk yang lebih akurat daripada algoritma tercanggih sekalipun. Dan bahwa kadang-kadang, cinta ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, di tengah aliran data yang tak berujung.