Debu neon berputar-putar di udara Cafe Pixel, kafe yang lebih mirip laboratorium daripada tempat minum kopi. Aroma kopi bercampur dengan ozon, hasil samping dari mesin kuantum yang duduk anggun di sudut ruangan. Di sana, Maya duduk, matanya terpaku pada layar transparan di depannya. Deretan kode algoritma cinta berkelebat cepat, sebuah simfoni digital yang ia susun untuk menemukan 'belahan jiwa'.
Dunia telah berubah. Aplikasi kencan konvensional sudah usang. Algoritma cinta berbasis data besar dan kecerdasan buatan menawarkan ketepatan yang jauh lebih tinggi. Namun, Maya, seorang ahli fisika kuantum yang idealis, merasa ada sesuatu yang hilang. Ia percaya, cinta sejati tidak bisa direduksi hanya menjadi persamaan matematika.
"Masih belum ada yang cocok?" sapa Leo, seorang insinyur robotika dengan senyum hangat yang selalu berhasil membuat Maya merasa sedikit lebih ringan. Leo adalah teman baiknya sejak kuliah, saksi bisu kegagalan demi kegagalan Maya dalam mencari cinta.
Maya menghela napas. "Algoritma menemukan kandidat yang secara statistik sempurna. Hobi sama, nilai-nilai identik, bahkan frekuensi detak jantung yang sinkron. Tapi… tidak ada percikan. Tidak ada 'itu'."
Leo duduk di depannya, memesan kopi dengan sensor sentuh di meja. "Mungkin kau terlalu fokus pada angka, Maya. Cinta itu lebih dari sekadar data."
"Lalu apa, Leo? Apa itu?" Maya bertanya, putus asa. Ia telah menginvestasikan bertahun-tahun dalam proyek ini, berusaha membuktikan bahwa cinta, seperti segalanya di alam semesta, bisa diuraikan dan diprediksi.
"Mungkin… itu sentuhan kuantum," jawab Leo sambil tersenyum misterius. "Efek yang tidak bisa diukur, koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan logika."
Maya mencibir. "Sentuhan kuantum? Itu hanya omong kosong filosofis, Leo. Entanglement kuantum tidak berlaku untuk hubungan manusia."
"Mungkin saja berlaku, Maya. Mungkin kita hanya belum menemukan cara untuk mengukurnya."
Perdebatan mereka terhenti ketika alarm di mesin kuantum berbunyi. Sebuah anomali terdeteksi dalam proses simulasi. Data menunjukkan bahwa dua profil, yang awalnya sama sekali tidak cocok, tiba-tiba terhubung dengan tingkat probabilitas yang luar biasa tinggi.
"Apa ini?" Maya bertanya, terpaku pada layar. Salah satu profil adalah miliknya. Profil yang lain… adalah Leo.
"Sepertinya mesinmu sedang berusaha mengatakan sesuatu," kata Leo, wajahnya sedikit memerah.
Maya mencoba menolak. Itu pasti kesalahan. Glitch dalam sistem. Algoritma tidak mungkin salah. Tapi kemudian, ia menatap mata Leo. Mata yang selalu ada untuknya, mata yang selalu memandangnya dengan perhatian dan kelembutan. Ia menyadari, selama ini ia terlalu sibuk mencari 'belahan jiwa' yang sempurna di antara jutaan profil digital, hingga ia mengabaikan seseorang yang sudah ada di sisinya.
"Mesin ini bodoh," kata Maya akhirnya, mematikan layar. "Aku lebih percaya pada instingku."
Leo tersenyum. "Instingmu mengatakan apa?"
"Instingku mengatakan… kita harus mencoba."
Keesokan harinya, Maya dan Leo pergi ke laboratorium universitas. Mereka berniat menganalisis anomali yang terdeteksi oleh mesin kuantum. Mereka menghabiskan berjam-jam menguji ulang data, mencari penjelasan logis untuk koneksi aneh itu. Tapi semakin mereka mencari, semakin mereka menyadari bahwa tidak ada penjelasan yang masuk akal.
"Mungkin Leo benar," pikir Maya. "Mungkin ada sentuhan kuantum dalam hubungan manusia."
Saat matahari mulai terbenam, mereka berhenti bekerja dan berjalan ke atap laboratorium. Udara dingin membuat kulit mereka merinding. Mereka berdiri berdampingan, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit.
"Aku selalu mengagumi kecerdasanmu, Maya," kata Leo tiba-tiba. "Tapi yang lebih aku kagumi adalah hatimu. Ketulusanmu, semangatmu… itu yang membuatku jatuh cinta padamu."
Maya menoleh, terkejut. "Leo…"
"Aku tahu ini mungkin terdengar gila, setelah semua yang telah kita alami. Tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Aku mencintaimu, Maya."
Air mata mengalir di pipi Maya. "Aku juga mencintaimu, Leo. Selama ini aku terlalu buta untuk menyadarinya."
Leo meraih tangan Maya, jemarinya saling bertaut. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka, kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma apa pun. Di saat itu, Maya merasa bahwa ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada cinta yang diprediksi secara statistik. Ia telah menemukan cinta sejati, cinta yang lahir dari persahabatan, pengertian, dan sentuhan kuantum yang tak terukur.
Mereka berdiri di sana, bergandengan tangan, di bawah langit yang bertaburan bintang. Dunia digital di sekitar mereka menghilang, digantikan oleh keheningan dan keintiman. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu bahwa mereka akan menghadapinya bersama-sama.
Di era algoritma, di mana cinta seringkali direduksi menjadi serangkaian data dan persamaan, Maya dan Leo menemukan bahwa cinta sejati masih membutuhkan sentuhan manusia. Sentuhan yang tidak bisa diukur, koneksi yang tidak bisa diprediksi, dan keajaiban yang hanya bisa dijelaskan dengan satu kata: cinta. Mungkin, sentuhan kuantum adalah cara alam semesta menunjukkan bahwa cinta, bahkan di era teknologi yang paling canggih sekalipun, tetaplah misteri yang indah dan tak terpecahkan. Cinta, dalam segala ketidakpastiannya, adalah abadi.