Debu neon bertebaran di udara saat Anya melangkah masuk ke Neon Cafe, sebuah tempat yang lebih mirip laboratorium daripada kedai kopi. Kabel-kabel merambat di dinding, layar-layar hologram menampilkan kode-kode rumit yang terus bergulir, dan aroma kopi bercampur dengan bau ozon yang khas. Di pojok ruangan, di bawah sorotan lampu biru yang redup, duduk Arion.
Anya mengenalnya dari Algoritma Cinta, sebuah platform kencan revolusioner yang ia dan Arion ciptakan bersama. Algoritma itu, yang konon mampu menemukan pasangan jiwa berdasarkan analisis mendalam terhadap data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak, telah mengubah lanskap percintaan di Neo-Jakarta. Jutaan orang telah menemukan cinta melalui Algoritma Cinta. Namun, ironisnya, kedua penciptanya justru terjebak dalam zona abu-abu yang rumit.
“Terlambat lima menit,” sapa Arion tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menghasilkan rentetan kode yang memusingkan.
“Maaf, tadi ada perbaikan bug di modul ‘Kejujuran Emosional’,” jawab Anya, duduk di hadapannya. “Kau tahu sendiri, modul itu paling sensitif.”
Arion mendengus. “Sensitif? Lebih tepatnya, tidak akurat. Manusia terlalu kompleks untuk diprediksi oleh algoritma apa pun.”
Itulah perbedaan mendasar antara Anya dan Arion. Anya percaya bahwa cinta, meskipun misterius, dapat diuraikan dan dipetakan dengan data yang cukup. Arion, di sisi lain, semakin skeptis dengan kemampuan teknologi untuk benar-benar memahami hati manusia.
Mereka berdua menciptakan Algoritma Cinta atas dasar kebutuhan. Anya, yang menyaksikan ibunya patah hati berulang kali, ingin menciptakan sistem yang akan melindungi orang lain dari rasa sakit itu. Arion, seorang ilmuwan yang selalu mencari solusi logis untuk masalah-masalah kompleks, melihat cinta sebagai persamaan yang belum terpecahkan.
Selama berbulan-bulan bekerja bersama, mereka menghabiskan waktu berjam-jam membahas teori, menguji kode, dan berdebat tentang arti cinta. Mereka berbagi kopi tengah malam, tawa yang tiba-tiba meledak, dan keheningan yang nyaman. Anya menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Arion, bukan pada algoritmanya, melainkan pada caranya berpikir, caranya tersenyum, dan caranya mengusap rambutnya ke belakang saat sedang fokus.
Namun, Algoritma Cinta telah menetapkan bahwa mereka berdua tidak cocok. Profil mereka, berdasarkan data yang mereka masukkan sendiri, menunjukkan tingkat kecocokan hanya 62%. Cukup untuk menjadi rekan kerja yang baik, tetapi tidak cukup untuk menjadi pasangan.
“Aku sudah selesai dengan iterasi terbaru,” kata Arion, menutup laptopnya. “Kecocokan modul ‘Empati’ meningkat sebesar 3,7%.”
“Bagus,” jawab Anya datar. Ia tidak tertarik dengan peningkatan modul Empati. Ia ingin tahu apa yang Arion rasakan terhadapnya.
“Anya,” Arion memulai, nadanya serius. “Aku... aku pikir kita perlu membicarakan tentang masa depan Algoritma Cinta.”
Anya menelan ludah. Inilah saatnya. Ia akan mendengar apakah Arion juga merasakan sesuatu, atau apakah ia hanya terpaku pada kode dan data.
“Aku setuju,” kata Anya. “Tapi, sebelum itu, ada hal lain yang ingin aku bicarakan.”
Ia menarik napas dalam-dalam. “Algoritma Cinta mungkin telah menemukan jutaan pasangan, tapi… algoritma itu salah tentang kita.”
Arion mengangkat alisnya, tampak terkejut. “Maksudmu?”
“Aku… aku mencintaimu, Arion,” kata Anya, suaranya bergetar. “Aku tahu algoritma mengatakan kita tidak cocok, tapi… aku tidak peduli. Aku tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan.”
Keheningan menggantung di udara, tebal dan berat. Anya menunggu, jantungnya berdebar kencang. Ia bisa melihat keraguan di mata Arion, pertempuran antara logika dan emosi.
Arion menghela napas. “Anya, kau tahu aku sangat menghargaimu. Kau adalah partner kerjaku yang paling brilian dan teman terbaikku. Tapi…”
“Tapi kau tidak mencintaiku,” potong Anya, merasakan hatinya hancur.
“Bukan itu,” jawab Arion cepat. “Aku… aku takut. Aku takut kalau Algoritma Cinta benar. Bagaimana jika kita bersama dan ternyata tidak berhasil? Aku tidak ingin kehilanganmu, Anya.”
Anya meraih tangan Arion, jemarinya dingin. “Kita tidak akan tahu jika tidak mencobanya. Lagipula, siapa yang lebih tahu tentang cinta daripada kita? Kita yang menciptakannya!”
Arion tersenyum tipis. “Kau benar. Tapi, bagaimana dengan data? Bagaimana dengan algoritma?”
“Lupakan algoritma,” kata Anya. “Algoritma hanya alat. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hati kita.”
Arion menatap mata Anya dalam-dalam. Ia melihat kejujuran, keberanian, dan cinta yang tulus. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu lama bersembunyi di balik kode dan data, takut untuk menghadapi emosinya sendiri.
“Baiklah,” kata Arion, suaranya penuh tekad. “Lupakan algoritma. Mari kita cari tahu apa yang sebenarnya kita rasakan.”
Ia menggenggam tangan Anya erat-erat. “Tapi, ada satu syarat.”
“Apa itu?” tanya Anya, jantungnya berdebar lagi.
“Kita harus menonaktifkan modul ‘Prediksi Masa Depan’ di Algoritma Cinta,” kata Arion. “Biarkan orang-orang mengambil risiko dan membuat kesalahan. Biarkan mereka menemukan cinta dengan cara mereka sendiri, tanpa dipandu oleh algoritma.”
Anya tersenyum. “Aku setuju. Biarkan cinta menjadi sesuatu yang liar dan tak terduga lagi.”
Mereka berdua bangkit dari kursi mereka dan berjalan keluar dari Neon Cafe, bergandengan tangan. Debu neon menyelimuti mereka, menciptakan aura magis di sekitar mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu bahwa mereka akan menghadapinya bersama, tanpa bantuan algoritma apa pun.
Di dalam Neon Cafe, layar-layar hologram masih menampilkan kode-kode rumit yang terus bergulir. Algoritma Cinta terus mencari pasangan jiwa, tetapi kali ini, tanpa campur tangan dari kedua penciptanya. Karena mereka telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada algoritma: keberanian untuk mencintai dengan sepenuh hati, bahkan tanpa jaminan kesuksesan.