Debu neon kota berpadu dengan aroma kopi sintetis dari mesin otomatis di kafe stasiun. Anya menatap layar hologram di hadapannya, menampilkan profil sempurna seorang pria bernama Kai. Algoritma "Soulmate AI," yang mendominasi dunia kencan modern, telah menetapkan Kai sebagai pasangan idealnya dengan skor kecocokan 98,7%. Hampir sempurna. Anya menghela napas. Di dunia di mana cinta bisa diprediksi dan dioptimalkan, keajaiban terasa seperti artefak kuno.
Dulu, orang bertemu secara kebetulan, terpesona oleh senyum asing, atau terhubung karena minat yang sama. Sekarang, semua itu diukur, dianalisis, dan disajikan dalam bentuk laporan kompatibilitas. Anya, seorang programmer muda yang bekerja di perusahaan teknologi yang mengembangkan Soulmate AI, merasa terjebak dalam ironi ini. Ia menciptakan sistem yang katanya akan membawa kebahagiaan, tapi justru membuatnya bertanya-tanya tentang esensi cinta sejati.
Kai, sesuai profilnya, adalah seorang arsitek yang berdedikasi, pecinta alam, dan penggemar berat puisi klasik. Ia bahkan mengirim Anya sebait soneta melalui aplikasi Soulmate AI, yang semakin meyakinkannya bahwa algoritma itu akurat. Namun, di balik semua kesempurnaan itu, ada sesuatu yang hilang. Keberanian untuk melompat ke dalam ketidakpastian, sensasi jantung berdebar karena hal yang tak terduga, dan rasa takut sekaligus gembira yang muncul saat menghadapi seseorang yang benar-benar berbeda.
Kencan pertama mereka diatur di taman virtual yang dibuat oleh Soulmate AI. Bunga-bunga digital bermekaran di sekitar mereka, suara burung-burung sintesis berkicau riang. Kai, seperti yang diharapkan, tampan dan sopan. Mereka berbicara tentang arsitektur berkelanjutan, puisi Wordsworth, dan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Anya mengagumi pengetahuannya, terkesan dengan kecerdasannya. Tapi di balik semua percakapan yang cerdas dan menarik, Anya merasa ada dinding yang tak terlihat. Semuanya terasa terlalu terencana, terlalu sempurna.
Beberapa kencan berlalu dengan cara yang sama. Setiap percakapan adalah rangkaian topik yang disarankan oleh Soulmate AI, setiap gerakan dan ekspresi wajah dianalisis dan dioptimalkan. Anya merasa seperti sedang memainkan peran dalam drama yang ditulis oleh algoritma. Ia merindukan percakapan yang kikuk, tawa yang tak terkendali, dan momen-momen canggung yang justru membuat hubungan terasa nyata.
Suatu malam, saat sedang berjalan-jalan di taman virtual, Kai berhenti dan menatap Anya dengan ekspresi yang telah diprediksi oleh Soulmate AI: romantis dan penuh kasih sayang. "Anya," katanya dengan suara yang terdengar tulus, "algoritma telah menunjukkan bahwa kita sangat cocok. Aku pikir... aku pikir aku mencintaimu."
Anya terkejut. Ia seharusnya senang, inilah yang ia inginkan, bukan? Tapi hatinya terasa kosong. Ia tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan. Ia hanya merasakan kehampaan yang mendalam.
"Kai," kata Anya pelan, "aku... aku tidak tahu."
Kai tampak bingung. "Apa maksudmu? Algoritma telah membuktikan..."
"Algoritma tidak bisa membuktikan cinta," potong Anya. "Algoritma hanya bisa menganalisis data dan membuat prediksi. Tapi cinta lebih dari sekadar data. Cinta adalah tentang risiko, tentang kejutan, tentang menerima ketidaksempurnaan."
Kai terdiam. Ia tidak mengerti. Baginya, cinta adalah persamaan matematika yang bisa dipecahkan dengan bantuan algoritma.
Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia menutup aplikasi Soulmate AI dan menatap Kai dengan mata terbuka lebar. "Aku ingin mengenalmu, Kai," katanya. "Bukan Kai yang diprediksi oleh algoritma, tapi Kai yang sebenarnya. Apakah kamu bersedia?"
Kai tampak ragu. Ia terbiasa mengikuti panduan algoritma, merasa aman dalam kepastiannya. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Anya yang menariknya keluar dari zona nyaman.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Kai jujur. "Aku tidak yakin bagaimana melakukannya tanpa algoritma."
"Kita akan belajar bersama," kata Anya sambil tersenyum. "Kita akan memulai dari awal. Tanpa algoritma, tanpa prediksi, hanya kita berdua."
Mereka memulai dengan percakapan sederhana. Tentang mimpi-mimpi mereka yang paling liar, tentang ketakutan-ketakutan mereka yang tersembunyi, tentang hal-hal yang membuat mereka tertawa dan menangis. Anya menemukan bahwa Kai yang sebenarnya jauh lebih menarik daripada profil yang dibuat oleh Soulmate AI. Ia bukan hanya seorang arsitek yang berdedikasi, tapi juga seorang pemimpi yang penuh semangat. Ia bukan hanya seorang pecinta alam, tapi juga seorang aktivis yang berjuang untuk keadilan sosial.
Anya juga membuka diri kepada Kai, menceritakan tentang keraguannya tentang Soulmate AI, tentang keinginannya untuk menciptakan sesuatu yang lebih berarti. Mereka saling mendukung, saling menantang, dan saling menginspirasi. Cinta mereka tumbuh bukan karena algoritma, tapi karena pilihan bebas mereka untuk saling mencintai.
Suatu malam, Anya dan Kai duduk di atap gedung apartemen Anya, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit kota. Tidak ada taman virtual, tidak ada suara burung-burung sintesis. Hanya ada mereka berdua, di bawah cahaya bintang-bintang yang nyata.
"Aku mengerti sekarang," kata Kai pelan. "Cinta bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tapi tentang menerima orang yang tidak sempurna dan mencintai mereka apa adanya."
Anya tersenyum dan menggenggam tangan Kai. "Ya," katanya. "Cinta adalah tentang memilih untuk mencintai, setiap hari."
Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Akan ada tantangan, akan ada kesulitan. Tapi mereka siap menghadapinya bersama, tanpa algoritma, hanya dengan cinta dan pilihan bebas mereka. Di dunia yang semakin dikendalikan oleh teknologi, Anya dan Kai telah menemukan keajaiban cinta yang sejati, cinta yang tumbuh di bawah kendali algoritma, tapi mekar karena pilihan bebas mereka. Mereka membuktikan bahwa takdir bisa diatur, tetapi pilihan untuk mencintai tetap ada di tangan kita.