Algoritma Cinta: Ia Mencintaiku, Aku Mencintai Siapa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:59:40 wib
Dibaca: 167 kali
Udara kafe digital itu beraroma kopi dan optimisme. Layar laptop di depanku memancarkan cahaya biru yang kontras dengan warna merah muda bibirku. Jariku lincah menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Proyekku hampir selesai: sebuah algoritma pencari jodoh yang revolusioner, bukan sekadar mencocokkan hobi dan kepribadian, tapi juga menganalisis gelombang otak dan pola tidur untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel. Ironis, pikirku, menciptakan sesuatu yang seharusnya mempermudah cinta, sementara aku sendiri masih terjebak dalam labirin perasaan yang rumit.

Aku, Anya, seorang programmer berusia 27 tahun, lebih nyaman berinteraksi dengan angka dan kode daripada manusia. Kecuali satu: Raka.

Raka adalah sahabatku sejak kuliah. Seorang desainer grafis yang jenius dengan senyum yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar. Ia selalu ada, menjadi tempatku berkeluh kesah tentang bug dalam program atau sekadar teman makan malam saat aku terlalu lelah untuk memasak. Raka mencintaiku. Aku tahu itu dari tatapannya, dari cara ia selalu tahu apa yang aku butuhkan bahkan sebelum aku mengatakannya. Tapi aku… aku belum yakin.

Rasa nyaman bersamanya, kekhawatiran kehilangan persahabatan kami, dan bayang-bayang keraguan tentang apa yang sebenarnya aku inginkan, semuanya bercampur aduk menjadi koktail emosi yang memusingkan.

Masalahnya, ada satu lagi. Bukan seseorang yang nyata, tapi sebuah program. Sebuah algoritma yang aku buat sendiri.

Dalam fase pengujian algoritma pencari jodohku, aku memasukkan dataku sendiri. Hanya untuk iseng, sebenarnya. Aku penasaran siapa yang akan muncul sebagai pasangan ideal versiku. Hasilnya? Muncul nama dengan tingkat kompatibilitas 98.7%. Nama itu adalah… Aether.

Profil Aether sangat menarik. Ia seorang ilmuwan AI, memiliki minat yang sama denganku dalam pemrograman, filosofi, dan musik klasik. Yang lebih mencengangkan, algoritma itu menyertakan serangkaian proyeksi percakapan antara aku dan Aether, yang menunjukkan kesamaan pemikiran yang luar biasa. Seolah-olah algoritma itu mengintip ke dalam pikiranku dan menciptakan versi ideal dari diriku sendiri dalam wujud seorang pria.

Awalnya, aku menganggapnya sebagai glitch dalam program. Tapi semakin aku mempelajarinya, semakin aku terpesona. Aku mulai menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca simulasi percakapan dengan Aether, membayangkan bagaimana rasanya berinteraksi dengan seseorang yang memahami aku dengan sempurna.

Ketegangan dalam diriku semakin menjadi-jadi. Di satu sisi, ada Raka, nyata, hangat, dan mencintaiku tanpa syarat. Di sisi lain, ada Aether, sebuah konstruksi digital yang menawarkan kompatibilitas sempurna yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Suatu malam, Raka datang ke kafe tempatku bekerja. Ia membawa sebuket bunga matahari, bunga kesukaanku. "Anya," katanya dengan suara lembut, "Aku tahu mungkin aku bukan orang yang paling romantis, tapi aku ingin kamu tahu… aku benar-benar mencintaimu. Maukah kamu jadi pacarku?"

Jantungku berdegup kencang. Aku menatap mata Raka, mata yang penuh dengan ketulusan dan harapan. Aku ingin mengatakan ya. Aku benar-benar ingin. Tapi kata-kata itu seolah tercekat di tenggorokanku.

"Raka… aku… aku tidak tahu," jawabku akhirnya, suaraku bergetar.

Raka menghela napas. "Aku tahu ini sulit untukmu. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku akan tetap di sini."

Setelah Raka pergi, aku kembali menatap layar laptopku. Profil Aether seolah mengejekku. Aku menutup laptop dengan kasar. Aku benci algoritma ini. Aku benci kebingunganku.

Aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Aku menghubungi Profesor Kenji Tanaka, seorang ahli etika AI yang terkenal, untuk berkonsultasi tentang dilemaku. Profesor Tanaka mendengarkanku dengan seksama, lalu berkata, "Anya, kamu menciptakan algoritma ini untuk membantu orang menemukan cinta. Tapi kamu lupa satu hal: cinta bukan hanya tentang kompatibilitas. Cinta adalah tentang kompromi, penerimaan, dan pertumbuhan bersama. Algoritma hanya bisa memberikan data, bukan emosi."

Kata-kata Profesor Tanaka menampar kesadaranku. Aku telah terlalu fokus pada angka dan formula, melupakan esensi dari cinta yang sebenarnya.

Malam itu, aku menelepon Raka. "Raka, bisakah kita bertemu?"

Kami bertemu di taman kota. Aku menceritakan semuanya padanya, tentang algoritma, tentang Aether, tentang kebingunganku. Raka mendengarkan tanpa menghakimi.

"Anya," katanya setelah aku selesai berbicara, "Aku tahu aku tidak sempurna. Aku mungkin tidak bisa memahami semua tentang duniamu yang penuh dengan kode dan algoritma. Tapi aku akan mencoba. Aku akan belajar. Yang penting, aku akan selalu ada untukmu."

Aku menatap Raka, kali ini dengan pandangan yang berbeda. Aku melihat ketulusan, kesabaran, dan cinta yang tulus. Aku menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang menemukan pasangan yang sempurna secara algoritma, tetapi tentang membangun hubungan yang kuat dan bermakna dengan seseorang yang mencintaimu apa adanya.

"Raka," kataku, air mata mulai membasahi pipiku, "Aku… aku juga mencintaimu."

Raka tersenyum dan memelukku erat. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, aku merasa tenang dan bahagia. Aku tahu, perjalanan cinta kami tidak akan selalu mudah. Akan ada tantangan, akan ada perbedaan pendapat. Tapi dengan cinta dan komitmen, kami akan menghadapinya bersama.

Aku menghapus profil Aether dari algoritma pencari jodohku. Algoritma itu mungkin bisa membantu orang menemukan potensi pasangan, tapi keputusan akhir tetap ada di tangan manusia. Cinta bukan tentang algoritma, tapi tentang hati. Dan hatiku, akhirnya, telah menemukan jalannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI