Aplikasi kencan itu bernama "SoulMate AI". Bukan sekadar algoritma pencocokan biasa, SoulMate AI mengklaim mampu menganalisis resonansi emosional melalui pola ucapan, pilihan kata, bahkan mikromimikri wajah dalam panggilan video. Awalnya, Anya menganggapnya omong kosong. Setelah putus cinta yang menyakitkan, ia hanya mengunduhnya karena rasa penasaran yang absurd.
"Resonansi emosional? Kedengarannya seperti mantra dukun," gumamnya sambil mengunggah foto profil terbarunya.
Anya adalah seorang programmer. Logika dan kode adalah dunianya. Cinta, baginya, adalah variabel X yang rumit, penuh irasionalitas, dan seringkali menghasilkan bug dalam sistem kehidupannya. Tapi, hatinya, yang baru saja dipermak secara paksa oleh mantannya, diam-diam merindukan solusi.
SoulMate AI mulai bekerja. Serangkaian pertanyaan aneh muncul: "Apa aroma hujan favoritmu?", "Jika emosi adalah warna, warna apa yang paling sering kamu rasakan?", "Bagaimana kamu mendefinisikan kebahagiaan dalam satu paragraf?". Pertanyaan-pertanyaan itu, entah bagaimana, terasa menenangkan. Anya menjawabnya dengan jujur, seolah curhat pada seorang teman yang tak menghakimi.
Beberapa hari kemudian, SoulMate AI menemukan "kecocokan optimal". Namanya, Kai. Seorang arsitek lanskap dengan senyum teduh dan mata yang meneduhkan. Profilnya dipenuhi foto-foto taman indah dan kutipan-kutipan puitis tentang alam. Anya, yang biasanya skeptis, merasakan sesuatu berdesir di dadanya. Mungkin, hanya mungkin, algoritma ini ada benarnya.
Mereka mulai berkirim pesan. Kai ternyata menyenangkan dan cerdas. Mereka membahas arsitektur, pemrograman, bahkan filsafat eksistensial di sela-sela obrolan ringan tentang film favorit dan makanan yang mereka sukai. Anya terkejut menemukan dirinya tertawa dan merasa nyaman berbicara tentang hal-hal yang biasanya ia simpan rapat-rapat.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Kai memilih sebuah kafe kecil dengan taman vertikal yang rimbun. Ketika Anya melihatnya, duduk di bawah naungan pohon anggur, jantungnya berdebar kencang. Kai, dalam wujud nyata, bahkan lebih mempesona. Senyumnya tulus, matanya berbinar hangat.
Kencan itu berjalan lancar. Mereka berbicara berjam-jam, menemukan kesamaan yang mengejutkan dan perbedaan yang menarik. Kai mendengarkan Anya dengan penuh perhatian, menanggapi setiap ceritanya dengan empati dan rasa ingin tahu. Anya, yang biasanya gugup dan kaku, merasa rileks dan menjadi dirinya sendiri.
Setelah kencan itu, mereka bertemu lagi dan lagi. Mereka menjelajahi kota, mengunjungi museum, menonton konser musik indie, dan berjalan-jalan di taman-taman yang dirancang Kai. Anya mulai melupakan luka lama. Kai, dengan kehadirannya yang menenangkan dan perhatiannya yang tulus, perlahan-lahan menyembuhkan hatinya yang terluka.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Anya, menatap gemerlap lampu kota, Kai meraih tangannya. Anya merasakan sengatan listrik yang menyenangkan.
"Anya," kata Kai, suaranya lembut, "aku... aku sangat menikmati waktu bersamamu. Aku merasa terhubung denganmu dengan cara yang belum pernah kurasakan sebelumnya."
Anya menatap matanya. Ia melihat kejujuran, ketulusan, dan harapan. Ia merasakan cinta tumbuh di dalam hatinya, bukan sebagai variabel X yang menakutkan, tetapi sebagai konstanta yang menenangkan.
"Aku juga, Kai," jawab Anya, suaranya bergetar. "Aku juga merasakan hal yang sama."
Mereka berciuman. Ciuman itu lembut, penuh kerinduan dan harapan. Anya merasa seolah seluruh dunia menghilang, hanya ada mereka berdua, terhubung dalam keheningan malam.
Beberapa bulan kemudian, Anya mendapat tawaran pekerjaan impiannya: memimpin tim pengembang di SoulMate AI. Ia awalnya ragu. Apakah etis baginya, yang menemukan cinta melalui aplikasi tersebut, untuk bekerja di sana? Tapi kemudian ia berpikir, mungkin ini adalah kesempatan untuk membuat algoritma yang benar-benar membantu orang menemukan kebahagiaan.
Ia menerima tawaran itu.
Di hari pertamanya bekerja, Anya mempelajari kode SoulMate AI. Ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Algoritma resonansi emosional itu, yang selama ini ia kagumi, ternyata memiliki satu loophole yang sengaja dibuat oleh pendirinya: variabel "keberanian untuk rentan".
Algoritma itu sengaja dirancang untuk memberikan kecocokan yang optimal, tetapi dengan satu syarat: kedua orang tersebut harus berani menunjukkan diri mereka yang sebenarnya, dengan segala kelemahan dan ketakutan mereka. Jika salah satu dari mereka menyembunyikan diri di balik topeng, sistem akan gagal.
Anya menyadari bahwa SoulMate AI tidak memecahkan persamaan hatinya. Itu hanya memberikan wadah, platform yang aman baginya dan Kai untuk saling terhubung. Yang memecahkan persamaan itu adalah keberanian mereka berdua untuk menjadi rentan, untuk jujur satu sama lain, dan untuk membuka hati mereka untuk cinta.
Ia tersenyum. Teknologi memang bisa membantu, tapi pada akhirnya, cinta adalah tentang manusia. Tentang keberanian untuk mengambil risiko, untuk percaya, dan untuk membuka diri pada kemungkinan kebahagiaan. Variabel X mungkin tetap ada, tetapi kali ini, Anya tahu bagaimana cara mengendalikannya. Ia memegang erat tangan Kai, dan bersama, mereka melangkah maju, menuju masa depan yang penuh dengan cinta dan kemungkinan. Dan Anya tahu, bahkan jika algoritma gagal, cinta mereka akan tetap bertahan. Karena cinta yang sejati, seperti kode yang baik, selalu menemukan cara untuk beradaptasi dan bertahan.