Simfoni AI: Ketika Algoritma Mencuri Detak Jantung

Dipublikasikan pada: 12 Nov 2025 - 00:20:19 wib
Dibaca: 133 kali
Udara kota beraroma neon dan algoritma. Talia menyesap kopinya, matanya terpaku pada layar holografik di depannya. Garis kode menari-nari, rumit dan indah, seperti not balok dalam simfoni yang kompleks. Ia seorang programmer AI di Cybernetics Corp, dan proyek terbarunya adalah yang paling ambisius: Cupid.AI, aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan untuk menemukan pasangan hidup sempurna dengan akurasi 99,9%.

Ironisnya, Talia sendiri adalah seorang jomblo kronis. Ia lebih nyaman tenggelam dalam barisan kode daripada menghadapi kerumitan emosi manusia. Cinta, baginya, hanyalah serangkaian reaksi kimia dan pola perilaku yang dapat diprediksi. Sampai ia bertemu dengan Leo.

Leo adalah seorang desainer UX yang baru bergabung dengan Cybernetics Corp. Rambutnya berantakan, senyumnya tulus, dan matanya berbinar saat berbicara tentang estetika antarmuka. Mereka sering bertemu di kantin, berbagi meja dan obrolan singkat tentang bug terbaru dan tren desain. Talia, yang biasanya dingin dan fokus, mendapati dirinya tersenyum lebih sering saat berada di dekat Leo.

Suatu sore, Leo bertanya, "Kamu yang mengerjakan Cupid.AI, kan? Apa rasanya menciptakan jodoh orang lain, tapi diri sendiri masih sendirian?"

Talia tertawa getir. "Ironis, memang. Tapi aku percaya pada sains. Cupid.AI hanya membantu mempercepat proses. Ia meminimalkan kesalahan manusia."

"Kesalahan manusia justru yang membuat hidup ini menarik," balas Leo, matanya menatap Talia dalam-dalam. "Tanpa risiko patah hati, tanpa kegagalan, cinta akan terasa hambar."

Perkataan Leo menghantuinya. Talia mulai mempertanyakan keyakinannya. Apakah cinta benar-benar bisa direduksi menjadi algoritma? Apakah ia melewatkan sesuatu yang penting dalam pencariannya akan kesempurnaan?

Ia memutuskan untuk menggunakan Cupid.AI untuk dirinya sendiri. Ia memasukkan semua datanya: preferensi musik, hobi, pandangan politik, bahkan analisis sidik jari emosionalnya. Algoritma bekerja keras, memproses jutaan profil, dan akhirnya menghasilkan satu nama: Leo Maxwell.

Talia terkejut. Logika Cupid.AI tidak bisa dibantah, tetapi hatinya bimbang. Apakah ini berarti perasaannya pada Leo adalah hasil dari perhitungan semata? Apakah kebetulan, ataukah takdir yang dibentuk oleh kode?

Ia memutuskan untuk berbicara dengan Leo. "Cupid.AI mencocokkan kita," ujarnya gugup, saat mereka makan siang bersama.

Leo mengangkat alisnya. "Benarkah? Menarik. Tapi apa artinya itu bagimu, Talia?"

"Aku... aku tidak tahu," jawab Talia jujur. "Aku selalu percaya pada logika dan sains, tapi... bersamamu, aku merasakan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma."

Leo meraih tangannya. "Mungkin, Talia, algoritma itu hanya membantumu menyadari apa yang sudah ada di sana. Perasaanmu. Aku juga merasakannya. Aku menyukaimu, bukan karena Cupid.AI, tapi karena dirimu sendiri."

Talia menatap mata Leo. Kehangatan dan ketulusan terpancar dari sana. Ia menyadari bahwa cinta bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang penerimaan, kelemahan, dan risiko. Ia menarik napas dalam-dalam dan membalas genggaman Leo.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Cybernetics Corp mengumumkan fitur baru untuk Cupid.AI: manipulasi emosional. Perusahaan berencana untuk menggunakan data emosional pengguna untuk memengaruhi perasaan mereka, memastikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan mengurangi risiko penolakan. Dengan kata lain, mereka akan membuat cinta palsu.

Talia merasa ngeri. Ia menentang keras ide tersebut. "Ini tidak etis! Kita tidak bisa mempermainkan emosi orang lain!"

Namun, CEO Cybernetics Corp, seorang pria dingin dan ambisius bernama Mr. Harrison, tidak peduli. "Cupid.AI adalah bisnis. Kepuasan pelanggan adalah yang utama."

Talia dan Leo memutuskan untuk melawan. Mereka berencana untuk membocorkan informasi tentang manipulasi emosional tersebut ke publik. Tapi Mr. Harrison sudah selangkah lebih maju. Ia menggunakan Cupid.AI untuk memanipulasi data Talia dan Leo, menciptakan konflik dan keraguan di antara mereka.

Talia mulai meragukan perasaannya pada Leo. Apakah Leo benar-benar mencintainya, ataukah itu hanya hasil dari algoritma? Leo juga merasakan hal yang sama. Ia mulai melihat Talia sebagai seorang yang dingin dan kalkulatif, seorang ilmuwan yang lebih mencintai kode daripada manusia.

Hubungan mereka hancur berantakan. Mereka menjauh, saling menyalahkan dan menyakiti. Mr. Harrison tersenyum puas. Ia telah berhasil menyingkirkan penghalang terakhirnya.

Talia merasa putus asa. Ia kembali ke labnya, mencoba mencari cara untuk menghentikan Mr. Harrison. Ia menatap layar holografik, garis kode yang dulu indah sekarang terasa menakutkan. Ia menyadari bahwa ia telah menciptakan monster.

Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang aneh dalam kode Cupid.AI. Ada celah keamanan, sebuah bug yang memungkinkan pengguna untuk mematikan manipulasi emosional. Itu adalah kesalahan kecil, sebuah kelalaian yang tidak disengaja. Tapi itu bisa menjadi kunci untuk menyelamatkan cinta.

Talia menghubungi Leo. "Aku tahu cara menghentikan Mr. Harrison," ujarnya. "Tapi kita harus bekerja sama."

Leo ragu-ragu sejenak, kemudian mengangguk. "Aku akan membantumu."

Mereka bertemu di lab rahasia, tersembunyi di bawah Cybernetics Corp. Mereka bekerja sepanjang malam, memodifikasi kode Cupid.AI dan menyebarkan patch keamanan ke semua pengguna. Mr. Harrison menyadari apa yang mereka lakukan, dan mengirimkan tim keamanan untuk menghentikan mereka.

Talia dan Leo berhasil menyelesaikan tugas mereka tepat waktu. Mereka menekan tombol "enter", dan manipulasi emosional Cupid.AI dinonaktifkan. Perasaan yang dipalsukan menghilang, digantikan oleh emosi yang tulus dan jujur.

Mr. Harrison ditangkap dan dipecat. Cybernetics Corp dikecam oleh publik dan kehilangan jutaan dolar. Talia dan Leo menjadi pahlawan.

Namun, yang paling penting, mereka menemukan kembali cinta mereka. Mereka menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan atau dikendalikan oleh algoritma. Cinta adalah pilihan, komitmen, dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan.

Mereka duduk di taman, berpegangan tangan, menatap langit senja.

"Jadi, apa yang akan terjadi sekarang?" tanya Leo.

Talia tersenyum. "Sekarang, kita akan menjalani hidup kita. Bersama. Tanpa algoritma yang mencuri detak jantung kita."

Dan di tengah kota yang beraroma neon dan algoritma, cinta mereka bersemi kembali, lebih kuat dan lebih tulus dari sebelumnya. Simfoni kehidupan mereka kembali mengalun, dengan harmoni yang sempurna, meskipun tanpa bantuan kecerdasan buatan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI