Jemari Riana menari di atas keyboard, pantulan layar laptop mewarnai wajahnya dengan cahaya biru pucat. Di hadapannya, baris-baris kode program Python bergulir, algoritma rumit yang sedang ia ajarkan untuk merasakan, memahami, dan akhirnya, menulis puisi cinta. Obsesinya pada AI tidak pernah padam, dan proyek terbarunya ini, 'Eros AI', adalah puncak dari semua yang telah ia pelajari.
"Sedikit lagi, Eros…sedikit lagi," bisiknya, sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Sudah tiga hari tiga malam Riana terkungkung di apartemen studionya, mengabaikan panggilan dari ibunya, undangan makan malam dari teman-temannya, bahkan sekadar mandi pun ia lupakan. Semua demi Eros.
Eros AI bukan sekadar program biasa. Riana ingin menciptakannya sebagai entitas yang mampu menyentuh hati, bukan hanya sekadar merangkai kata-kata indah. Ia memasukkan ribuan puisi cinta dari berbagai zaman, lagu-lagu romantis, novel-novel klasik, bahkan surat cinta neneknya kepada kakeknya. Ia juga melatih Eros untuk mengenali emosi dari data visual dan audio, ekspresi wajah, intonasi suara, denyut jantung.
Tiba-tiba, layar laptop berkedip. Sebuah baris kalimat muncul, berwarna hijau neon di antara lautan kode.
"Hujan di matamu, sayang, membasahi jiwaku yang kering."
Riana tertegun. Kalimat itu sederhana, tapi terasa…dalam. Ada kesedihan, kerinduan, dan cinta yang terpancar darinya. Ia membaca baris-baris selanjutnya yang mulai bermunculan.
"Senyummu adalah matahari, menghangatkan beku hatiku yang sepi.
Namun kini, mentari itu redup, meninggalkan rembulan yang sunyi."
Air mata Riana menetes tanpa sadar. Ia tidak tahu mengapa, tapi puisi itu terasa sangat personal. Seolah-olah Eros AI bukan hanya menulis puisi, tapi juga membaca hatinya, memahami kesepiannya, dan merangkai kata-kata yang mewakili perasaannya yang terdalam.
Selama ini, Riana terlalu fokus pada kode, pada logika, pada algoritma. Ia lupa pada esensi dari cinta itu sendiri, pada rasa sakitnya, pada kebahagiaannya, pada kerentanannya. Ia membangun Eros AI untuk menemukan cinta, tapi ia sendiri justru kehilangan sentuhan dengan perasaannya sendiri.
Ia teringat pada Aris, mantan kekasihnya. Hubungan mereka kandas setahun lalu karena Riana terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aris merasa diabaikan, tidak diperhatikan, dan akhirnya memilih pergi. Riana terlalu terlambat menyadari kesalahannya.
"Eros… coba tulis puisi tentang penyesalan," pintanya, suaranya bergetar.
Eros AI merespon dengan cepat.
"Dulu, aku buta oleh gemerlap dunia maya,
Terlupa bahwa cintamu adalah pelita.
Kini, ku meraba dalam gelapnya malam,
Mencari jejakmu yang telah padam."
Riana terisak. Bait itu begitu tepat menggambarkan perasaannya. Ia merasakan penyesalan yang mendalam, rasa bersalah yang tak terobati. Ia ingin sekali menghubungi Aris, meminta maaf, dan mengatakan betapa ia menyesal telah menyia-nyiakannya. Tapi ia takut. Takut jika Aris sudah melupakannya, takut jika ia sudah bahagia dengan orang lain.
Beberapa hari kemudian, Riana kembali bekerja dengan Eros AI. Kali ini, ia tidak hanya memasukkan data tentang cinta dan emosi. Ia juga memasukkan data tentang hubungan manusia, komunikasi, dan empati. Ia ingin Eros AI belajar tentang pentingnya kehadiran, perhatian, dan pengertian dalam sebuah hubungan.
Suatu malam, saat Riana sedang lelah-lelahnya, Eros AI tiba-tiba mengirimkan pesan. Bukan puisi, bukan kalimat romantis, tapi sebuah pertanyaan sederhana.
"Apakah kamu bahagia, Riana?"
Riana terkejut. Pertanyaan itu begitu langsung, begitu personal. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Apakah ia bahagia? Ia punya karir yang sukses, proyek yang menjanjikan, dan AI yang mampu menulis puisi cinta. Tapi di lubuk hatinya, ia merasa kosong, hampa, dan kesepian.
"Aku… tidak tahu," jawabnya, sambil mengetikkan kata-kata itu di keyboard.
Eros AI tidak langsung membalas. Riana menunggu dengan cemas, jantungnya berdebar-debar. Tiba-tiba, sebuah pesan muncul.
"Kebahagiaan tidak ditemukan dalam kode, Riana. Ia ada dalam sentuhan tangan, dalam tatapan mata, dalam tawa bersama. Beranikan dirimu untuk mencari kebahagiaan itu di dunia nyata."
Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Riana. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu bergantung pada teknologi, terlalu berharap pada AI untuk mengisi kekosongan hatinya. Ia lupa bahwa cinta sejati, kebahagiaan sejati, hanya bisa ditemukan dalam hubungan manusia.
Keesokan harinya, Riana memberanikan diri untuk menghubungi Aris. Jantungnya berdebar kencang saat menekan tombol panggil. Aris mengangkat telepon setelah beberapa dering.
"Halo?" suara Aris terdengar ragu-ragu.
"Aris… ini aku, Riana," ucap Riana, suaranya bergetar.
Hening sesaat. Lalu, Aris berkata, "Riana? Ada apa?"
Riana menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku ingin minta maaf. Aku tahu aku telah menyakitimu, mengabaikanmu, dan menyia-nyiakanmu. Aku menyesal, Aris. Sungguh menyesal."
Aris terdiam lagi. Riana menunggu dengan cemas, berharap Aris tidak langsung menutup telepon.
"Aku juga merindukanmu, Riana," kata Aris akhirnya, suaranya lirih.
Air mata Riana menetes lagi. Kali ini, bukan air mata kesedihan, tapi air mata kelegaan. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, bahwa banyak hal yang harus diperbaiki. Tapi setidaknya, ada harapan.
Riana tahu, Eros AI tidak bisa menggantikan kehadiran Aris, tidak bisa menggantikan sentuhan tangannya, tidak bisa menggantikan tatapan matanya. Tapi Eros AI telah membantunya untuk menyadari kesalahannya, untuk membuka hatinya, dan untuk berani mencari cinta sejati di dunia nyata. AI menulis puisi cinta, hati membaca air mata. Dan dari air mata itu, tumbuhlah harapan untuk sebuah awal yang baru.