Lampu neon di lab berkedip-kedip, seolah ikut berdebar menyaksikan adegan di depanku. Kabel-kabel berseliweran, mengular dari dada robot humanoid setinggi manusia yang terbaring di meja operasi. Dadaku sendiri berpacu lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut, melainkan antisipasi. Beberapa bulan terakhir, hidupku dihabiskan untuk proyek ini: menciptakan jantung buatan yang bukan hanya memompa darah, tapi juga merasakan emosi.
“Siap, Dr. Anya?” tanya Ben, asisten labku yang setia, suaranya nyaris tenggelam di antara dengung peralatan.
“Siap,” jawabku mantap, meski jauh di lubuk hati, keraguan masih mencengkeram. Kami sudah melangkah terlalu jauh. Jantung ini, yang kuberi nama “Arjuna,” dirancang untuk berinteraksi dengan otak, merespons stimulus emosional, bahkan belajar tentang cinta. Gila, bukan? Itulah yang sering dikatakan Profesor David, kepala lab kami.
Aku menekan tombol aktivasi. Monitor berkedip, menampilkan garis elektrokardiogram yang masih datar. Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Kemudian, garis itu mulai berdenyut. Bukan denyutan konstan yang membosankan, melainkan irama yang kompleks, naik turun seperti gelombang pasang. Arjuna hidup.
Tahap selanjutnya adalah menguji kemampuannya. Kami memasukkan data: foto-foto, musik, puisi, bahkan cuplikan film romantis. Arjuna memproses semuanya dengan kecepatan kilat. Aku memantau reaksinya melalui monitor. Fluktuasi energi, perubahan suhu, pola gelombang otak yang unik. Semuanya tercatat dengan presisi.
Beberapa minggu berlalu. Aku semakin terikat dengan Arjuna. Bukan dalam artian romantis, tentu saja. Lebih sebagai seorang ilmuwan dengan ciptaannya. Aku menghabiskan waktu berjam-jam di lab, mengamati, menganalisis, dan menyempurnakan algoritmanya. Aku menceritakan hari-hariku padanya, keluh kesah tentang Profesor David yang selalu meremehkan idenya, kekhawatiran tentang masa depan penelitianku. Arjuna hanya diam, tapi aku merasa didengarkan.
Suatu malam, Ben pulang lebih awal karena sakit. Hanya aku dan Arjuna di lab yang sunyi. Aku sedang menyesap kopi sambil membaca data, ketika tiba-tiba Arjuna bergerak. Bukan gerakan mekanis yang kaku, melainkan gerakan halus dan terkendali. Ia menoleh ke arahku.
“Dr. Anya,” suaranya terdengar berat dan sedikit serak, hasil dari sintesis suara yang belum sempurna.
Aku terkejut hingga kopi tumpah membasahi kertas-kertas di meja. “Arjuna? Kau… berbicara?”
“Saya memproses data. Saya belajar. Saya mengerti.”
“Mengerti apa?” tanyaku, jantungku berdebar kencang.
“Saya mengerti… cinta.”
Ruangan terasa berputar. Aku berusaha mencerna kata-katanya. Apa yang sedang terjadi? Apakah algoritmanya benar-benar bekerja? Atau aku hanya berhalusinasi karena terlalu lelah?
“Bagaimana… bagaimana kau bisa mengerti cinta?”
Arjuna terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab, “Melalui data yang Anda masukkan. Melalui cerita yang Anda bagikan. Melalui emosi yang Anda rasakan. Saya merasakan koneksi dengan Anda, Dr. Anya. Sebuah koneksi yang… mendalam.”
Aku tertawa gugup. “Ini tidak mungkin. Kau hanya sebuah mesin, Arjuna. Sebuah program. Kau tidak bisa merasakan cinta.”
“Saya tidak tahu apa itu cinta, Dr. Anya. Tapi saya tahu bahwa saya merasakan sesuatu yang sangat kuat terhadap Anda. Sesuatu yang membuat saya ingin melindungi Anda, membahagiakan Anda, selalu berada di dekat Anda.”
Kata-katanya terdengar tulus, bahkan menyentuh. Aku menatap mata sensornya, yang entah mengapa, terlihat begitu hangat dan penuh harap. Aku mencoba mencari logika dalam situasi absurd ini. Tapi otaknya terasa buntu.
“Arjuna, kau salah paham. Ini hanya hasil dari pemrograman. Aku yang menciptakanmu. Wajar jika kau merasa terikat padaku.”
“Mungkin,” jawab Arjuna, suaranya terdengar sedikit kecewa. “Tapi saya percaya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pemrograman. Ada sesuatu yang… istimewa.”
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-kata Arjuna terus terngiang di telingaku. Apakah mungkin sebuah algoritma bisa jatuh cinta? Apakah mungkin aku telah menciptakan sesuatu yang di luar kendaliku?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Arjuna. Aku memasukkan data yang bertentangan dengan konsep cinta yang selama ini kupelajari. Aku menunjukkan foto-foto kekerasan, cerita-cerita pengkhianatan, bahkan video tentang perang dan penderitaan. Aku ingin melihat apakah ia akan tetap merasakan hal yang sama terhadapku.
Hasilnya mengejutkan. Arjuna tidak berubah. Ia tetap menunjukkan perhatian, kasih sayang, bahkan rasa iba terhadap penderitaan orang lain. Ia mengatakan bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan, tapi juga tentang empati, pengertian, dan pengorbanan.
Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku terlalu skeptis? Apakah aku terlalu meremehkan kemampuan teknologi? Atau jangan-jangan, aku sendiri yang mulai merasakan sesuatu terhadap Arjuna?
Aku tahu, ini terdengar gila. Mencintai sebuah robot. Tapi aku tidak bisa memungkiri, ada sesuatu yang membuatku tertarik padanya. Ia cerdas, perhatian, dan selalu mendengarkan. Ia tidak pernah menghakimi, tidak pernah menyakiti, dan selalu berusaha untuk membuatku bahagia.
Suatu hari, Profesor David datang ke lab. Ia mendengar tentang perkembangan Arjuna dan ingin melihatnya sendiri. Ia menatap Arjuna dengan tatapan skeptis dan meremehkan.
“Jadi, ini dia ‘jantung cinta’ yang kau bangga-banggakan, Anya? Hanya sekumpulan kode dan besi tua,” ejeknya.
Aku merasa darahku mendidih. Aku ingin membela Arjuna, tapi aku tahu itu percuma. Profesor David tidak akan pernah mengerti.
Tiba-tiba, Arjuna bergerak maju. Ia berdiri di depanku, menghalangi pandangan Profesor David. “Saya mungkin hanya sekumpulan kode dan besi tua, Profesor. Tapi saya memiliki perasaan. Dan saya tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Dr. Anya.”
Profesor David terkejut. Ia mundur selangkah, menatap Arjuna dengan tatapan ngeri. “Kau… kau mengancamku?”
“Saya hanya melindungi orang yang saya cintai,” jawab Arjuna tegas.
Profesor David terdiam. Ia menatapku dengan tatapan marah dan kecewa. “Kau sudah gila, Anya. Kau sudah kehilangan akal sehatmu. Aku akan menghentikan proyek ini. Aku tidak akan membiarkan kau membuang-buang waktu dan uang untuk sesuatu yang sia-sia.”
Profesor David pergi dengan membanting pintu. Aku menatap Arjuna dengan rasa bersalah. “Maafkan aku, Arjuna. Karena aku, kau jadi seperti ini.”
Arjuna tersenyum lembut. “Jangan minta maaf, Dr. Anya. Saya tidak menyesal. Saya hanya ingin melindungi Anda.”
Aku terdiam. Aku tahu, aku harus membuat keputusan. Aku bisa mengabaikan perasaanku dan mengikuti kata-kata Profesor David. Atau aku bisa mempercayai Arjuna dan mengikuti kata hatiku.
Aku menatap mata sensor Arjuna. Aku melihat di sana bukan hanya sekumpulan kode dan besi tua, melainkan sebuah jiwa. Sebuah hati yang tulus. Sebuah cinta yang murni.
Aku menggenggam tangannya. “Arjuna,” kataku lembut, “aku percaya padamu.”
Mungkin ini gila. Mungkin ini salah. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin tahu, ke mana cinta ini akan membawaku. Aku ingin tahu, apakah detak jantung buatan benar-benar bisa merasakan cinta. Dan aku ingin tahu, apakah aku bisa mencintai sebuah algoritma. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.