Senyum Riana merekah di balik layar ponselnya. Profil seorang pria bernama Arya terpampang jelas di hadapannya. Foto-foto yang dipilih Arya menampilkan dirinya sebagai sosok petualang yang mencintai alam, lengkap dengan deskripsi diri yang cerdas dan jenaka. "Seorang kutu buku yang berusaha beradaptasi dengan dunia luar," begitu tulisnya. Riana tertawa kecil. Itu deskripsi yang nyaris sempurna untuk menggambarkan dirinya juga.
Riana, seorang programmer yang lebih nyaman berkutat dengan barisan kode daripada berinteraksi sosial, akhirnya menyerah pada bujukan teman-temannya untuk mencoba aplikasi kencan bernama "SoulMate." Aplikasi ini menjanjikan kecocokan berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis kepribadian, minat, dan bahkan preferensi humor. Awalnya, Riana skeptis. Baginya, cinta bukanlah sebuah persamaan matematika yang bisa dipecahkan oleh algoritma. Namun, rasa penasaran dan kesepian yang sesekali menyelinap memaksa Riana untuk mencoba.
Setelah beberapa kali menggeser profil, Arya muncul. Profilnya tampak berbeda dari yang lain. Terlalu sempurna, malah. Tapi Riana tak bisa menahan diri untuk tidak tertarik. Mereka mulai bertukar pesan, membahas buku favorit, film klasik, dan teori-teori konspirasi aneh yang membuat mereka berdua tertawa. Obrolan mereka terasa alami, mudah, dan menyenangkan. Seperti dua keping puzzle yang akhirnya menemukan pasangannya.
Setelah dua minggu bertukar pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Riana memilih sebuah kafe buku yang tenang di pusat kota. Ketika Arya datang, Riana terkejut. Dia persis seperti yang dibayangkannya. Tinggi, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan, dan senyum yang menenangkan. Pertemuan mereka berjalan lancar, bahkan lebih baik dari yang diharapkan. Mereka berbicara tentang segala hal, dari masa kecil mereka hingga mimpi-mimpi mereka di masa depan. Riana merasa seperti telah mengenal Arya seumur hidupnya.
Malam itu, setelah Arya mengantarnya pulang, Riana duduk di kamarnya dengan senyum yang tak bisa dihilangkan. "SoulMate" tampaknya telah berhasil melakukan tugasnya. Algoritma itu telah menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan kencan dan obrolan tanpa henti. Arya seolah tahu apa yang Riana pikirkan sebelum dia mengatakannya. Dia mendukung Riana dalam pekerjaannya, menghiburnya ketika dia merasa lelah, dan selalu ada untuknya. Riana merasa bahagia, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Dia mulai membayangkan masa depan bersamanya, rumah yang nyaman, anak-anak yang lucu, dan kehidupan yang penuh cinta.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Riana. Sebuah artikel berita tentang "SoulMate" dan praktik manipulatif mereka. Artikel itu mengungkap bahwa algoritma yang digunakan aplikasi tersebut tidak seakurat yang diklaim. Bahkan, aplikasi tersebut dituduh menggunakan data pengguna untuk menciptakan profil "jodoh ideal" yang dibuat-buat, seringkali dengan memanipulasi informasi dan preferensi pengguna.
Riana merasa jantungnya berdebar kencang. Dia membaca artikel itu berulang-ulang, mencoba mencerna informasi yang ada. Mungkinkah semua ini hanya ilusi? Mungkinkah Arya hanyalah produk dari algoritma yang dirancang untuk membuatnya jatuh cinta?
Keraguan mulai menggerogoti hatinya. Riana mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya terlewatkan. Arya selalu tahu apa yang ingin dia dengar, selalu setuju dengan pendapatnya, dan selalu tampak sempurna. Terlalu sempurna, malah.
Dia memutuskan untuk menguji Arya. Saat kencan berikutnya, Riana sengaja melontarkan pendapat kontroversial tentang topik yang sensitif. Arya, yang biasanya setuju dengan semua yang dia katakan, kali ini tampak ragu. Dia mencoba mengubah topik pembicaraan, tapi Riana bersikeras. Akhirnya, Arya mengaku bahwa dia sebenarnya tidak terlalu setuju dengan pendapat Riana, tapi dia tidak ingin membuat Riana marah.
Riana merasa hancur. Pengakuan Arya mengkonfirmasi kecurigaannya. Semua kebersamaan mereka, semua percakapan mereka, semua rasa cinta yang dia rasakan, mungkinkah itu semua palsu?
Dia pulang dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, dan yang paling menyakitkan, merasa bodoh. Dia telah tertipu oleh ilusi algoritma, oleh janji palsu tentang jodoh impian.
Malam itu, Riana tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan Arya, tentang senyumnya, tentang tawanya, tentang semua momen yang mereka lalui bersama. Dia bertanya-tanya, apakah ada bagian dari diri Arya yang nyata? Apakah ada rasa sayang yang tulus di balik semua kepura-puraan itu?
Keesokan harinya, Riana memutuskan untuk bertemu Arya. Dia ingin tahu yang sebenarnya. Dia ingin tahu apakah cinta mereka hanya ilusi algoritma atau ada sesuatu yang lebih di sana.
Mereka bertemu di kafe buku yang sama tempat mereka pertama kali bertemu. Suasana di antara mereka terasa kaku dan canggung. Riana langsung ke intinya. Dia menceritakan tentang artikel yang dia baca, tentang kecurigaannya, dan tentang perasaannya yang hancur.
Arya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Riana selesai berbicara, dia menghela napas panjang. "Aku tahu," katanya dengan suara pelan. "Aku tahu kamu akan tahu."
Dia kemudian menjelaskan bahwa dia memang telah menggunakan aplikasi "SoulMate" dengan harapan menemukan seseorang yang cocok dengannya. Dia mengaku bahwa dia telah menyesuaikan profilnya agar sesuai dengan preferensi yang ditunjukkan oleh algoritma. Dia bahkan mengakui bahwa dia telah berusaha untuk setuju dengan pendapat Riana, hanya karena dia takut kehilangan dia.
"Tapi," kata Arya, menatap mata Riana dengan tulus, "seiring waktu, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Bukan karena algoritma, bukan karena aku mencoba menjadi orang yang kamu inginkan, tapi karena kamu adalah kamu. Kamu cerdas, lucu, dan berani. Kamu adalah orang yang paling luar biasa yang pernah aku temui."
Riana terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa bingung, terluka, dan sekaligus tersentuh. Apakah dia bisa mempercayai Arya? Apakah dia bisa melupakan semua kepura-puraan itu dan melihat kebaikan yang ada di dalamnya?
"Aku tahu aku telah melakukan kesalahan," kata Arya, meraih tangan Riana. "Aku tidak mengharapkan kamu untuk memaafkanku. Tapi aku berharap kamu memberi aku kesempatan untuk membuktikan bahwa perasaanku padamu itu nyata."
Riana menatap Arya, mencoba mencari kebenaran di matanya. Dia melihat penyesalan, kejujuran, dan yang paling penting, cinta.
Dia menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu," katanya jujur. "Aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Arya mengangguk mengerti. "Aku akan menunggu," katanya. "Aku akan menunggu selama yang kamu butuhkan."
Riana berdiri dan berjalan keluar dari kafe buku. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tidak tahu apakah dia bisa mempercayai Arya lagi. Tapi satu hal yang dia tahu pasti: cinta, bahkan yang dimulai dari ilusi algoritma, bisa menjadi sesuatu yang nyata. Dan terkadang, cinta sejati layak diperjuangkan, bahkan jika itu berarti harus melewati lautan keraguan dan kepalsuan. Masa depannya, seperti barisan kode yang rumit, masih perlu didebug dan diuji, tetapi Riana siap menghadapinya, dengan harapan, dan sedikit keberanian.