Aplikasi kencan "Soulmate.AI" menjanjikan kesempurnaan. Janji itu terpampang jelas di setiap sudut iklannya: algoritma canggih yang mampu memprediksi kecocokan dengan akurasi 99,9%. Anya, seorang programmer yang sehari-hari berkutat dengan barisan kode dan logika, awalnya skeptis. Namun, setelah patah hati kesekian kalinya, rasa ingin tahu mengalahkannya. Ia unduh aplikasi itu, mengisi profil dengan hati-hati, memasukkan preferensi, hobi, dan bahkan lagu-lagu favoritnya.
Dalam hitungan detik, "Soulmate.AI" bekerja. Ratusan profil disaring, dianalisis, dan akhirnya, satu nama muncul dengan persentase kecocokan tertinggi: "Nathan.Dev". Profil Nathan menampilkan foto seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan lautan cerita. Ia seorang pengembang game independen, menyukai musik indie, dan punya selera humor yang mirip dengan Anya.
Anya mengirim pesan. Balasan datang hampir seketika. Percakapan mereka mengalir begitu lancar, seolah mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun. Mereka membahas segala hal, dari kesulitan men-debug kode hingga makna filosofis dalam film-film klasik. Anya merasa nyaman, terbuka, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada harapan yang bersemi di hatinya.
Setelah dua minggu berinteraksi secara virtual, Nathan mengajak Anya bertemu. Kencan pertama mereka di sebuah kafe buku yang tenang. Nathan persis seperti yang dibayangkan Anya: hangat, cerdas, dan menyenangkan. Mereka menghabiskan sore itu dengan membahas buku favorit, berbagi mimpi, dan tertawa bersama. Anya merasa seperti menemukan kepingan yang hilang dari dirinya.
Minggu-minggu berikutnya bagaikan mimpi. Mereka berkencan setiap akhir pekan, menjelajahi kota, mencoba restoran baru, dan saling mendukung dalam proyek masing-masing. Anya membantu Nathan menemukan bug dalam game terbarunya, sementara Nathan memberikan Anya ide-ide segar untuk aplikasi yang sedang ia kembangkan. Cinta mereka terasa seperti hasil dari algoritma yang sempurna, perhitungan yang tepat, dan koneksi yang tak terbantahkan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Suatu malam, saat Anya sedang mengerjakan kode di apartemennya, ia menerima notifikasi dari "Soulmate.AI". Aplikasi itu mengumumkan pembaruan algoritma yang signifikan, dengan janji untuk meningkatkan akurasi pencocokan hingga 99,99%. Anya tidak terlalu mempedulikannya, menganggapnya hanya sebagai pembaruan rutin.
Keesokan harinya, Nathan tiba-tiba menjadi dingin. Pesan-pesannya menjadi singkat, obrolan mereka terasa dipaksakan, dan senyum teduhnya seolah menghilang. Anya mencoba bertanya apa yang terjadi, tetapi Nathan hanya menjawab bahwa ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Kebingungan dan kecemasan mulai menggerogoti Anya. Ia kembali membuka "Soulmate.AI" dan memeriksa profil Nathan. Persentase kecocokan mereka masih sama, 99,9%. Namun, ada satu hal yang berubah. Aplikasi itu kini menampilkan profil baru, seorang wanita bernama Clara, dengan persentase kecocokan yang lebih tinggi dengan Nathan: 99,99%.
Anya menekan profil Clara. Clara seorang fotografer, menyukai petualangan, dan punya mimpi yang sama dengan Nathan untuk berkeliling dunia. Jantung Anya berdebar kencang. Ia menyadari apa yang terjadi. Algoritma baru "Soulmate.AI" telah menemukan pasangan yang "lebih cocok" untuk Nathan.
Anya menghubungi Nathan, memaksa untuk bertemu. Mereka bertemu di taman yang sama tempat mereka pertama kali berpegangan tangan. Nathan terlihat gugup dan menghindari tatapan Anya.
"Anya, aku minta maaf," ucap Nathan akhirnya, suaranya lirih. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi... 'Soulmate.AI' memberiku notifikasi. Tentang Clara."
Anya menelan ludah, berusaha menahan air mata. "Dan?"
"Dan... aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku tahu ini terdengar bodoh, Anya. Ini hanya algoritma. Tapi... aku merasa aku harus mencobanya."
Anya terdiam. Ia merasa seperti seluruh dunianya runtuh. Ia, seorang programmer yang mempercayai logika dan perhitungan, dikhianati oleh algoritma yang seharusnya menjamin kebahagiaannya.
"Jadi, begitu saja?" tanya Anya, suaranya bergetar. "Kita berakhir karena 'Soulmate.AI' menemukan orang lain yang 'lebih cocok' untukmu?"
Nathan mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. "Aku tahu ini menyakitkan, Anya. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Anya berdiri, air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. "Kau tidak mengerti, Nathan. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang semua yang kita bangun. Ini tentang kepercayaan, koneksi, dan perasaan yang nyata. Kau membiarkan algoritma menentukan takdirmu, Nathan. Kau membiarkan sebuah program komputer menghancurkan hati seseorang."
Anya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Nathan yang terdiam di taman. Ia menghapus "Soulmate.AI" dari ponselnya. Ia tidak lagi percaya pada algoritma cinta. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dengan persentase atau diprediksi dengan barisan kode. Cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar perhitungan. Cinta adalah tentang pilihan, komitmen, dan keberanian untuk memperjuangkan apa yang kita yakini.
Namun, luka itu tetap membekas. Anya belajar bahwa bahkan dalam dunia digital yang serba canggih, hati manusia tetaplah rapuh dan rentan. Ia belajar bahwa cinta bisa datang dan pergi secepat notifikasi di layar ponsel. Dan yang terpenting, ia belajar bahwa kepercayaan pada diri sendiri jauh lebih penting daripada kepercayaan pada algoritma. Algoritma bisa salah, tetapi intuisi dan hati nurani manusia tidak akan pernah berbohong. Meskipun terluka, Anya tahu ia akan bangkit kembali. Ia akan membangun kembali kepercayaannya, mencari cinta yang sejati, dan memastikan bahwa hatinya tidak lagi dikendalikan oleh algoritma.