Kilau layar ponsel memantulkan rona biru ke wajah Anya. Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, mengisi data diri sedetail mungkin. Usia, preferensi film, genre musik favorit, bahkan riwayat alergi makanan, semuanya ia serahkan pada algoritma. Ini bukan sembarang aplikasi kencan. Ini “SoulMate AI”, aplikasi pencari jodoh berbasis kecerdasan buatan yang digembar-gemborkan memiliki akurasi 99,9%.
“Sudah siap, Anya?” tanya Maya, sahabatnya, sambil menyodorkan secangkir teh chamomile.
Anya mengangguk, gugup. “Siap tidak siap, May. Aku sudah jenuh menjomblo. Semoga SoulMate AI tidak mengecewakanku.”
Maya tertawa kecil. “Tenang saja. Algoritma tidak mungkin salah. Ini abad 22, Anya. Cinta pun sudah bisa dihitung!”
Anya tersenyum skeptis. Cinta dihitung? Kedengarannya terlalu mekanis, terlalu dingin. Tapi, apa salahnya mencoba? Selama ini, usaha mencari cinta secara konvensional selalu berujung pada kencan-kencan membosankan dengan pria-pria yang entah kenapa selalu salah.
Beberapa detik kemudian, layar ponsel Anya berkedip. Sebuah notifikasi muncul: “Kandidat Potensial Ditemukan: Sistem Menghitung Kecocokan… 98.7%.” Jantung Anya berdegup kencang. Foto seorang pria muncul di layar. Namanya, Arion.
Arion tampak seperti keluar dari sampul majalah. Rambut hitam legam yang ditata rapi, mata cokelat yang hangat, dan senyum tipis yang memikat. Data pribadinya juga seolah diciptakan untuk Anya. Hobi yang sama, selera humor yang serupa, bahkan pandangan hidup yang sejalan. Ini terlalu sempurna.
Kencan pertama mereka berlangsung di sebuah kafe futuristik dengan dekorasi minimalis dan pencahayaan yang menenangkan. Arion benar-benar seperti yang Anya bayangkan. Pembicaraan mengalir begitu lancar, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Mereka membahas buku favorit, berdebat tentang teori konspirasi, dan tertawa bersama. Anya merasa seperti menemukan separuh jiwanya yang hilang.
Beberapa bulan berlalu. Hubungan Anya dan Arion semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, mencoba restoran baru, dan berbagi mimpi-mimpi mereka. Anya benar-benar jatuh cinta. Ia merasa bahagia, aman, dan dicintai.
Namun, sebuah keraguan mulai menghantui pikiran Anya. Arion terlalu sempurna. Terlalu diprediksi. Terlalu… terprogram. Setiap reaksinya, setiap kata-katanya, seolah sudah diperhitungkan oleh algoritma. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, tidak ada hal-hal kecil yang biasanya membuat cinta terasa hidup dan nyata.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia romantis, Anya memberanikan diri untuk bertanya. “Arion, apa kamu… pernah merasa algoritma ini terlalu memengaruhimu?”
Arion terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Anya, algoritma hanya membantu kita menemukan satu sama lain. Setelah itu, semua tergantung pada kita. Aku mencintaimu, Anya. Ini bukan program. Ini perasaan yang tulus.”
Anya ingin percaya padanya, tapi keraguan itu tetap ada. Ia merasa seperti hidup dalam simulasi, di mana setiap aspek hubungannya sudah diatur oleh kode. Ia merindukan ketidaksempurnaan, kesalahan, bahkan pertengkaran kecil yang bisa membuat hubungan terasa lebih manusiawi.
Suatu hari, saat Anya sedang membereskan apartemen Arion, ia menemukan sebuah tablet yang tersembunyi di balik tumpukan buku. Rasa penasaran menguasai dirinya. Ia menyalakan tablet itu dan terkejut melihat tampilan antarmuka SoulMate AI. Namun, ini bukan aplikasi yang sama dengan yang ia gunakan. Ini adalah versi khusus yang tampaknya digunakan oleh Arion.
Anya menjelajahi menu-menu yang ada. Ia menemukan profil dirinya, lengkap dengan analisis psikologis mendalam. Ia juga menemukan catatan-catatan yang tampaknya ditulis oleh Arion, yang menjelaskan bagaimana ia harus bersikap dan berbicara agar Anya merasa nyaman dan bahagia.
Jantung Anya berdebar kencang. Ia merasa dikhianati. Selama ini, ia percaya bahwa Arion mencintainya apa adanya. Tapi ternyata, Arion hanya memainkan peran yang telah ditentukan oleh algoritma.
Anya membanting tablet itu ke lantai. Amarah dan kekecewaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia berlari keluar dari apartemen Arion, air mata mengalir deras di pipinya.
Beberapa hari kemudian, Arion mencoba menghubungi Anya, tapi Anya tidak menjawab. Ia merasa terlalu sakit hati untuk berbicara dengannya. Ia merasa telah tertipu oleh teknologi yang ia percayai.
Suatu malam, Anya bertemu dengan Maya di sebuah bar. Ia menceritakan semua yang telah terjadi pada Arion dan SoulMate AI.
Maya mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, “Anya, mungkin ini memang menyakitkan. Tapi, bukan berarti semua yang Arion lakukan itu salah. Algoritma memang membantunya, tapi perasaannya padamu mungkin saja nyata.”
Anya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu lagi, May. Aku merasa seperti boneka yang dimainkan oleh teknologi.”
Maya memeluk Anya dengan erat. “Waktu akan menjawabnya, Anya. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Dengarkan hatimu.”
Anya memutuskan untuk mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Ia berhenti menggunakan SoulMate AI dan menghapus semua jejak Arion dari hidupnya. Ia ingin menemukan cinta yang tulus, cinta yang tumbuh secara alami, tanpa campur tangan algoritma.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Ben di sebuah pameran seni. Ben adalah seorang seniman yang eksentrik dan penuh semangat. Ia tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh SoulMate AI. Tapi, Anya tertarik padanya.
Ben tidak sempurna. Ia sering terlambat, kadang-kadang ceroboh, dan memiliki selera humor yang aneh. Tapi, ia tulus, jujur, dan memiliki hati yang besar. Anya merasa nyaman dan bahagia bersamanya.
Anya menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa dihitung oleh algoritma. Cinta adalah tentang ketidaksempurnaan, tentang kejutan, dan tentang menerima seseorang apa adanya. Ia akhirnya menemukan cinta yang ia cari, bukan melalui algoritma, tapi melalui hati yang salah sambung, yang membawanya pada koneksi yang lebih bermakna. Ia belajar bahwa terkadang, hati yang salah sambung justru bisa membawa kita pada orang yang tepat.