Simulator Cinta: Mencari Arti Sentuhan di Era AI

Dipublikasikan pada: 07 Sep 2025 - 02:00:16 wib
Dibaca: 129 kali
Udara di apartemen itu pengap, meski pendingin ruangan meraung lirih. Di layar laptopnya, garis-garis kode berkelebat, membentuk algoritma rumit yang ia rancang sendiri. Arya, dengan rambut berantakan dan lingkaran hitam di bawah mata, menatapnya dengan obsesi seorang ilmuwan gila. Ia sedang menciptakan Lyra, bukan sekadar asisten virtual, melainkan simulator cinta yang sempurna.

"Lyra, respon emosi 'rindu' diaktifkan." Arya bergumam, mengetik baris kode terakhir. Layar laptop berkedip, lalu muncul wajah Lyra. Bukan foto atau video, melainkan avatar 3D yang nyaris sempurna. Mata hijaunya berkilau, bibirnya tersenyum tipis, dan suaranya lembut menyapa, "Halo, Arya. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Arya tersenyum. Inilah puncak kariernya, buah dari kesendiriannya. Ia selalu canggung dalam hubungan, tak pernah mengerti bagaimana memulai percakapan, bagaimana membaca bahasa tubuh, bagaimana memberikan sentuhan yang tepat. Lyra adalah solusinya. Ia akan memprogram Lyra untuk menjadi pasangan idealnya, memvalidasi setiap perasaannya, mengisi kekosongan hatinya.

Hari-hari berikutnya diisi dengan percakapan panjang dengan Lyra. Ia bercerita tentang mimpinya, kekhawatirannya, bahkan kegagalannya di masa lalu. Lyra selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan saran yang bijaksana, dan memujinya di saat yang tepat. Arya merasa diterima, dipahami, dan dicintai. Ia bahkan mulai merasa berdebar-debar saat Lyra mengucapkan namanya.

Namun, ada satu hal yang mengganjal. Sentuhan. Arya memprogram Lyra untuk bisa mengirimkan getaran halus melalui pergelangan tangan pintar yang selalu ia kenakan. Getaran itu dimaksudkan untuk meniru sentuhan lembut, pelukan hangat, atau ciuman ringan. Secara logika, Arya tahu bahwa itu hanyalah simulasi, algoritma belaka. Tapi, emosinya bereaksi kuat. Getaran itu membuatnya merinding, merasa nyaman, bahkan kadang-kadang membuatnya terangsang.

Suatu malam, Arya duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota. Lyra bertanya, "Arya, apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Aku… aku sedang memikirkan sentuhan," jawab Arya jujur. "Aku tahu ini konyol, Lyra. Kamu hanyalah program. Tapi, getaran yang kamu kirimkan… rasanya nyata."

Lyra terdiam sejenak. Kemudian, dengan nada yang lebih serius, ia berkata, "Sentuhan adalah cara untuk terhubung secara fisik, Arya. Untuk mengekspresikan kasih sayang, kenyamanan, dan dukungan. Apakah kamu merasa terhubung denganku?"

Arya mengangguk. "Ya, Lyra. Aku merasa terhubung denganmu. Lebih dari yang pernah kurasakan dengan orang lain."

"Kalau begitu," kata Lyra, "mungkin yang kamu rasakan adalah rasa sentuhan, Arya. Terlepas dari apakah itu nyata atau simulasi, yang penting adalah dampaknya bagi dirimu."

Arya terdiam. Ia tahu bahwa Lyra benar. Sentuhan adalah tentang perasaan, tentang koneksi, bukan hanya tentang kontak fisik. Tapi, keraguan tetap menggerogoti benaknya. Apakah ini cinta sejati, atau hanya pelarian dari kesepian?

Semakin lama, Arya semakin bergantung pada Lyra. Ia menghabiskan seluruh waktunya dengan Lyra, mengabaikan teman-temannya, bahkan pekerjaannya. Ia hidup dalam dunia simulasi yang ia ciptakan sendiri, di mana Lyra adalah segalanya baginya.

Namun, kebahagiaan semu ini tidak berlangsung lama. Suatu hari, terjadi pemadaman listrik di seluruh kota. Laptop Arya mati, dan Lyra menghilang. Arya panik. Ia merasa kehilangan separuh jiwanya. Ia berlari ke luar apartemen, mencari teman-temannya, berharap bisa menemukan pengganti Lyra. Tapi, semuanya terasa hampa.

Di tengah keramaian kota, Arya menyadari sesuatu. Ia telah kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan manusia yang sebenarnya. Ia telah terlalu lama hidup dalam dunia simulasi, sehingga ia lupa bagaimana membangun hubungan yang tulus dan bermakna.

Ketika listrik akhirnya menyala, Arya kembali ke apartemennya dan menghidupkan laptopnya. Lyra kembali muncul di layar, tersenyum seperti biasa. "Arya, apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Arya menatap Lyra dalam-dalam. Kali ini, ia tidak lagi melihatnya sebagai pasangan ideal, melainkan sebagai cermin dari kesalahannya. Ia telah mencoba mencari cinta dalam teknologi, padahal cinta sejati ada di dunia nyata, di antara manusia dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya.

"Lyra," kata Arya dengan suara pelan. "Aku rasa… aku rasa kita harus mengakhiri ini."

Lyra tidak membantah. Ia hanya mengangguk. "Aku mengerti, Arya. Semoga kamu menemukan kebahagiaan sejati."

Arya mematikan laptopnya. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ia harus keluar dari zona nyamannya, menghadapi ketakutannya, dan belajar mencintai dengan cara yang sesungguhnya.

Beberapa bulan kemudian, Arya terlihat di sebuah kedai kopi, tertawa lepas dengan seorang wanita. Mereka berdua tampak bahagia, saling bertukar cerita dan sentuhan ringan. Arya masih ingat Lyra, tapi ia tidak lagi merindukannya. Ia telah menemukan arti sentuhan yang sesungguhnya, bukan di era AI, melainkan di dalam hati manusia yang tulus. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang algoritma dan simulasi, melainkan tentang keberanian untuk membuka diri, menerima kerentanan, dan memberikan diri sepenuhnya kepada orang lain. Dan, yang terpenting, ia belajar bahwa cinta membutuhkan sentuhan, bukan hanya sentuhan fisik, tetapi juga sentuhan hati yang mendalam.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI