Kilau layar ponsel memantulkan cahaya biru ke mata Anya. Di tangannya, aplikasi bernama "AmourAI" berputar, memproses data ribuan wajah, kepribadian, dan minat. Anya mendesah. Sudah seminggu dia menggunakan filter cinta AI ini, mencoba melihat dunia, dan lebih penting lagi, para pria di sekitarnya, melalui lensa yang lebih "indah."
AmourAI menjanjikan filter visual yang menyempurnakan fitur wajah, menajamkan karisma, dan bahkan menambahkan sedikit sentuhan "kecocokan ideal" pada aura seseorang. Iklannya menampilkan pasangan-pasangan bahagia yang bertemu berkat filter tersebut, tertawa dalam simfoni visual yang disempurnakan AI. Anya, yang lelah dengan kencan-kencan mengecewakan dan profil aplikasi yang tampak lebih palsu daripada kenyataan, memutuskan untuk mencobanya.
Awalnya, itu lucu. Kasir di kedai kopi tiba-tiba memiliki mata biru berkilauan dan rahang yang lebih tegas. Rekannya, Bagas, yang selama ini hanya terlihat sebagai sosok yang sibuk dan sedikit kikuk, berubah menjadi pria yang tampak lebih percaya diri dengan senyum yang memikat. Bahkan kucing tetangga tampak lebih fotogenik.
Namun, setelah beberapa hari, perasaan aneh mulai menghantuinya. Anya menemukan dirinya menghabiskan lebih banyak waktu menatap orang-orang melalui layar ponsel daripada berinteraksi dengan mereka secara langsung. Dia mulai menilai interaksi berdasarkan bagaimana filter AmourAI mengubah orang-orang di sekitarnya.
Suatu siang, saat makan siang di taman, Anya melihat seorang pria duduk sendirian di bangku seberang. Dia tampak biasa saja: rambut cokelat sedikit berantakan, kacamata tebal membingkai mata cokelat yang teduh, dan kemeja flanel lusuh. Anya membuka AmourAI, mengarahkan kameranya ke arah pria itu.
Dalam sekejap, wajah pria itu berubah. Filter AI menghaluskan kerutan, menebalkan rambutnya, dan mempertajam garis rahangnya. Matanya tampak lebih besar dan bercahaya. Sebuah notifikasi muncul di layar: "Kecocokan Potensial 87% - Minat: Musik Klasik, Fotografi, Novel Grafis."
Anya tertegun. Pria "biasa" ini, melalui lensa AmourAI, berubah menjadi seseorang yang tampak sangat menarik, bahkan sempurna. Dorongan untuk mendekatinya, untuk memulai percakapan, mengalahkan kewarasannya.
Dia mematikan AmourAI, menarik napas dalam-dalam, dan menghampirinya.
"Hai," sapa Anya, sedikit gugup. "Maaf mengganggu. Aku Anya."
Pria itu mendongak, sedikit terkejut. Dia melepas kacamatanya dan tersenyum. "Hai Anya. Aku Rian."
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka berbicara tentang buku, film, dan musik. Rian ternyata adalah seorang fotografer lepas yang sedang mengerjakan proyek dokumenter tentang kehidupan di kota. Dia cerdas, lucu, dan memiliki perspektif unik tentang dunia. Anya merasa tertarik padanya, bukan pada versi AI dirinya, tetapi pada dirinya yang sebenarnya.
Saat matahari mulai terbenam, Anya menyadari bahwa dia belum membuka AmourAI lagi sejak mendekati Rian. Dia tidak membutuhkan filter untuk melihat kebaikan dan daya tarik dalam dirinya.
Setelah beberapa jam, Rian menawarkan untuk mengantarnya pulang. Di depan apartemen Anya, mereka berdiri dalam keheningan yang nyaman.
"Aku senang kita bertemu hari ini," kata Anya, tulus.
"Aku juga," jawab Rian. "Mungkin kita bisa melakukannya lagi?"
"Aku akan sangat senang," kata Anya, tersenyum.
Ketika Anya masuk ke apartemennya, dia membuka AmourAI untuk terakhir kalinya. Dia mengarahkan kamera ke cermin dan melihat dirinya sendiri. Filter AI menghaluskan kulitnya, mempertajam matanya, dan menambahkan sedikit kilau pada rambutnya. Namun, Anya tidak terkesan. Dia melihat versi dirinya yang dipoles, tetapi juga merasa hampa.
Dia menutup aplikasi itu dan menghapusnya dari ponselnya.
Keesokan harinya, Anya dan Rian bertemu lagi di taman yang sama. Kali ini, Anya tidak membawa ponselnya. Dia hanya ingin melihat Rian, dan dunia di sekitarnya, tanpa filter apa pun.
Dia melihat Rian duduk di bangku yang sama, memakai kemeja flanel yang sama, dan kacamatanya yang tebal. Dia tidak tampak seperti versi yang disempurnakan AI dari dirinya sendiri. Dia hanyalah Rian, dan bagi Anya, dia sudah cukup.
Mereka menghabiskan hari itu dengan berjalan-jalan di sekitar kota, berbicara tentang impian dan ketakutan mereka. Anya menceritakan tentang pengalamannya dengan AmourAI, bagaimana dia mencoba melihat dunia melalui filter yang salah.
Rian mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Kurasa kita semua kadang-kadang tergoda untuk melihat dunia melalui lensa yang dipoles. Tapi keindahan sejati ada dalam ketidaksempurnaan, dalam kejujuran."
Anya mengangguk setuju. Dia akhirnya mengerti. Cinta sejati, dan keindahan sejati, tidak bisa ditemukan melalui filter AI. Mereka ditemukan dengan membuka mata dan hati kita terhadap dunia apa adanya, dengan menerima orang lain, dan diri kita sendiri, dengan segala kelemahan dan kelebihan kita.
Matahari terbenam, mewarnai langit dengan warna oranye dan ungu. Anya dan Rian duduk di bangku taman, bergandengan tangan. Dunia, dilihat melalui mata Anya, tampak lebih indah dari sebelumnya, bukan karena filter AI, tetapi karena cinta, kejujuran, dan penerimaan yang dia temukan di dalamnya. Dia tidak membutuhkan lensa teknologi untuk melihat keindahan, dia hanya membutuhkan seseorang untuk berbagi pandangan yang jujur.