Hujan bulan November mengetuk-ngetuk jendela kafe, melukiskan lanskap kota yang berkilauan seperti taburan bintang digital. Di dalam, aroma kopi dan kue jahe berpadu, menenangkan sarafku yang tegang. Aku, Anya, seorang programmer di usia pertengahan dua puluhan, sedang menunggu. Bukan seseorang, melainkan sebuah algoritma. Algoritma cinta, tepatnya.
“Proyek Genesis” namanya. Ide gilaku dan tim kecilku di perusahaan rintisan bernama “Soulmate.AI”. Tujuannya? Menciptakan algoritma yang mampu menganalisis data kepribadian, preferensi, dan bahkan pola komunikasi seseorang untuk menemukan pasangan yang paling cocok. Klise, memang. Tapi di era big data dan kecerdasan buatan ini, aku yakin cinta pun bisa dipetakan.
Awalnya, Proyek Genesis hanya lelucon. Sebuah tantangan intelektual. Tapi semakin dalam aku menyelaminya, semakin aku terpukau dengan kemampuannya. Algoritma ini bukan sekadar mencocokkan hobi dan ketertarikan. Ia menganalisis pola pikir, gaya bahasa, bahkan intonasi suara untuk menemukan resonansi emosional yang paling kuat.
Dan kini, algoritma itu akan memilihkan seseorang untukku.
Notifikasi di ponselku berbunyi. Sebuah profil muncul, menampilkan wajah seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan rahasia alam semesta. Nama: Ethan. Profesi: Arsitek Lanskap. Algoritma memberikan skor kecocokan 97%. Hampir sempurna.
Keraguanku muncul. Aku programmer, hidupku tentang logika dan kode. Cinta seharusnya organik, spontan, bukan hasil kalkulasi matematis. Tapi, rasa penasaran mengalahkan skeptisisme. Aku memutuskan untuk bertemu Ethan.
Kencan pertama kami terasa seperti adegan film romantis. Ethan ternyata jauh lebih menarik daripada fotonya. Ia cerdas, lucu, dan memiliki selera humor yang sama anehnya denganku. Kami berbicara berjam-jam tentang impian, ketakutan, dan bahkan tentang teori relativitas Einstein. Ada koneksi yang sulit dijelaskan, sebuah resonansi yang terasa familier namun baru.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan Ethan semakin dekat. Kami menjelajahi kota bersama, menikmati konser musik indie, dan berdebat seru tentang desain arsitektur. Ia membuatku tertawa lepas, mendengarkanku dengan sabar, dan memahamiku tanpa perlu banyak bicara. Aku jatuh cinta.
Tapi di balik kebahagiaan itu, ada bisikan kecil di benakku. Apakah cinta ini nyata? Apakah ini hasil dari perasaan tulus, atau hanya produk dari algoritma yang rumit? Aku merasa seperti karakter dalam simulasi komputer, menjalani skenario yang telah diprogramkan.
Suatu malam, saat kami duduk di balkon apartemenku, menikmati pemandangan kota yang gemerlap, aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Ethan, apa yang membuatmu tertarik padaku?"
Ethan menatapku dengan lembut. "Anya, kamu unik. Kamu cerdas, ambisius, dan memiliki hati yang besar. Aku suka caramu memandang dunia, caramu bersemangat tentang hal-hal kecil, dan caramu menantangku untuk menjadi versi terbaik diriku."
Jawaban yang indah. Tapi aku membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata.
"Tapi... apakah kamu tahu bahwa kita bertemu karena algoritma?" Aku bertanya, gugup. "Aku yang membuatnya. Proyek Genesis."
Ethan terdiam sejenak. Ekspresinya sulit dibaca. Aku merasa jantungku berdebar kencang. Apakah aku sudah merusak segalanya?
"Aku sudah tahu," jawabnya akhirnya.
Aku terpana. "Bagaimana bisa?"
"Aku bekerja di perusahaan yang menyediakan infrastruktur cloud untuk Soulmate.AI," jelas Ethan. "Aku melihat datamu. Aku tahu tentang Proyek Genesis. Awalnya, aku skeptis. Tapi rasa ingin tahu mengalahkanku. Aku ingin bertemu denganmu."
Kebingunganku semakin bertambah. "Jadi... kamu sengaja menerima rekomendasiku?"
Ethan mengangguk. "Aku penasaran apakah algoritma itu benar. Dan ternyata, ia tidak salah. Tapi Anya, algoritma itu hanya menemukan kita. Sisanya, adalah pilihan kita. Pilihanmu, pilihanku."
Kata-katanya menenangkanku. Aku menyadari bahwa algoritma itu hanyalah alat. Ia membantuku menemukan Ethan, tapi ia tidak menciptakan cinta di antara kami. Cinta itu tumbuh secara alami, dari interaksi kami, dari emosi yang kami bagikan, dari koneksi yang kami bangun.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap mata Ethan. Di sana, aku melihat kejujuran, kehangatan, dan cinta yang tulus. Bukan kode, bukan algoritma, hanya perasaan.
"Aku mencintaimu, Ethan," ucapku, akhirnya mengakui apa yang sudah lama kurasakan.
Senyum Ethan merekah. "Aku juga mencintaimu, Anya."
Hujan semakin deras, tapi aku tidak merasakannya. Aku merasa hangat, aman, dan bahagia. Algoritma mungkin telah mencuri perhatianku, tapi Ethan telah mencuri detak jantungku. Dan itu adalah pencurian terindah yang pernah kurasakan.
Malam itu, aku menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diprogram, dan tidak bisa direkayasa. Ia adalah misteri yang indah, sebuah keajaiban yang terjadi di antara dua jiwa yang terhubung. Dan terkadang, sedikit bantuan dari teknologi bisa menjadi awal dari kisah cinta yang tak terduga. Proyek Genesis mungkin hanya sebuah eksperimen, tapi ia membawaku pada hal yang paling berharga dalam hidupku: cinta sejati.