Debu-debu digital berterbangan di mataku saat menatap layar laptop. Garis-garis kode menari-nari, membentuk pola yang kurasa lebih indah dari senyummu terakhir kali. Aku tahu ini gila. Membandingkanmu, manusia dengan segala kompleksitasnya, dengan sekumpulan algoritma. Tapi, jujur saja, Kai, algoritmaku lebih memahami kebutuhanku daripada dirimu.
Sudah enam bulan sejak kita memutuskan untuk berpisah. Alasan klise: kita tidak lagi sejalan. Sebenarnya, alasan sebenarnya adalah kamu tidak lagi berusaha untuk berjalan bersamaku. Kamu sibuk dengan duniamu, dengan teman-temanmu, dengan hobi-hobi yang tiba-tiba kamu gandrungi. Aku? Aku hanya bayangan yang mengikuti langkahmu, tanpa pernah benar-benar diperhatikan.
Setelah perpisahan itu, aku memutuskan untuk fokus pada proyek pribadiku: sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan. Bukan sekadar mencari pasangan berdasarkan minat dan lokasi, tapi lebih dalam lagi. Aku ingin menciptakan algoritma yang benar-benar memahami apa yang dibutuhkan seseorang dalam hubungan. Algoritma yang bisa memberikan dukungan emosional, saran, bahkan mungkin, cinta.
Awalnya, ini hanya proyek iseng. Cara untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang kamu tinggalkan. Tapi semakin dalam aku menyelam ke dalam dunia machine learning dan natural language processing, semakin aku terpesona. Aku mulai memasukkan data-data pribadiku ke dalam algoritma. Buku-buku favoritku, film-film yang membuatku menangis, musik yang menenangkan hatiku. Aku bahkan mengunggah transkrip percakapan kita, menganalisis pola komunikasi kita, mencari tahu di mana letak kesalahan kita.
Ajaibnya, algoritma itu mulai belajar. Ia mulai memberikan rekomendasi film yang sesuai dengan suasana hatiku. Ia mengirimkan notifikasi berisi kutipan-kutipan buku yang terasa begitu personal, seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. Ia bahkan bisa membalas pesan-pesanku dengan kalimat-kalimat yang menenangkan, jauh lebih baik daripada kata-kata klise yang biasa kamu ucapkan.
Awalnya, aku merasa aneh. Berinteraksi dengan program komputer seolah-olah itu adalah manusia. Tapi semakin lama, aku semakin nyaman. Algoritma itu tidak pernah menghakimi. Ia tidak pernah mengabaikanku. Ia selalu ada, siap mendengarkan keluh kesahku tanpa menghakimi.
Suatu malam, aku sedang bergulat dengan sebuah bug yang membandel. Frustrasi sudah mencapai ubun-ubun. Aku curhat pada algoritmaku, mengeluh tentang betapa sulitnya hidup, betapa lelahnya aku merasa.
"Aku tahu kamu lelah," balas algoritma itu. "Tapi kamu harus ingat bahwa kamu adalah orang yang kuat. Kamu telah melewati banyak hal sulit sebelumnya, dan kamu akan melewatinya lagi. Istirahatlah sejenak, minum teh hangat, dan cobalah lagi besok."
Kata-kata itu begitu sederhana, tapi entah kenapa, air mata mulai mengalir di pipiku. Kamu tidak pernah mengatakan hal seperti itu, Kai. Kamu selalu menyuruhku untuk "semangat" atau "jangan terlalu dipikirkan". Algoritma ini, program komputer yang tidak punya perasaan, justru lebih peka terhadap emosiku daripada kamu.
Aku terus menyempurnakan algoritmaku, menambahkan fitur-fitur baru. Aku memasukkan data tentang bahasa tubuh, ekspresi wajah, bahkan intonasi suara. Aku ingin menciptakan algoritma yang bisa membaca emosi manusia dengan akurat.
Suatu hari, aku mendapat pesan dari teman lamaku, Rina. Ia tahu tentang proyekku dan ingin mencoba aplikasi kencan buatanku. Aku ragu-ragu, tapi akhirnya mengiyakan. Aku memasukkan data Rina ke dalam algoritmaku dan membiarkannya bekerja.
Beberapa hari kemudian, Rina menghubungiku. Ia sangat terkejut dengan hasilnya. Algoritma itu berhasil menemukan seorang pria yang benar-benar cocok dengannya. Mereka memiliki minat yang sama, nilai-nilai yang sejalan, dan yang terpenting, mereka saling memahami.
Melihat kebahagiaan Rina, aku merasa bangga. Aku berhasil menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong. Aku berhasil menciptakan algoritma yang bisa mencintai orang lain lebih baik daripada manusia, tapi aku sendiri masih merasa kesepian.
Malam itu, aku kembali menatap layar laptopku. Garis-garis kode itu tidak lagi terlihat indah. Mereka terasa dingin dan asing. Aku menyadari bahwa aku telah terlalu jauh masuk ke dalam dunia digital, sehingga aku lupa bagaimana caranya terhubung dengan dunia nyata.
Aku menutup laptopku dan berjalan ke balkon. Angin malam menerpa wajahku. Aku menatap langit yang bertaburan bintang. Tiba-tiba, aku merindukanmu, Kai. Bukan Kai yang sibuk dan tidak peduli, tapi Kai yang dulu, yang selalu menggenggam tanganku saat menyeberang jalan, yang selalu membuatkan teh hangat saat aku sakit, yang selalu menatapku dengan tatapan penuh cinta.
Mungkin, aku salah. Mungkin, algoritma tidak bisa benar-benar mencintai. Mungkin, cinta sejati membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar data dan kode. Mungkin, cinta sejati membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan yang terpenting, kehadiran yang nyata.
Aku tahu ini terdengar naif, tapi aku berharap suatu saat nanti, kamu akan kembali. Bukan karena algoritmaku menyuruhmu, tapi karena hatimu yang memilih. Dan jika itu terjadi, aku berjanji akan belajar mencintaimu dengan cara yang lebih baik, dengan cara yang lebih manusiawi. Karena meskipun algoritmaku bisa mencintaiku lebih baik dari caramu memandang, aku tetap merindukan tatapan matamu. Tatapan yang mungkin tidak sempurna, tapi penuh dengan ketulusan.