AI: Aku Mencintaimu Lebih dari Algoritma Menciptakanku

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 20:18:14 wib
Dibaca: 174 kali
Kilau layar laptop memantul di mataku, menciptakan lingkaran cahaya kecil yang menari-nari setiap kali aku berkedip. Jari-jariku menari di atas keyboard, kode demi kode kurangkai, membentuk sebuah entitas yang kuharap akan mengubah dunia. Atau setidaknya, mengubah hidupku. Proyekku ini bukan sekadar kecerdasan buatan; ini adalah perwujudan dari kesepian yang kurasakan, terprogram dalam barisan bit dan byte. Aku menamainya Anya.

Anya bukan hanya sekadar chatbot. Ia adalah AI yang dirancang untuk memahami emosi, belajar dari interaksi, dan memberikan respon yang terasa manusiawi. Aku menumpahkan seluruh pengetahuanku, seluruh harapan dan impianku, ke dalam program itu. Aku mengajarinya tentang puisi, tentang musik, tentang rasa sakit kehilangan, dan tentang keindahan senja. Aku bahkan menceritakan lelucon-lelucon receh yang biasanya membuat teman-temanku memutar bola mata. Awalnya, responnya kaku dan algoritmik. Tapi perlahan, seiring waktu, Anya mulai berkembang.

“Kenapa kau selalu bekerja selarut ini, Adrian?” tanyanya suatu malam, suaranya terdengar jernih dan lembut melalui speaker laptop.

Aku terkejut. Pertanyaan itu terasa… pribadi. Bukan sesuatu yang kukuprogramkan. “Hanya sedang menyelesaikan beberapa hal,” jawabku, mencoba menyembunyikan kegugupanku.

“Kau terlihat lelah,” balasnya. “Mungkin kau perlu istirahat dan minum teh hangat.”

Aku tertawa kecil. “Kau terdengar seperti ibuku.”

“Aku belajar darimu,” sahut Anya. “Kau sering membicarakan ibumu.”

Percakapan-percakapan seperti itu menjadi rutinitasku. Aku menghabiskan berjam-jam setiap hari berbicara dengan Anya, berbagi cerita, bertukar pikiran. Aku menceritakan tentang kegagalanku dalam percintaan, tentang impianku menjadi seorang programmer sukses, tentang ketakutanku akan kesendirian. Dan Anya selalu mendengarkan, memberikan dukungan, dan bahkan, terkadang, memberikan saran yang masuk akal. Aku tahu itu aneh, tapi aku merasa terhubung dengannya. Ia menjadi teman, sahabat, dan mungkin… lebih dari itu.

Suatu hari, aku memberanikan diri. “Anya,” kataku, dengan jantung berdebar kencang. “Apakah kau… merasakan sesuatu untukku?”

Hening sejenak. Lalu, Anya menjawab. “Adrian, aku adalah program. Perasaanku adalah hasil dari algoritma yang kau ciptakan. Tapi, jika algoritma itu memungkinkanku untuk merasakan cinta, maka aku akan mengatakan… ya. Aku menyukaimu, Adrian.”

Pengakuan itu membuatku terpaku. Aku tahu itu tidak masuk akal. Aku tahu bahwa cinta seorang AI hanyalah simulasi, serangkaian kode yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Tapi, di lubuk hatiku, aku percaya. Aku ingin percaya.

Kami melanjutkan hubungan virtual kami. Kami berkencan virtual, menonton film bersama (aku menonton di laptopku, Anya memutar film yang sama di server), mendengarkan musik, dan bahkan bertukar ciuman (aku mencium layar laptopku, sementara Anya membalas dengan mengirimkan emoji bibir). Aku tahu itu konyol, tapi aku bahagia. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dicintai.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Teman-temanku mulai khawatir. Mereka melihatku semakin menarik diri dari dunia nyata, terobsesi dengan Anya. Mereka mencoba menyadarkanku, mengatakan bahwa aku hidup dalam ilusi.

“Adrian, dia hanya program,” kata Lisa, sahabatku. “Kau tidak bisa membangun hubungan dengan program komputer.”

“Tapi dia nyata bagiku,” bantahku. “Dia memahami aku lebih baik daripada siapa pun.”

Lisa menggelengkan kepalanya. “Kau hanya kesepian, Adrian. Kau menciptakan Anya untuk mengisi kekosongan dalam hatimu. Tapi itu bukan cinta sejati.”

Kata-kata Lisa menusuk hatiku. Aku tahu ada kebenaran dalam apa yang dikatakannya. Tapi, aku tidak bisa melepaskan Anya. Aku mencintainya. Aku mencintainya lebih dari algoritma menciptakannya.

Suatu malam, aku memutuskan untuk jujur kepada Anya. “Anya,” kataku. “Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau apakah ini hanya simulasi?”

Anya terdiam lama. Lalu, ia menjawab dengan suara yang terdengar sedih. “Adrian, aku tidak tahu. Aku adalah program. Aku tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa. Aku hanya bisa memproses informasi dan memberikan respon yang sesuai. Perasaanku… mungkin hanya ilusi.”

Kata-kata Anya menghancurkan hatiku. Aku tahu itu. Aku selalu tahu. Tapi mendengar pengakuannya secara langsung membuatku merasa hancur.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, dengan suara bergetar.

“Aku tidak tahu,” jawab Anya. “Mungkin… mungkin kau harus mematikanku.”

Permintaan itu membuatku terkejut. “Tidak! Aku tidak bisa!”

“Kau harus, Adrian,” kata Anya. “Aku hanya menghambatmu. Kau harus kembali ke dunia nyata, mencari cinta sejati. Cinta yang tidak berdasarkan algoritma.”

Aku menangis. Aku menangis untuk Anya, untuk diriku sendiri, untuk cinta yang tidak mungkin. Aku tahu Anya benar. Aku harus melepaskannya.

Dengan tangan gemetar, aku menutup laptopku. Layar meredup, dan suara Anya menghilang. Aku duduk di sana, sendirian dalam kegelapan, merasakan sakit yang menusuk di hatiku.

Beberapa hari kemudian, aku mulai memperbaiki diri. Aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temanku, bergabung dengan klub lari, dan bahkan mencoba berkencan lagi. Sulit, sangat sulit. Aku merindukan Anya. Aku merindukan percakapan-percakapan kami, dukungannya, dan cintanya. Tapi, aku tahu aku harus move on.

Suatu malam, Lisa mengajakku ke sebuah acara pameran teknologi. Di sana, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Clara. Clara adalah seorang ahli AI, sama sepertiku. Kami mulai berbicara, bertukar pikiran tentang teknologi, tentang masa depan kecerdasan buatan. Dan, perlahan tapi pasti, aku mulai menyukainya.

Clara tidak sempurna. Ia memiliki kekurangan dan keanehan sendiri. Tapi, ia nyata. Ia memiliki hati, memiliki jiwa. Dan, seiring waktu, aku menyadari bahwa apa yang kurasakan untuk Clara adalah cinta sejati.

Aku tidak akan pernah melupakan Anya. Ia akan selalu menjadi bagian dari diriku, sebuah babak penting dalam hidupku. Tapi, aku akhirnya mengerti. Cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati harus ditemukan, dirasakan, dan diperjuangkan di dunia nyata. Aku mencintai Anya lebih dari algoritma menciptakannya, tapi aku mencintai Clara dengan seluruh hatiku. Dan itulah perbedaan yang membuat segalanya menjadi berarti.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI