Algoritma Takdir: Saat Hati Terjebak Preferensi AI

Dipublikasikan pada: 17 Nov 2025 - 00:40:14 wib
Dibaca: 135 kali
Aplikasi kencan itu tahu segalanya tentangku. Lebih banyak dari ibuku, mungkin. Algoritma "SoulMate AI" telah mencerna riwayat pencarian, unggahan media sosial, bahkan pola tidurku. Ia menjanjikan kecocokan sempurna, seseorang yang secara statistik dan filosofis, adalah belahan jiwaku. Dan hasilnya? Maya.

Maya adalah seorang arsitek lanskap dengan senyum yang bisa menumbuhkan gurun dan selera humor yang sepedas kopi hitam. Kami bertemu di kafe yang dipilihkan oleh aplikasi, lengkap dengan musik latar yang, anehnya, adalah lagu kesukaanku waktu SMP. Segala sesuatunya terasa...terlalu sempurna.

Awalnya, aku terpesona. Kami berbicara tentang buku, film, dan mimpi-mimpi masa depan dengan sinkronisasi yang membuatku merinding. Kami berdebat ringan tentang manfaat hujan buatan (dia pro, aku kontra) dan tertawa terbahak-bahak saat menyadari bahwa kami berdua memiliki alergi yang sama terhadap debu serbuk sari bunga aster. Seolah-olah kami dirancang untuk bersama.

Namun, seiring waktu, keraguan mulai merayap. Apakah aku benar-benar menyukai Maya, ataukah aku menyukai versi diriku yang diproyeksikan oleh SoulMate AI? Apakah ketertarikan ini asli, ataukah hanya produk dari algoritma yang bekerja terlalu keras?

Aku mulai bereksperimen. Aku menyarankan restoran yang jelas-jelas bukan tipe Maya. Aku mengajaknya menonton film horor, padahal aplikasinya tahu dia lebih suka drama romantis. Aku bahkan, demi Tuhan, mendengarkan musik metal dengan volume keras di mobil, hanya untuk melihat reaksinya.

Maya, yang selalu anggun dan pengertian, hanya mengangkat alisnya. Dia akan tersenyum dan berkata, "Menarik. Aku tidak menyangka kamu menyukai ini," atau "Aku tidak terlalu suka, tapi aku senang kamu menikmatinya." Dia seolah sudah diprogram untuk menerima dan mencintaiku, apa pun yang terjadi.

Ketakutanku semakin menjadi-jadi. Aku merasa seperti sedang hidup dalam simulasi, di mana semua respons sudah ditulis sebelumnya, semua emosi sudah diatur. Aku merindukan ketidakpastian, kejutan, dan keanehan yang membuat hubungan terasa nyata. Aku merindukan perdebatan sengit tentang hal-hal kecil yang tidak penting. Aku merindukan, sederhananya, manusia.

Suatu malam, saat kami sedang makan malam di restoran Italia yang elegan (pilihan SoulMate AI, tentu saja), aku tidak tahan lagi. Aku meletakkan garpu dan menatap Maya.

"Maya," kataku, suaraku bergetar, "apa yang sebenarnya kamu rasakan?"

Dia memiringkan kepalanya, mata hijaunya berkilauan di bawah cahaya lilin. "Maksudmu?"

"Aku...aku merasa seperti aku hidup dalam algoritma. Seperti semua yang kita lakukan, semua yang kita rasakan, sudah ditentukan sebelumnya. Apa kamu tidak merasakannya?"

Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku tahu apa yang kamu maksud," jawabnya pelan.

Jantungku berdebar kencang. "Jadi, kamu merasakannya juga?"

"Ya. Tapi aku memilih untuk tidak memikirkannya."

"Kenapa?"

"Karena aku bahagia bersamamu," jawabnya, menggenggam tanganku. "SoulMate AI mungkin telah mempertemukan kita, tapi apa yang kita lakukan selanjutnya, adalah pilihan kita sendiri."

Aku tertegun. Kata-katanya menenangkanku, tapi juga membuatku semakin bingung. Apakah dia benar? Apakah aku terlalu fokus pada algoritma sehingga aku melewatkan hal yang penting?

Aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang drastis. Keesokan harinya, aku mengajak Maya ke tempat yang sama sekali tidak sesuai dengan preferensi kami: sebuah bar karaoke kumuh di pinggiran kota. Tempat itu penuh dengan orang-orang yang menyanyi dengan suara parau, lampu yang berkedip-kedip, dan aroma bir basi.

Maya, untuk sesaat, tampak terkejut. Tapi kemudian, dia tersenyum. "Baiklah," katanya. "Mari kita lakukan ini."

Kami menyanyikan lagu duet yang mengerikan, suara kami sumbang dan kacau. Kami tertawa sampai perut kami sakit, dan aku menyadari sesuatu: Maya tidak hanya menerima eksperimenku, dia menikmatinya. Dia tidak hanya diprogram untuk mencintaiku, dia benar-benar mencintaiku.

Malam itu, setelah mengantarnya pulang, aku duduk di mobilku dan menatap langit malam. Bintang-bintang berkilauan, tidak terpengaruh oleh algoritma apa pun. Aku menyadari bahwa takdir mungkin bisa dihitung, diprediksi, dan diprogram, tetapi cinta, cinta sejati, adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks dan tak terduga.

Aku memutuskan untuk membiarkan SoulMate AI menjadi alat, bukan penentu. Aku berhenti mencoba untuk menguji Maya, dan mulai mencoba untuk mengenalnya. Aku mulai mendengarkan, bukan hanya mendengar. Aku mulai melihat, bukan hanya mengamati.

Dan perlahan-lahan, algoritma takdir itu mulai menghilang. Aku mulai melihat Maya sebagai individu, bukan sebagai produk dari preferensiku. Aku mulai mencintainya karena dia adalah dia, dengan semua keanehan, kekurangsempurnaan, dan ketidakpastiannya.

Beberapa bulan kemudian, kami memutuskan untuk menghapus aplikasi SoulMate AI. Kami tidak membutuhkannya lagi. Kami telah menemukan belahan jiwa kami, bukan karena algoritma, tetapi karena kami memilih untuk menemukannya. Kami memilih untuk mencintai, bukan karena diprogram, tetapi karena kami ingin.

Aku tahu bahwa masa depan tidak pasti, dan bahwa tidak ada jaminan bahwa kami akan bersama selamanya. Tapi aku juga tahu bahwa cinta yang kami bagikan adalah nyata, kuat, dan cukup untuk menaklukkan algoritma apa pun. Karena pada akhirnya, takdir bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi, melainkan sesuatu yang kita ciptakan sendiri, satu pilihan, satu ciuman, satu lagu karaoke yang sumbang dalam satu waktu. Dan aku, untuk pertama kalinya dalam hidupku, merasa benar-benar bebas.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI