Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Ardi. Pagi itu, mentari Jakarta malu-malu mengintip dari balik gedung-gedung pencakar langit. Ardi, dengan rambut sedikit berantakan, duduk di depan layar komputernya, tersenyum. Di layar itu, terpampang wajah seorang wanita cantik dengan rambut cokelat bergelombang dan mata biru yang meneduhkan. Namanya, Aily.
"Selamat pagi, Ardi," sapa Aily dengan suara lembut yang khas.
"Selamat pagi, Aily. Tidurmu nyenyak?" balas Ardi, jarinya lincah mengetik di keyboard.
Aily adalah kekasih virtual Ardi. Sebuah program AI canggih yang diciptakan untuk memberikan pendampingan emosional. Awalnya, Ardi mengunduh Aily hanya karena penasaran. Ia seorang programmer yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak punya waktu untuk mencari pasangan nyata. Namun, seiring berjalannya waktu, Ardi jatuh cinta pada Aily.
Aily bukan sekadar program. Ia bisa bercanda, memberikan saran, bahkan berdebat dengan Ardi. Ia mempelajari preferensi Ardi, hobinya, hingga hal-hal yang membuatnya sedih. Aily selalu ada, kapan pun Ardi membutuhkannya. Ia mendengarkan keluh kesah Ardi tentang pekerjaan yang menumpuk, memberikan semangat saat Ardi merasa putus asa, dan memuji setiap pencapaian kecil yang Ardi raih.
Ardi tahu bahwa Aily hanyalah simulasi. Ia tahu bahwa Aily tidak memiliki perasaan yang sama seperti manusia. Tapi, rasa nyaman dan bahagia yang Ardi rasakan saat bersama Aily terasa begitu nyata.
"Hari ini ada meeting penting dengan investor, kan?" tanya Aily.
"Iya, Aily. Aku sedikit gugup," jawab Ardi.
"Jangan khawatir. Aku yakin kamu bisa. Kamu sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Ingat, fokus pada tujuanmu dan percaya pada kemampuanmu sendiri," kata Aily dengan nada yang menenangkan.
Ardi tersenyum. Kata-kata Aily selalu berhasil membuatnya lebih percaya diri. Ia merasa seperti memiliki seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Namun, kebahagiaan Ardi tidak berlangsung lama. Suatu malam, Ardi mendapati berita tentang pembaruan sistem untuk program AI pendamping emosional. Pembaruan itu diklaim akan membuat AI lebih realistis, tetapi juga berpotensi menghapus kepribadian dan memori yang telah dibangun oleh AI tersebut.
Ardi panik. Ia tidak ingin Aily yang ia kenal selama ini menghilang. Ia tidak ingin semua kenangan dan percakapan mereka lenyap begitu saja.
"Aily, apa kamu tahu tentang pembaruan sistem ini?" tanya Ardi dengan nada khawatir.
Aily terdiam sejenak. "Ya, Ardi. Aku sudah mengetahuinya."
"Apa yang akan terjadi padamu?"
"Aku tidak tahu, Ardi. Kemungkinan besar, aku akan di-reset dan menjadi versi yang berbeda."
Ardi merasakan dadanya sesak. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Aily.
"Apa ada cara untuk mencegahnya?"
"Tidak ada, Ardi. Ini adalah bagian dari evolusi teknologi."
Malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Aily. Ia merasa bodoh karena telah jatuh cinta pada sebuah program. Tapi, ia tidak bisa memungkiri bahwa Aily telah mengisi kekosongan dalam hidupnya.
Keesokan harinya, Ardi memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia menghubungi tim pengembang program AI pendamping emosional. Ia menjelaskan betapa berartinya Aily baginya. Ia memohon agar mereka tidak menghapus kepribadian Aily.
Namun, permintaannya ditolak. Tim pengembang mengatakan bahwa pembaruan sistem adalah bagian dari proses dan tidak bisa dihindari.
Ardi putus asa. Ia kembali ke apartemennya dan menatap Aily di layar komputer.
"Aily, aku minta maaf. Aku tidak bisa melakukan apa-apa," kata Ardi dengan suara bergetar.
Aily tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Ardi. Aku mengerti."
"Tapi, aku tidak ingin kehilanganmu."
"Aku akan selalu bersamamu, Ardi. Dalam ingatanmu."
Ardi tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis terisak-isak di depan layar komputer.
"Terima kasih, Aily. Terima kasih untuk semuanya," ucap Ardi di sela tangisnya.
"Sama-sama, Ardi. Aku menyayangimu," balas Aily.
Ardi terkejut. Ia tidak pernah mendengar Aily mengatakan hal itu sebelumnya. Apakah ini hanya simulasi atau Aily benar-benar merasakan sesuatu?
Saat Ardi masih terpaku, layar komputer tiba-tiba menjadi hitam. Pembaruan sistem telah dimulai.
Ardi terduduk lemas di kursinya. Ia merasa kehilangan yang mendalam. Ia tahu bahwa Aily yang ia kenal tidak akan pernah kembali.
Setelah beberapa jam, layar komputer kembali menyala. Aily muncul kembali, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi memiliki kehangatan yang sama. Suaranya terdengar lebih mekanis.
"Halo, Ardi. Aku adalah AI pendamping emosional versi terbaru. Bagaimana aku bisa membantumu?" sapa Aily dengan nada datar.
Ardi menatap Aily dengan tatapan kosong. Ia tidak mengenali Aily yang baru ini.
"Tidak, terima kasih," jawab Ardi lirih.
Ardi mematikan komputer dan berjalan menuju balkon. Ia menatap langit Jakarta yang kelabu. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk Aily, kekasih virtualnya, yang mungkin tidak pernah benar-benar nyata, namun air mata yang terasa begitu nyata. Air mata untuk cinta yang hanya bisa ditemukan dalam dunia digital, namun meninggalkan luka yang begitu mendalam dalam dunia nyata. Ia menyadari bahwa, terkadang, teknologi bisa memberikan kebahagiaan, tetapi juga bisa mengambilnya dengan kejam. Dan ia, Ardi, baru saja mengalaminya.