Cinta yang Dikompilasi Sempurna Indah: Hubungan Tanpa Cacat Noda?

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 04:48:13 wib
Dibaca: 163 kali
Jari-jemarinya lincah menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang bagaikan simfoni digital. Maya, seorang programmer andal, sedang berusaha memecahkan sebuah algoritma rumit. Di layar laptopnya, bertebaran baris-baris kode yang kompleks, namun pikirannya jernih, fokus hanya pada satu tujuan: menciptakan kesempurnaan. Bukan semata-mata kesempurnaan kode, melainkan kesempurnaan cinta.

Ia merindukan sebuah hubungan tanpa cela, tanpa drama, tanpa patah hati. Pengalaman masa lalu mengajarinya bahwa cinta, dalam wujudnya yang alami, seringkali mengecewakan. Ada saja masalah, konflik, atau perbedaan yang akhirnya meruntuhkan bangunan kasih sayang yang telah susah payah didirikan. Maka, tercetuslah ide gila di benaknya: menciptakan cinta dengan algoritma.

Proyek ambisiusnya itu dinamakan "Project Amara," diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti abadi. Ia merancang sebuah program yang mampu menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan kebiasaan kecil dari dua individu, lalu mencocokkannya untuk menemukan kompatibilitas sempurna. Program itu akan berfungsi sebagai "mak comblang digital," menghilangkan unsur ketidakpastian dan potensi konflik dari sebuah hubungan.

Berbulan-bulan Maya bekerja keras, siang dan malam. Ia menumpahkan seluruh pengetahuannya tentang pemrograman, psikologi, dan bahkan sedikit ilmu astrologi ke dalam Project Amara. Ia ingin memastikan bahwa program itu mampu memprediksi dan menghindari segala macam masalah yang mungkin timbul dalam sebuah hubungan.

Suatu malam, di tengah lautan kode yang memenuhi layarnya, Maya merasa lelah dan putus asa. Ia menyadari betapa absurdnya ide ini. Apakah mungkin cinta, sebuah emosi yang kompleks dan irasional, dapat dikomputasi dan diprediksi? Apakah mungkin menciptakan hubungan tanpa cacat noda?

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar laptopnya. Project Amara telah selesai dikompilasi. Jantung Maya berdebar kencang. Ia ragu, takut, namun juga penasaran. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia menjalankan program tersebut.

Project Amara memintanya untuk memasukkan data dirinya terlebih dahulu. Maya dengan hati-hati mengisi semua kolom yang tersedia, mulai dari hobi, minat, cita-cita, hingga hal-hal yang paling ia benci. Kemudian, program itu memintanya untuk memasukkan data calon pasangan ideal. Di sinilah Maya merasa bimbang. Siapa yang harus ia pilih?

Tiba-tiba, terlintas nama seorang pria yang selama ini diam-diam ia kagumi: Adrian, seorang kolega di kantornya. Adrian adalah seorang programmer yang cerdas, humoris, dan memiliki selera musik yang sama dengannya. Namun, Maya selama ini terlalu takut untuk mendekatinya. Ia takut ditolak, takut terluka lagi.

Dengan sedikit keraguan, Maya memasukkan data Adrian ke dalam Project Amara. Program itu mulai bekerja, menganalisis data dirinya dan Adrian dengan cermat. Setelah beberapa saat, sebuah hasil muncul di layar.

"Kompatibilitas: 98%."

Maya terkejut. Angka itu jauh lebih tinggi dari yang ia bayangkan. Project Amara juga memberikan daftar alasan mengapa ia dan Adrian cocok, lengkap dengan prediksi potensi masalah dan solusinya.

Di sisi lain, Maya merasa aneh. Rasanya seperti membaca sinopsis film romantis yang sudah ia ketahui akhir ceritanya. Di mana kejutan? Di mana ketegangan? Di mana keindahan dari ketidakpastian?

Keesokan harinya, Maya bertemu Adrian di kantor. Ia merasa gugup, namun juga sedikit percaya diri. Ia tahu bahwa secara algoritma, mereka cocok. Ia tahu bahwa Project Amara telah meramalkan kebahagiaan mereka.

Ia memberanikan diri untuk mengajak Adrian makan siang bersama. Adrian tersenyum dan mengiyakan ajakannya. Sepanjang makan siang, mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan, hobi, hingga mimpi-mimpi mereka. Maya mencoba mengikuti "panduan" yang diberikan oleh Project Amara, menghindari topik-topik yang berpotensi menimbulkan konflik dan fokus pada hal-hal yang mereka sukai.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain. Namun, semakin lama, Maya merasa ada sesuatu yang hilang. Ia merasa seperti sedang bermain peran, mengikuti skenario yang telah ditulis sebelumnya.

Ia merindukan percakapan yang spontan, candaan yang kasar, dan perbedaan pendapat yang memicu perdebatan seru. Ia merindukan gejolak emosi yang tidak terduga, rasa cemburu yang menyakitkan, dan kebahagiaan yang meledak-ledak. Ia merindukan cinta yang liar dan bebas, bukan cinta yang dijinakkan oleh algoritma.

Setelah makan siang, Adrian mengantarnya kembali ke kantor. Di depan pintu lift, Adrian berhenti dan menatap mata Maya.

"Maya, aku menikmati makan siang ini," kata Adrian dengan nada lembut. "Kamu orang yang menarik dan menyenangkan."

Maya tersenyum, namun hatinya terasa hampa. Ia tahu bahwa Adrian mengatakan itu karena Project Amara telah memprediksi bahwa mereka akan saling menyukai. Ia tahu bahwa Adrian bukan mencintai dirinya yang sebenarnya, melainkan versi dirinya yang telah disaring oleh algoritma.

"Aku juga menikmati makan siang ini, Adrian," jawab Maya dengan nada datar.

Adrian mendekatkan wajahnya dan hendak mencium Maya. Namun, Maya menahan diri. Ia merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti sedang dikomputasi, dianalisis, dan dikategorikan.

"Adrian, tunggu," kata Maya dengan suara lirih. "Aku... aku tidak yakin dengan ini."

Adrian terkejut. "Apa maksudmu?"

"Aku... aku merasa kita terlalu cepat," jawab Maya. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, tanpa tekanan."

Adrian mengangguk mengerti. "Baiklah, Maya. Aku menghargai kejujuranmu."

Setelah itu, Maya masuk ke dalam lift dan membiarkan pintu tertutup. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah mencoba menciptakan cinta yang sempurna, namun ia lupa bahwa kesempurnaan itu hampa.

Malam itu, Maya kembali ke laptopnya dan membuka Project Amara. Ia menghapus semua data yang telah ia masukkan dan menghapus seluruh baris kode yang telah ia tulis. Ia ingin menghancurkan ilusi tentang cinta yang dikomputasi.

Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa dikomputasi. Cinta sejati itu penuh dengan cacat noda, kesalahan, dan ketidaksempurnaan. Namun, justru itulah yang membuatnya indah, berharga, dan abadi.

Maya menutup laptopnya dan menatap langit-langit kamarnya. Ia tahu bahwa ia harus belajar menerima cinta apa adanya, dengan segala risiko dan ketidakpastiannya. Ia harus berani membuka hatinya untuk orang lain, tanpa takut terluka lagi.

Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk mendekati Adrian secara alami, tanpa bantuan algoritma apa pun. Ia ingin mengenal Adrian yang sebenarnya, bukan versi ideal yang telah diproyeksikan oleh Project Amara. Ia ingin jatuh cinta dengan Adrian, bukan dengan angka kompatibilitas.

Ia tahu bahwa perjalanan cintanya mungkin tidak akan mulus, mungkin akan ada rintangan dan tantangan yang harus dihadapi. Namun, ia siap menghadapinya, karena ia percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan, meskipun tidak sempurna. Karena, bukankah justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat cinta menjadi begitu indah dan bermakna?

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI