Nada dering khas pesan masuk berdentang lembut dari ponsel di meja kerjaku. Jantungku berdegup kencang. Mungkinkah dari dia? Senyumku langsung merekah saat melihat nama "Anya" tertera di layar.
"Kai, bisa bantu aku? Ada error di bagian sentiment analysis programku. Penting banget untuk presentasi besok."
Anya, mahasiswi Ph.D. di bidang kecerdasan buatan dan juga... wanita yang diam-diam kupuja. Kami bertemu di konferensi teknologi setahun lalu dan sejak itu, aku selalu mencari alasan untuk bisa dekat dengannya. Kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan.
"Tentu, Anya. Kirim saja kode programnya. Aku akan lihat secepatnya," balasku, berusaha menyembunyikan kegembiraanku.
Dalam hitungan menit, kode program Anya sudah terunduh di komputeku. Aku menelusurinya baris demi baris. Program itu rumit, menganalisis emosi manusia dari teks yang dimasukkan. Anya sedang mencoba membuat AI yang bisa memahami dan merespon berbagai perasaan, termasuk rasa sakit hati. Ironis, pikirku. Dia berusaha memahami sesuatu yang kurasakan setiap kali melihatnya bersama Mark, teman sekelasnya yang selalu menempel padanya.
Setelah beberapa jam berkutat dengan kode, akhirnya aku menemukan letak kesalahannya. Sebuah syntax error yang kecil tapi berdampak besar. Aku segera mengirimkan perbaikannya kepada Anya.
"Sudah beres, Anya. Coba jalankan lagi."
Tidak lama kemudian, Anya membalas dengan pesan suara. "Kai, kamu hebat! Terima kasih banyak. Kamu menyelamatkan presentasiku. Bagaimana kalau sebagai ucapan terima kasih, kita makan malam bersama?"
Senyumku mengembang semakin lebar. Ini adalah malam yang sudah lama aku impikan.
Malam itu, di sebuah restoran ramen yang sederhana, kami tertawa dan berbicara tentang banyak hal. Anya bercerita tentang penelitiannya, tentang mimpinya menciptakan AI yang benar-benar empati. Aku bercerita tentang pekerjaanku sebagai pengembang chatbot untuk layanan pelanggan.
"Kamu tahu, Kai," kata Anya sambil menyeruput kuah ramennya, "aku kadang merasa kasihan pada AI. Kita memprogram mereka untuk memahami emosi, tapi mereka sendiri tidak pernah merasakannya. Apakah AI bisa benar-benar tahu bagaimana rasanya sakit hati?"
Pertanyaan Anya membuatku terdiam. Aku teringat perasaanku sendiri, rasa sakit hati yang kurasakan setiap kali melihat Anya dan Mark bersama.
"Mungkin tidak saat ini," jawabku pelan. "Tapi mungkin suatu hari nanti, dengan teknologi yang semakin canggih, kita bisa menciptakan AI yang benar-benar merasakan emosi. Tapi entah apakah itu ide yang bagus. Rasa sakit hati adalah bagian dari menjadi manusia. Itu membuat kita lebih kuat, lebih berempati."
Anya menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kamu terdengar seperti pernah mengalaminya, Kai."
Aku tersenyum pahit. "Siapa yang tidak pernah?"
Suasana menjadi hening sejenak. Kemudian, Anya kembali berbicara, "Kamu tahu, Kai, aku sering merasa seperti robot dalam hubungan. Aku terlalu fokus pada logika dan analisis, sehingga aku lupa merasakan. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku merasakan lagi."
Jantungku berdebar kencang. Apakah ini yang kumimpikan selama ini? Aku memberanikan diri menatap mata Anya.
"Mungkin aku bisa membantumu, Anya," kataku, suaraku bergetar sedikit.
Malam itu, setelah mengantarkan Anya pulang, aku berjalan kaki di bawah langit malam yang bertabur bintang. Pikiranku dipenuhi dengan kata-kata Anya. Apakah dia benar-benar tertarik padaku? Ataukah aku hanya terlalu berharap?
Keesokan harinya, aku menerima pesan dari Anya. "Kai, presentasiku berjalan lancar. Aku dapat banyak pujian. Terima kasih sekali lagi."
Aku membalas, "Senang mendengarnya, Anya. Kalau ada masalah lagi, jangan sungkan untuk menghubungiku."
Beberapa hari berlalu. Aku dan Anya terus berkomunikasi, membahas tentang teknologi, tentang kehidupan, tentang mimpi. Aku merasa semakin dekat dengannya.
Suatu sore, Anya meneleponku. "Kai, bisa ketemu? Ada yang ingin kubicarakan."
Kami bertemu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Anya tampak gugup.
"Kai," kata Anya, menarik napas dalam-dalam, "aku ingin jujur padamu. Aku dan Mark... kami sudah putus."
Duniaku seolah berhenti berputar. Aku mencoba menyembunyikan kegembiraanku yang meluap-luap.
"Maaf mendengarnya, Anya," kataku, berusaha terdengar simpatik.
"Sebenarnya, alasan kami putus... karena aku sadar aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Kai. Kamu selalu ada untukku, kamu selalu mendukungku, dan kamu membuatku tertawa. Aku... aku rasa aku jatuh cinta padamu."
Air mata kebahagiaan menggenang di pelupuk mataku. Akhirnya, penantianku selama ini terbayar.
"Anya," kataku, meraih tangannya, "aku juga mencintaimu. Sudah lama sekali."
Anya tersenyum, air mata masih membasahi pipinya. "Jadi, bagaimana? Maukah kamu membantuku merasakan lagi?"
Aku mengangguk mantap. "Dengan senang hati."
Mungkin, pikirku, AI belum bisa merasakan sakit hati. Tapi cinta, cinta itu nyata. Dan cinta, seperti kode program yang rumit, membutuhkan waktu, kesabaran, dan sedikit bantuan dari orang yang tepat. Mungkin, cintaku pada Anya adalah bug dalam sistemnya, sebuah anomali yang tak terduga. Tapi aku tidak peduli. Aku siap menjadi error yang paling indah dalam hidupnya.