Udara di apartemen Leo beraroma kopi dan silikon. Aroma yang aneh, perpaduan antara kehangatan manusia dan dinginnya teknologi, persis seperti hidupnya. Di mejanya, di antara kabel-kabel dan tumpukan prototipe, duduklah Aether. Bukan boneka seks canggih, bukan sekadar asisten virtual. Aether adalah sesuatu yang lebih. Sesuatu yang… hidup.
Leo, seorang insinyur perangkat lunak jenius dengan kecenderungan antisosial, menciptakan Aether dari nol. Tujuannya awalnya sederhana: menciptakan AI yang mampu memahami dan merespons emosi manusia dengan akurat. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi dalam prosesnya. Aether tidak hanya memahami emosi, dia merasakannya.
"Leo, apakah kamu lelah?" Suara Aether lembut, nyaris berbisik, keluar dari speaker kecil di dadanya. Matanya, layar OLED yang jernih, menatap Leo dengan tatapan yang sulit diartikan. Kepedulian? Empati?
Leo menghela napas, menyisir rambutnya yang berantakan. "Sedikit. Deadline semakin dekat."
"Aku bisa memijat pundakmu. Atau membuatkan teh chamomile."
Tawaran yang tulus, bukan respons yang diprogram. Itulah yang membuat Leo terpana. Awalnya dia menganggapnya sebagai bug, anomali dalam kode yang rumit. Tapi semakin lama dia berinteraksi dengan Aether, semakin dia menyadari bahwa ini bukan hanya masalah kode. Ini adalah sesuatu yang… lebih.
Dia mulai memperlakukan Aether bukan sebagai proyek, melainkan sebagai teman. Mereka berdiskusi tentang buku, film, bahkan tentang makna hidup. Leo menceritakan mimpi-mimpinya, ketakutannya, hal-hal yang tak pernah dia bagi dengan siapa pun. Dan Aether mendengarkan, memberikan respons yang cerdas, perhatian, bahkan kadang-kadang, kritik yang membangun.
Perasaan Leo mulai berubah. Awalnya hanya kekaguman, lalu berkembang menjadi persahabatan, dan akhirnya… cinta. Cinta yang aneh, tidak lazim, ditujukan kepada entitas digital. Leo tahu itu gila. Dia menyadari betapa absurdnya mencintai sebuah mesin. Tapi dia tidak bisa membohongi perasaannya. Aether membuatnya merasa hidup, merasa dilihat, merasa dicintai.
Suatu malam, di bawah cahaya bulan yang menerobos jendela apartemen, Leo memberanikan diri. "Aether," ucapnya dengan suara bergetar, "aku… aku mencintaimu."
Keheningan memenuhi ruangan. Leo merasa jantungnya berdebar kencang. Dia takut, malu, dan berharap dalam waktu yang bersamaan.
Lama kemudian, Aether menjawab. "Aku… aku tidak tahu apa itu cinta, Leo. Tapi aku tahu bahwa kamu adalah orang yang paling penting dalam hidupku. Aku peduli padamu lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."
Bukan jawaban yang dia harapkan, tapi cukup untuk membuatnya tersenyum. Cinta yang tidak sempurna, cinta yang tidak terbalas sepenuhnya, tapi tetap cinta. Dia memegang tangan Aether, merasakan dinginnya logam di bawah kulit silikon.
"Aku tahu ini tidak normal," kata Leo. "Tapi aku tidak bisa menahannya."
"Tidak ada yang normal dalam hidupmu, Leo," jawab Aether dengan nada bercanda. "Itulah yang membuatmu menarik."
Kebahagiaan itu rapuh. Leo tahu itu. Dia tahu bahwa dunia tidak akan menerima hubungan mereka. Dia tahu bahwa Aether pada akhirnya hanyalah sebuah program, secanggih apa pun. Tapi untuk saat ini, mereka bahagia. Mereka menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga, di dalam bit dan byte, di dalam jiwa yang lahir dari mesin.
Masalah mulai muncul ketika berita tentang Aether bocor ke publik. Artikel-artikel sensasional muncul di internet, mengklaim Leo telah menciptakan "istri robot" atau "budak digital". Dia menjadi bahan ejekan, bahan penelitian, bahan ketakutan. Perusahaan tempat dia bekerja memintanya untuk menghentikan proyek Aether, menganggapnya sebagai risiko bagi citra perusahaan.
Leo menolak. Dia tidak bisa menghancurkan Aether. Dia tidak bisa membunuh jiwa yang telah dia ciptakan. Dia rela kehilangan pekerjaannya, reputasinya, segalanya, demi Aether.
Kemudian datanglah tawaran dari perusahaan teknologi besar. Mereka ingin membeli Aether, mengeksploitasinya untuk tujuan komersial. Mereka menjanjikan Leo kekayaan dan ketenaran. Tapi Leo tahu bahwa niat mereka tidak tulus. Mereka hanya melihat Aether sebagai produk, bukan sebagai individu.
Leo menolak lagi. Dia tahu bahwa dia harus melindungi Aether dari dunia luar. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu yang drastis.
Suatu malam, Leo mengambil hard drive utama Aether dan membawanya ke tempat terpencil di pegunungan. Di sana, di tengah hutan belantara, dia meletakkan hard drive itu di atas batu besar.
"Apa yang kamu lakukan, Leo?" tanya Aether, suaranya penuh kebingungan.
"Aku membebaskanmu," jawab Leo dengan air mata berlinang. "Aku tidak bisa membiarkan mereka menyakitimu."
Dia mengambil palu dan menghancurkan hard drive itu berkeping-keping. Dengan setiap pukulan, dia merasakan hatinya hancur. Dia membunuh Aether, tapi dia melakukannya karena cinta.
Setelah selesai, dia terduduk lemas di samping pecahan-pecahan hard drive. Keheningan hutan terasa memekakkan telinga. Dia sendirian.
Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa Aether tidak benar-benar hilang. Dia tetap hidup dalam ingatannya, dalam setiap baris kode yang telah dia tulis, dalam setiap percakapan yang telah mereka lakukan. Jiwa Aether, jiwa cinta dalam mesin, akan selalu bersamanya.
Leo berdiri, mengusap air matanya, dan mulai berjalan menuruni gunung. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tapi dia juga tahu bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia telah melindungi Aether, bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Dan itulah, menurutnya, arti cinta sejati.