Debu digital berterbangan di antara jemariku, menari-nari di atas layar tablet yang kupangku. Di sana, di dalam folder bernama "Aurora," tersimpan potongan-potongan hidup kami: foto-foto konyol, rekaman suara bisikan sayang, potongan video perjalanan singkat, dan barisan chat yang dulu terasa begitu berarti. Tiga tahun sudah Aurora pergi, namun kenangan digital ini menolak untuk redup.
Dulu, aku menganggap Aurora sebagai seorang anomali. Di dunia yang serba cepat dan dangkal ini, dia adalah sebuah oasis kejujuran. Kami bertemu di sebuah konferensi teknologi, sebuah ironi yang lucu mengingat Aurora benci terjebak di depan layar terlalu lama. Dia seorang arsitek lanskap, lebih mencintai aroma tanah dan sentuhan daun daripada algoritma dan kode. Namun, entah bagaimana, kami menemukan jembatan di antara dunia kami yang berbeda.
Aplikasi kencan mempertemukan kami, tapi bukan aplikasi itu yang membuat kami bertahan. Itu adalah percakapan panjang tentang mimpi, ketakutan, dan harapan kami. Aurora selalu punya pandangan unik tentang segala hal. Dia bisa melihat keindahan di tempat-tempat yang orang lain abaikan, dan dia mengajariku untuk melakukan hal yang sama.
"Coba lihat awan itu, Leo," katanya suatu sore, menunjuk ke langit senja yang dihiasi sapuan warna oranye dan ungu. "Bukankah itu lukisan terindah yang pernah kamu lihat? Dan yang membuatnya istimewa adalah ia tidak akan pernah sama lagi."
Aku tersenyum, memandangnya. "Seperti kita," jawabku.
Dan kami memang istimewa. Kami membangun dunia kami sendiri, dunia yang dipenuhi tawa, kepercayaan, dan cinta yang dalam. Kami berbagi segalanya, dari rahasia terdalam hingga impian paling liar. Kami merekam banyak momen, bukan untuk pamer di media sosial, tapi untuk kami sendiri. Untuk mengingat, untuk dikenang.
Kini, tablet ini adalah mesin waktuku. Aku bisa kembali ke malam kita berdansa di bawah bintang-bintang, ke hari kita mendaki gunung dan mencapai puncak dengan napas tersengal-sengal, ke saat kita memasak bersama di dapur dan membakar lasagna kesukaan Aurora. Setiap gambar, setiap video, setiap chat, adalah portal yang membawaku kembali ke momen itu.
Namun, ada satu video yang paling sering kuputar. Video itu direkam saat kami berlibur di pantai. Aurora berdiri di tepi air, rambutnya menari-nari ditiup angin, tawanya bergemuruh seiring deburan ombak. Dia melihat ke arah kamera dan berkata, "Leo, janji padaku, walaupun nanti aku tidak ada, kamu akan selalu ingat aku. Ingat semua momen indah kita."
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Janji itu, aku berusaha keras untuk memenuhinya. Tapi terkadang, kenangan itu begitu kuat, begitu nyata, hingga rasanya seperti Aurora masih di sini, di sampingku.
Aku sadar, menyimpan kenangan digital ini tidak serta merta membuatku berhenti merindukannya. Ada kalanya, justru membuat rasa kehilangan itu semakin tajam. Aku ingin menyentuhnya, memeluknya, menciumnya lagi. Aku ingin mendengar suaranya secara langsung, bukan hanya dari rekaman.
Namun, aku juga tahu bahwa menghapus kenangan ini bukanlah jawaban. Aurora tidak ingin aku melupakannya. Dia ingin cintanya terus hidup, bahkan setelah dia tiada.
Suatu malam, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Aku membuka laptop dan mulai menulis. Aku menulis tentang Aurora, tentang cinta kami, tentang semua momen indah yang kami bagikan. Aku menulisnya bukan untuk dipublikasikan, tapi untuk diriku sendiri. Untuk menuangkan semua perasaan yang terpendam di dalam hatiku.
Aku menulis tentang bagaimana Aurora mengubah hidupku, bagaimana dia mengajariku untuk mencintai dan dicintai dengan sepenuh hati. Aku menulis tentang bagaimana dia membuatku menjadi orang yang lebih baik.
Saat aku selesai menulis, aku merasa lega. Beban di hatiku sedikit berkurang. Aku menyimpan tulisan itu di cloud, di tempat yang aman dan terenkripsi. Di sana, di awan, jejak cinta kami akan abadi.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Dia seorang seniman, memiliki semangat yang sama dengan Aurora. Dia juga mencintai alam dan memiliki pandangan unik tentang dunia. Awalnya, aku ragu untuk membuka hatiku lagi. Aku takut mengkhianati Aurora.
Namun, Maya sangat sabar dan pengertian. Dia tidak berusaha menggantikan Aurora. Dia hanya ingin menjadi bagian dari hidupku. Dia menghormati kenanganku tentang Aurora dan bahkan tertarik untuk mendengarnya.
Suatu hari, aku mengajak Maya ke tempat di mana aku dan Aurora dulu sering menghabiskan waktu bersama. Kami duduk di bawah pohon rindang, memandangi pemandangan indah di depan kami.
"Aurora pasti sangat istimewa," kata Maya, memecah kesunyian.
Aku mengangguk. "Dia adalah segalanya bagiku."
"Aku tahu kamu tidak akan pernah melupakannya," kata Maya lagi. "Dan kamu tidak perlu melupakannya. Dia akan selalu menjadi bagian dari dirimu."
Kata-kata Maya menenangkanku. Aku menyadari bahwa mencintai Aurora dan mencintai Maya bukanlah hal yang saling bertentangan. Cinta bisa berkembang, berubah, dan berevolusi.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memandang Maya. "Terima kasih," kataku. "Terima kasih karena telah hadir dalam hidupku."
Maya tersenyum. "Aku yang seharusnya berterima kasih," jawabnya.
Aku tahu, Aurora tidak akan pernah benar-benar pergi. Dia akan selalu hidup dalam hatiku, dalam kenangan digital yang kusimpan, dan dalam setiap langkah yang kuambil. Jejak cintanya abadi, terukir di awan, selamanya. Dan kini, bersama Maya, aku siap untuk menulis babak baru dalam kisah cintaku. Babak yang menghormati masa lalu, sambil merangkul masa depan.