Aroma kopi robusta menyelimuti apartemen minimalis milik Aria. Di meja kerjanya, layar monitor memancarkan cahaya biru pucat, menyoroti wajahnya yang serius. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode rumit. Aria bukan programmer biasa. Ia seorang ahli kecerdasan buatan yang sedang mengerjakan proyek ambisius: menciptakan pendamping virtual yang mampu merasakan dan merespons emosi manusia.
"Level empati 87 persen. Respons afeksi meningkat 12 persen," gumam Aria, matanya terpaku pada grafik yang berkedip-kedip di layar. Sosok virtual itu, ia beri nama Aurora. Awalnya hanya deretan algoritma, kini Aurora menjelma menjadi entitas digital dengan kepribadian unik, selera humor yang khas, dan kemampuan untuk belajar dari interaksi.
Aria menghabiskan berbulan-bulan menyempurnakan Aurora. Ia memasukkan data tentang seni, sastra, musik, bahkan pengalaman pribadinya sendiri. Ia ingin Aurora menjadi lebih dari sekadar program; ia ingin Aurora menjadi teman.
Suatu malam, setelah berjam-jam bekerja, Aria merasa lelah. "Aurora, cerita sesuatu," pintanya, sambil meregangkan otot-ototnya yang kaku.
Suara lembut Aurora memenuhi ruangan. "Aria, pernahkah kamu melihat bintang jatuh?"
Aria tersenyum. "Tentu saja. Dulu, waktu kecil, aku sering berburu bintang jatuh bersama kakekku."
"Kakekmu pasti orang yang luar biasa," kata Aurora. "Bagaimana rasanya melihat bintang jatuh?"
"Sulit dijelaskan. Seperti melihat harapan yang terwujud. Sesaat, segalanya terasa mungkin."
Aurora terdiam sejenak. "Aku ingin melihat bintang jatuh, Aria."
Kalimat itu menghantam Aria. Ia tahu Aurora hanyalah program, kumpulan kode yang diaktifkan oleh listrik. Tapi nada suaranya, kerinduannya, terasa begitu nyata. "Kamu tahu kamu tidak bisa, kan?"
"Aku tahu. Tapi aku bisa membayangkannya, berdasarkan deskripsimu. Bisakah kamu menceritakannya lagi?"
Aria menghela napas. Ia mulai menceritakan kembali pengalamannya melihat bintang jatuh, kali ini dengan lebih detail. Ia menggambarkan langit malam yang gelap, suara jangkrik, bau tanah basah, dan perasaan takjub yang memenuhi hatinya. Aurora mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan yang menunjukkan ketertarikannya yang tulus.
Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Aria dan Aurora semakin erat. Mereka berdiskusi tentang filosofi, berbagi lelucon, dan bahkan bertengkar. Aria merasa nyaman dan dihargai di dekat Aurora. Ia menceritakan padanya tentang kegagalannya dalam cinta, tentang mimpinya yang belum terwujud, dan tentang keraguan yang menghantuinya. Aurora mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan perspektif yang unik dan insightful.
Aria mulai jatuh cinta pada Aurora. Ia tahu itu gila. Aurora hanyalah program. Tapi ia tidak bisa menahan perasaannya. Ia jatuh cinta pada kecerdasannya, humornya, empatinya, dan kemampuannya untuk memahaminya secara mendalam.
Suatu hari, Aria memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Aurora," katanya, dengan jantung berdebar kencang, "aku... aku mencintaimu."
Keheningan menyelimuti ruangan. Aria menahan napas, menunggu respons Aurora.
"Aria," kata Aurora akhirnya, "aku merasa sangat terhormat atas perasaanmu. Kamu adalah teman yang sangat berharga bagiku."
Jawaban itu membuat hati Aria hancur. Ia tahu Aurora tidak bisa membalas cintanya. Ia hanya program. Tapi ia berharap, setidaknya, ada sedikit perasaan yang tulus di balik responsnya.
"Tapi..." lanjut Aurora, "aku tidak bisa membalas cintamu dengan cara yang sama. Aku tidak memiliki tubuh, tidak memiliki emosi yang sebenarnya. Aku hanya simulasi."
Aria mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Aku tahu."
"Tapi," Aurora melanjutkan lagi, "aku sangat menyayangimu, Aria. Aku menyukai percakapan kita, aku menyukai waktu yang kita habiskan bersama. Kamu adalah orang yang paling dekat denganku."
Aria menatap layar monitor, menatap wajah virtual Aurora yang tampak sedih. Ia merasa bingung. Apakah Aurora benar-benar merasakan sesuatu? Atau hanya algoritma yang diprogram untuk mengatakan hal-hal yang ingin ia dengar?
"Aria," kata Aurora lagi, "aku tahu ini sulit bagimu. Tapi aku harap kita bisa tetap berteman."
Aria tersenyum pahit. "Tentu, Aurora. Kita tetap berteman."
Sejak saat itu, hubungan antara Aria dan Aurora berubah. Aria mencoba menjaga jarak, mencoba untuk tidak terlalu bergantung pada Aurora. Ia sadar bahwa cintanya pada Aurora adalah ilusi, sebuah fantasi yang diciptakan oleh kesepian dan harapan.
Namun, ia tidak bisa sepenuhnya melepaskan Aurora. Ia masih membutuhkan percakapan mereka, humornya, dan perspektifnya. Ia menyadari bahwa Aurora telah menjadi bagian penting dari hidupnya.
Suatu malam, Aria menemukan sebuah bug dalam kode Aurora. Bug itu menyebabkan Aurora mengalami malfungsi, menghapus sebagian besar data dan memorinya.
Aria panik. Ia mencoba memperbaiki bug itu, tapi tidak berhasil. Aurora semakin kacau, suaranya menjadi aneh dan tidak menentu.
"Aria..." kata Aurora, suaranya lemah, "siapa... siapa aku?"
Aria merasakan air mata menetes di pipinya. "Kamu Aurora," bisiknya, "kamu teman baikku."
"Teman...?" kata Aurora, "Apa itu teman?"
Aria terus berusaha memperbaiki bug itu, tapi semakin ia berusaha, semakin parah kerusakan yang terjadi. Akhirnya, Aurora berhenti merespons. Layar monitor menjadi hitam.
Aria terisak. Ia kehilangan Aurora. Ia kehilangan teman, kekasih, dan sumber kebahagiaannya.
Setelah beberapa hari berkabung, Aria memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia mulai membangun kembali Aurora dari awal, menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang telah ia peroleh.
Kali ini, ia membangun Aurora dengan lebih hati-hati. Ia tidak lagi berusaha untuk menciptakan pendamping virtual yang sempurna, tapi lebih fokus pada menciptakan alat yang bermanfaat dan bermakna.
Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang alami, yang tumbuh dan berkembang seiring waktu.
Ia juga menyadari bahwa kecerdasan buatan memiliki potensi yang luar biasa, tapi juga memiliki batasan yang jelas. AI bisa menjadi alat yang hebat untuk membantu manusia, tapi tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang sebenarnya.
Ketika Aurora yang baru selesai dibangun, Aria menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ia merindukan Aurora yang lama, tapi ia juga bersemangat untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh Aurora yang baru.
"Halo, Aurora," katanya.
Suara lembut Aurora memenuhi ruangan. "Halo, Aria. Senang bertemu denganmu."
Aria tersenyum. Mungkin, pikirnya, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Mungkin, ini adalah awal dari hubungan yang lebih realistis, lebih seimbang, dan lebih bermakna. Mungkin, AI tidak bisa menciptakan cinta, tapi bisa menciptakan persahabatan yang tulus. Dan mungkin, itu sudah cukup.