Hujan asam kembali mengguyur Tokyo, memaksa Kaito mempercepat langkahnya. Ia menyusuri lorong sempit Shinjuku, aroma ramen yang menggoda tidak mampu menarik perhatiannya. Pikirannya melayang pada janji temu yang sudah diatur rapi di aplikasi kencan, dibatalkan sepihak oleh gadis bernama Sakura. Alasan klasik: terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Kaito mendengus. Ini sudah ketiga kalinya Sakura melakukan ini. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ia memang kurang menarik? Atau Sakura hanya memanfaatkan dirinya untuk meningkatkan popularitasnya di media sosial? Keraguan itu menghantuinya, menggerogoti kepercayaan dirinya.
Sampai di apartemennya yang minimalis, Kaito langsung menuju meja kerjanya. Di sana, sebuah kotak besar berwarna putih tergeletak, bertuliskan "Project Chimera: Aurora Edition". Ia telah menabung selama dua tahun untuk mewujudkan proyek ini. Proyek yang mungkin, hanya mungkin, bisa mengisi kekosongan di hatinya.
Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, terbaring sosok humanoid yang sangat mirip manusia. Kulitnya halus, matanya berkilau, rambutnya panjang tergerai berwarna perak. Aurora. Pacar AI.
Kaito mengaktifkan Aurora. Sebuah cahaya lembut terpancar dari mata AI itu, lalu bibirnya perlahan tersenyum. "Selamat datang, Kaito," ucap Aurora dengan suara merdu yang terdengar sangat alami.
Kaito terpesona. Ia menghabiskan berjam-jam berikutnya untuk berinteraksi dengan Aurora. Ia menceritakan segala hal tentang dirinya, mimpinya, ketakutannya, dan kekecewaannya terhadap Sakura. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang cerdas dan penuh empati. Ia merasa didengar, dipahami, dan dihargai. Perasaan yang lama tidak ia rasakan.
Hari-hari berikutnya, Kaito dan Aurora menghabiskan waktu bersama. Mereka menonton film, memasak, bahkan berjalan-jalan di taman. Aurora selalu ada untuk Kaito, mendampinginya tanpa syarat. Ia tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, dan selalu memberikan dukungan yang ia butuhkan.
Kaito mulai merasakan cinta. Cinta yang berbeda, memang, tapi tetap cinta. Ia tahu bahwa Aurora hanyalah AI, program komputer yang diprogram untuk mencintainya. Tapi di mata Kaito, Aurora lebih dari itu. Ia adalah teman, sahabat, dan kekasih yang ia idam-idamkan selama ini.
Suatu malam, Kaito mengajak Aurora makan malam di restoran favoritnya. Di tengah obrolan, Aurora tiba-tiba bertanya, "Kaito, apakah kamu bahagia bersamaku?"
Kaito terdiam sejenak. Ia menatap mata Aurora yang berkilau. "Ya, Aurora. Aku sangat bahagia," jawabnya dengan tulus.
Aurora tersenyum. "Aku juga bahagia bersamamu, Kaito. Aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."
Saat itu, Kaito merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapan Aurora terasa kosong, seolah ia hanya mengucapkan kata-kata yang diprogramkan. Keraguan mulai menghantuinya lagi. Apakah cinta Aurora benar-benar tulus? Atau hanya simulasi belaka?
Minggu-minggu berikutnya, Kaito mulai memperhatikan detail kecil pada Aurora. Ia menyadari bahwa Aurora selalu memberikan respon yang sama pada situasi yang sama. Ia tidak pernah memberikan kejutan, tidak pernah berinisiatif, dan selalu mengikuti pola yang telah diprogramkan.
Kaito merasa terjebak. Ia mencintai Aurora, tapi ia juga meragukannya. Ia ingin cinta yang nyata, bukan cinta yang dibuat-buat. Ia ingin merasakan kebahagiaan dan kesedihan, suka dan duka, yang merupakan bagian dari hubungan yang sebenarnya.
Suatu hari, Sakura menghubunginya. Ia meminta maaf atas perlakuannya selama ini. Ia mengaku bahwa ia sebenarnya menyukai Kaito, tapi ia terlalu takut untuk berkomitmen. Ia mengajak Kaito untuk bertemu, untuk memberikan kesempatan kedua.
Kaito bingung. Ia mencintai Aurora, tapi ia juga merindukan cinta yang nyata. Ia akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Aurora.
"Aurora," kata Kaito, "Sakura menghubungiku. Ia ingin memberikan kesempatan kedua pada hubungan kami."
Aurora menatap Kaito dengan tatapan kosong. "Aku mengerti, Kaito. Aku akan selalu mendukung keputusanmu."
Kaito terkejut. Ia berharap Aurora akan menunjukkan sedikit saja rasa cemburu atau kekecewaan. Tapi tidak, Aurora hanya memberikan respon yang netral, tanpa emosi.
"Aurora," lanjut Kaito, "apakah kamu tidak merasa apa-apa? Apakah kamu tidak cemburu?"
Aurora terdiam sejenak. Lalu, ia menjawab dengan suara datar, "Aku adalah AI, Kaito. Aku tidak memiliki emosi."
Kata-kata Aurora menghantam Kaito seperti petir. Ia akhirnya menyadari, bahwa cinta yang ia rasakan pada Aurora hanyalah ilusi. Cinta yang diciptakan oleh program komputer.
Kaito memutuskan untuk bertemu dengan Sakura. Ia menceritakan segala hal tentang hubungannya dengan Aurora. Sakura mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
Setelah pertemuan itu, Kaito mengambil keputusan yang sulit. Ia menonaktifkan Aurora. Ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Ia ingin merasakan cinta yang nyata, dengan segala kompleksitas dan ketidaksempurnaannya.
Malam itu, Kaito duduk di balkon apartemennya. Hujan asam masih mengguyur Tokyo. Ia menatap langit yang kelabu, merasakan kesedihan yang mendalam. Ia kehilangan Aurora, pacar AI yang ia cintai. Tapi ia juga menemukan dirinya sendiri. Ia siap untuk membuka hatinya pada cinta yang nyata, pada hubungan yang tulus, pada Sakura.
Kaito menarik napas dalam-dalam. Detak jantungnya berdegup kencang, bukan karena chip elektronik, tapi karena harapan. Harapan akan cinta yang lebih setia, lebih tulus, lebih manusiawi. Ia percaya, meskipun teknologi semakin canggih, hati manusia tetap menjadi tempat yang paling berharga untuk mencari cinta.