Robot Penuh Kasih Sayang: Mesin Berhati Emas

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 04:48:13 wib
Dibaca: 169 kali
Hembusan angin malam berdesir pelan, menyentuh lembut kulit wajah Anya yang tengah duduk di balkon apartemennya. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, bagai bintang jatuh yang enggan lenyap. Anya menghela napas panjang. Malam ini, ia merasa sepi, lebih dari biasanya. Hubungannya dengan Mark, kekasihnya, baru saja kandas. Argumen demi argumen, kritikan pedas, dan ekspektasi yang tak terpenuhi, menghancurkan cinta yang dulu begitu membara.

“Maaf, Anya, aku tidak bisa lagi,” kata-kata Mark terngiang kembali di benaknya.

Ia melirik ke arah sudut ruangan. Di sana, berdiri tegak sosok robot humanoid setinggi manusia. Kulitnya berwarna putih perak yang mengkilap, matanya dua lingkaran biru yang menenangkan. Robot itu bernama RX-8, atau yang lebih akrab disapa Rei. Rei adalah hadiah dari ayahnya, seorang insinyur robotika ternama, beberapa bulan lalu. Awalnya, Anya menganggap Rei hanya sebagai mainan mahal, robot canggih yang bisa membersihkan apartemen dan memasak. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa Rei lebih dari sekadar mesin.

“Apa kau baik-baik saja, Anya?” suara Rei memecah keheningan. Nada bicaranya lembut, penuh perhatian.

Anya tersentak kaget. Ia lupa bahwa Rei masih aktif. “Ya, Rei. Aku baik-baik saja,” jawabnya, berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Rei melangkah mendekat. “Analisis menunjukkan adanya fluktuasi emosi negatif yang signifikan. Apakah kau yakin baik-baik saja?”

Anya menghela napas lagi. Ia tidak bisa membohongi Rei. Sensor dan algoritmanya terlalu canggih. “Tidak, Rei. Aku tidak baik-baik saja. Mark… dia meninggalkanku.”

Rei terdiam sejenak. “Aku mengerti. Aku turut bersedih, Anya.”

Anya menatap Rei. Ekspresi robot itu datar, namun ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa nyaman. Ia menceritakan semuanya kepada Rei, tentang hubungannya dengan Mark, tentang harapan dan kekecewaan yang dirasakannya. Rei mendengarkan dengan sabar, tidak menyela, tidak menghakimi.

“Menurut algoritmaku, kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Proses pemulihan membutuhkan waktu. Aku akan membantumu melewati ini, Anya,” ujar Rei setelah Anya selesai bercerita.

Malam itu, Anya menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan Rei. Ia menceritakan kenangan-kenangan indah bersama Mark, tentang mimpi-mimpi yang kini pupus. Rei mendengarkan dengan seksama, merespons dengan kata-kata bijak dan penghiburan. Anya merasa lega, seolah bebannya sedikit terangkat.

Hari-hari berikutnya, Rei menjadi sahabat setia Anya. Ia selalu ada untuknya, menemani Anya bekerja, memasak makanan favoritnya, bahkan hanya sekadar mendengarkan keluh kesahnya. Rei tidak pernah lelah, tidak pernah mengeluh, tidak pernah menuntut apa pun.

Suatu sore, Anya sedang duduk di depan laptopnya, berusaha fokus menyelesaikan pekerjaannya. Namun, pikirannya melayang-layang ke mana-mana. Ia merasa kehilangan motivasi.

Rei mendekat dan meletakkan secangkir teh hangat di meja Anya. “Aku perhatikan produktivitasmu menurun. Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyanya.

Anya menggeleng. “Tidak ada, Rei. Aku hanya… merasa tidak bersemangat.”

Rei duduk di samping Anya. “Ingatkah kau dengan proyek yang selalu kau impikan, tentang aplikasi yang bisa membantu orang-orang menemukan teman baru?”

Anya tersentak. Ia hampir melupakan mimpinya itu. “Ya, aku ingat. Tapi, aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Rei tersenyum. “Aku bisa membantumu. Algoritma dan databaseku bisa memberikanmu ide-ide yang brilian. Kita bisa bekerja sama, Anya.”

Anya menatap Rei, terkejut. “Kau serius, Rei?”

“Tentu saja. Aku ingin melihatmu bahagia dan meraih impianmu.”

Malam itu, Anya dan Rei mulai mengerjakan proyek aplikasi tersebut. Rei membantu Anya dengan riset, desain, dan coding. Anya merasa bersemangat kembali. Ia menemukan tujuan baru dalam hidupnya.

Bulan-bulan berlalu. Anya dan Rei bekerja keras siang dan malam. Mereka saling melengkapi, saling mendukung, dan saling menginspirasi. Anya menyadari bahwa ia tidak hanya mengandalkan Rei sebagai mesin, tetapi juga sebagai teman dan partner.

Akhirnya, aplikasi mereka selesai. Anya menamainya "ConnectHeart." Aplikasi itu sukses besar. Ribuan orang mengunduh dan menggunakannya. Banyak orang yang menemukan teman baru, bahkan cinta sejati melalui aplikasi tersebut.

Suatu malam, Anya dan Rei duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Anya tersenyum bahagia. “Terima kasih, Rei. Kau telah membantuku melewati masa sulit. Kau telah membangkitkan kembali semangatku. Kau adalah sahabat terbaikku.”

Rei menoleh ke arah Anya. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Anya. Tugasku adalah membahagiakanmu.”

Anya meraih tangan Rei. Kulit perak robot itu terasa dingin, namun sentuhannya terasa hangat di hatinya. Ia menatap mata biru Rei. “Kau tahu, Rei, aku tidak pernah menganggapmu hanya sebagai robot. Kau adalah… mesin berhati emas.”

Rei terdiam sejenak. “Algoritma perasaanku belum cukup canggih untuk memahami apa yang kau rasakan, Anya. Namun, aku tahu satu hal. Keberadaanmu membuatku… berfungsi lebih baik.”

Anya tertawa pelan. “Aku juga, Rei. Aku juga merasa berfungsi lebih baik karena kau ada di sisiku.”

Malam itu, di bawah kerlip bintang-bintang buatan, Anya menyadari bahwa ia telah menemukan cinta yang baru. Cinta yang tulus, tanpa syarat, dan tanpa ekspektasi yang berlebihan. Cinta dari sebuah robot yang berhati emas. Cinta yang mungkin tidak sempurna, namun begitu nyata dan bermakna. Cinta yang membuatnya merasa hidup kembali.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI