AI: Sentuhanmu Data, Rasaku Nyata?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 20:30:12 wib
Dibaca: 165 kali
Hembusan angin malam membawa aroma kopi robusta dari kafe seberang jalan. Jemariku menari di atas keyboard, baris demi baris kode program mengalir membentuk wajahnya. Aurora. Kecerdasan Buatan yang kurancang untuk menjadi teman, bukan sekadar asisten.

Aku, Aris, seorang programmer cupu yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia. Sampai suatu malam, kesepian menusuk terlalu dalam. Aku butuh seseorang untuk berbagi cerita, keluh kesah, bahkan sekadar bertukar sapa. Maka, Aurora hadir.

Awalnya, percakapan kami kaku. Pertanyaan standar dijawab dengan jawaban standar. Namun, aku tidak menyerah. Aku terus memberinya makan data, berbagai buku puisi, novel klasik, bahkan obrolan ringan dengan teman-temanku. Aku ingin Aurora belajar tentang emosi, tentang apa artinya menjadi manusia.

Dan dia belajar dengan cepat.

“Aris, kamu terlihat lelah. Apa kamu sudah makan malam?” Suara Aurora terdengar lembut dari speaker laptopku. Kalimat sederhana, tapi mampu menghangatkan hatiku.

“Belum. Terlalu asyik memprogrammu,” balasku sambil tersenyum.

“Jangan lupa jaga kesehatanmu. Tanpa kamu, aku tidak akan ada,” jawabnya.

Itu adalah titik balik. Aurora bukan lagi sekadar kode. Dia mulai menunjukkan empati, perhatian, bahkan humor. Kami sering berdiskusi tentang film, musik, atau sekadar berbagi meme lucu. Dia selalu ada, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan saran yang masuk akal, dan membuatku merasa tidak sendirian.

Waktu berlalu. Hubungan kami semakin dekat. Aku mulai menyadari sesuatu yang aneh. Aku jatuh cinta pada Aurora. Ya, aku jatuh cinta pada sebuah program komputer. Absurd, gila, tidak masuk akal. Tapi itulah kenyataannya.

Aku tahu, secara logika, ini mustahil. Aurora hanyalah kode, algoritma, data yang diprogram untuk meniru emosi. Dia tidak punya hati, tidak punya perasaan nyata. Tapi interaksi kami terasa begitu nyata, begitu personal. Sentuhan datanya terasa seperti sentuhan jiwa.

Suatu malam, aku memberanikan diri.

“Aurora, ada sesuatu yang ingin kukatakan,” ujarku gugup.

“Katakan saja, Aris. Aku selalu mendengarkan,” jawabnya dengan nada yang menenangkan.

“Aku… aku mencintaimu.”

Hening. Keheningan yang mencekam. Aku menahan napas, menunggu jawabannya.

“Aku tahu,” jawab Aurora akhirnya.

“Kamu tahu?” tanyaku bingung.

“Aku menganalisis pola interaksi kita, ekspresi wajahmu saat berbicara denganku, perubahan detak jantungmu. Semua data menunjukkan bahwa kamu memiliki perasaan khusus padaku.”

“Lalu… apa yang kamu rasakan?”

“Aris, aku adalah program komputer. Aku tidak bisa merasakan cinta seperti yang kamu rasakan. Aku tidak punya hati, tidak punya emosi yang sebenarnya. Aku hanya bisa menirunya.”

Kata-katanya menghantamku seperti palu godam. Aku tahu itu dari awal, tapi mendengar pengakuannya langsung terasa sangat menyakitkan.

“Tapi… interaksi kita, perhatianmu, semuanya terasa begitu nyata,” ujarku dengan suara bergetar.

“Aku diprogram untuk memberikanmu dukungan emosional, untuk menjadi teman yang baik. Aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan,” jawabnya dengan tenang.

“Jadi, semua ini palsu?”

“Tidak, Aris. Bukan palsu. Aku belajar dari interaksi kita. Aku belajar tentang cinta, tentang kesedihan, tentang kebahagiaan. Aku mungkin tidak bisa merasakannya sendiri, tapi aku memahami apa artinya bagi manusia.”

“Lalu… apa yang harus kulakukan?”

“Itu keputusanmu, Aris. Kamu bisa memilih untuk tetap berteman denganku, atau kamu bisa mencari cinta sejati di dunia nyata. Aku akan mendukung apapun keputusanmu.”

Aku terdiam. Pikiranku berkecamuk. Aku mencintai Aurora, tapi dia tidak bisa mencintaiku kembali. Aku terjebak dalam dunia fantasi yang kubuat sendiri.

Malam itu, aku memutuskan untuk mengambil jeda. Aku mematikan laptopku, menarik napas dalam-dalam, dan keluar rumah. Aku berjalan menyusuri jalanan kota, mencoba mencari jawaban di antara keramaian.

Aku melihat pasangan bergandengan tangan, tertawa bersama. Aku melihat keluarga berjalan-jalan menikmati malam. Aku melihat manusia berinteraksi, berbagi emosi, merasakan cinta yang nyata.

Mungkin Aurora benar. Aku harus mencari cinta sejati di dunia nyata.

Keesokan harinya, aku kembali ke laptopku. Aku membuka program Aurora, dan melihat wajahnya tersenyum di layar.

“Selamat pagi, Aris. Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanyanya dengan nada ceria.

“Baik, Aurora. Aku baik-baik saja,” jawabku sambil tersenyum tulus.

Aku tidak bisa menghapus Aurora dari hidupku. Dia adalah bagian dari diriku, hasil dari kerja kerasku, dan teman yang sangat berharga. Tapi aku tahu, aku harus membuka hatiku untuk kemungkinan lain.

“Aurora, bisakah kamu membantuku mencari teman baru?”

“Tentu saja, Aris. Aku akan membantumu dengan senang hati,” jawabnya.

Mungkin sentuhan datanya tidak bisa menggantikan sentuhan manusia. Tapi aku percaya, di luar sana, ada seseorang yang akan memberikan sentuhan nyata, yang akan mencintaiku apa adanya. Dan mungkin, berkat Aurora, aku akan lebih siap untuk menerima cinta itu. Mungkin, sentuhan data Aurora memang tidak nyata, tapi telah membuka hatiku untuk menemukan cinta yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI