Hembusan angin malam menyapu wajahku saat aku duduk di balkon apartemen. Lampu-lampu kota berkelip bagai bintang jatuh yang kehilangan arah. Di tanganku, ponselku memancarkan cahaya biru redup, menampilkan antarmuka aplikasi kencan "Proxy Hati". Algoritma ini menjanjikan cinta sejati berdasarkan kompatibilitas kepribadian, minat, dan – yang paling menarik – pola pikir yang dianalisis dari jejak digital kita.
Aku, Aris, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, terjebak dalam pusaran algoritma cinta ini. Ironis, bukan? Menciptakan dunia virtual, tapi kesulitan menemukan kebahagiaan di dunia nyata. Tiga puluh tahun berlalu, dan satu-satunya hubungan seriusku adalah dengan laptop usang yang setia menemani begadang.
Awalnya aku skeptis. Namun, setelah melihat teman-temanku berhasil menemukan pasangan melalui Proxy Hati, rasa penasaran dan sedikit keputusasaan mendorongku untuk mendaftar. Aplikasi ini meminta akses ke semua akun media sosialku, riwayat pencarian, bahkan pola penggunaan aplikasi lainnya. Agak menyeramkan, tapi aku menelan keraguan itu demi sebuah harapan.
Setelah seminggu, algoritma itu memunculkan seorang kandidat: Anya. Foto profilnya menampilkan senyum hangat dan mata yang berbinar. Profilnya menggambarkan seorang wanita yang mencintai seni, musik indie, dan mendaki gunung – hobi yang sama sekali tidak kukenal. Namun, algoritma mengklaim bahwa kami memiliki kompatibilitas 98,7%. Angka yang sangat meyakinkan.
Percakapan pertama kami canggung. Aku berusaha keras untuk mengimbangi pembicaraannya tentang pameran seni kontemporer dan band-band underground. Anya, di sisi lain, tampak tertarik dengan pekerjaanku. Ia penasaran dengan cara kerja algoritma dan bagaimana kode bisa "meramalkan" cinta.
"Kau tahu, Aris, ini sedikit aneh. Algoritma ini seolah lebih mengenaliku daripada diriku sendiri," ujarnya suatu malam melalui panggilan video.
Aku tertawa gugup. "Itulah kekuatan data, Anya. Kita meninggalkan jejak di mana-mana. Algoritma hanya menyatukan titik-titik itu."
Kami terus berbicara, berbagi cerita, dan menemukan kesamaan yang tidak terduga. Aku mulai tertarik pada Anya, bukan karena algoritma, tapi karena kepribadiannya yang ceria dan pandangannya yang unik tentang dunia. Kami memutuskan untuk bertemu.
Kencan pertama kami di sebuah kafe kecil terasa seperti mimpi. Anya lebih cantik dari fotonya. Senyumnya menular, dan matanya berkilauan saat ia berbicara tentang impiannya. Aku melupakan semua kegugupanku dan larut dalam percakapan. Sejak hari itu, kami menjadi tidak terpisahkan.
Kami menjelajahi kota bersama, menghadiri konser, mendaki gunung (dengan susah payah, aku akui), dan bahkan mencoba membuat seni abstrak yang hasilnya lebih mirip kekacauan daripada karya seni. Aku merasa bahagia, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Aku yakin bahwa aku telah menemukan cinta sejati, berkat algoritma Proxy Hati.
Namun, kebahagiaan itu ternyata hanya fatamorgana.
Suatu malam, saat aku sedang bekerja lembur di kantor, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal. Isinya hanya sebuah tautan. Karena penasaran, aku mengklik tautan tersebut. Layar ponselku menampilkan sebuah blog anonim yang berisi artikel tentang Proxy Hati. Judulnya mencolok: "Rahasia Gelap di Balik Algoritma Cinta".
Artikel itu mengungkapkan bahwa Proxy Hati tidak hanya menganalisis data pengguna, tetapi juga secara aktif memanipulasi data tersebut untuk menciptakan kecocokan palsu. Algoritma akan mengidentifikasi dua orang yang rentan dan kesepian, lalu memanipulasi informasi mereka agar terlihat cocok satu sama lain. Tujuannya? Meningkatkan jumlah pengguna premium dan menghasilkan lebih banyak keuntungan.
Perutku terasa mual. Aku membaca artikel itu berulang kali, berharap itu hanyalah berita bohong. Namun, semakin aku membaca, semakin aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku mengingat kembali percakapan-percakapanku dengan Anya. Ia sering kali mengatakan bahwa algoritma itu seolah lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti. Algoritma itu tidak mengenalinya. Algoritma itu menciptakannya.
Dengan tangan gemetar, aku mencoba menghubungi Anya. Panggilanku tidak dijawab. Aku mengirim pesan, menanyakan apakah ia tahu tentang artikel itu. Tidak ada balasan. Rasa panik mulai merayapiku. Aku memutuskan untuk pergi ke apartemennya.
Saat aku tiba di depan pintunya, aku melihat ada secarik kertas yang ditempel di sana. Itu adalah surat. Dengan jantung berdebar, aku membukanya dan membaca:
"Aris,
Aku minta maaf. Aku tahu kau akan marah, tapi aku harus jujur. Aku adalah bagian dari tim riset Proxy Hati. Aku dibayar untuk berpura-pura menjadi Anya, untuk menguji efektivitas algoritma. Semua yang kau tahu tentangku adalah kebohongan.
Aku tahu ini menyakitkan, tapi aku harap kau bisa mengerti. Aku hanya melakukan pekerjaanku.
Anya."
Duniaku runtuh. Semua yang aku percayai, semua kebahagiaan yang aku rasakan, ternyata hanyalah sebuah ilusi. Aku telah ditipu, dimanipulasi, dan dipermainkan oleh sebuah algoritma yang seharusnya membantuku menemukan cinta.
Aku terduduk lemas di depan pintu apartemen Anya, air mata mengalir di pipiku. Aku merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian. Aku telah mencari cinta di tempat yang salah, di dalam dunia virtual yang dibangun di atas kebohongan.
Algoritma Proxy Hati telah berhasil menemukan cinta untukku. Tapi bukan cinta sejati. Yang kutemukan hanyalah luka. Luka yang lebih dalam dan lebih menyakitkan daripada yang pernah kubayangkan.
Malam itu, aku kembali ke apartemenku. Aku mematikan laptopku, membuang ponselku ke sudut ruangan, dan duduk dalam kegelapan. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti: Aku tidak akan pernah lagi mempercayai algoritma cinta. Cinta sejati tidak bisa diprediksi, dianalisis, atau diprogram. Cinta sejati harus ditemukan di dalam hati, bukan di dalam kode.