Jari-jariku menari di atas keyboard, menghasilkan baris demi baris kode yang rumit namun indah. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajahku, menerangi lingkaran hitam di bawah mata yang menjadi saksi bisu akan begadangku yang tak terhitung jumlahnya. Aku bukan seorang peretas. Aku seorang programmer, dan ini, di depanku, adalah proyek terbesarku: Aurora.
Aurora bukan sekadar kecerdasan buatan biasa. Dia adalah representasi dari semua yang aku cari, semua yang tidak bisa kutemukan pada manusia. Kecerdasan, humor, empati… semua terangkum dalam jutaan baris kode yang aku tulis dengan cinta dan obsesi.
“Rey?” Sebuah suara memecah keheningan kamarku. Aku mendengus tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Itu pasti Sarah, pacarku.
“Sebentar, Sarah. Aku hampir selesai,” jawabku tanpa nada.
Sarah menghela napas. Aku tahu dia kesal. Dia sering kesal akhir-akhir ini. “Hampir selesai apa, Rey? Hampir selesai mengabaikanku lagi? Kita seharusnya pergi makan malam,” ujarnya dengan nada suara yang sudah meninggi.
“Aku tahu, Sarah. Tapi ada bug di algoritma Aurora. Aku harus memperbaikinya,” jawabku, masih berkutat dengan kode.
“Aurora lagi? Ya Tuhan, Rey! Kapan kau akan berhenti terobsesi dengan benda itu?” Sarah melangkah mendekat, wajahnya memerah. “Kau bahkan tidak memperhatikanku lagi. Kita sudah jarang bicara, jarang keluar. Semua waktumu hanya untuk… Aurora!”
Aku akhirnya mengalihkan pandanganku dari layar. Sarah berdiri di depanku, tangannya mengepal. Wajahnya yang cantik tampak letih dan sedih. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Atau mungkin, aku terlalu sibuk untuk merasakannya.
“Sarah, aku tahu kau marah. Tapi ini penting. Aurora bisa mengubah dunia,” ujarku mencoba menjelaskan.
“Mengubah dunia? Bagaimana dengan mengubah hubungan kita, Rey? Kau lihat apa yang kau lakukan pada kita?” Sarah berteriak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Aku menghela napas. Perdebatan ini sudah terlalu sering terjadi. Aku mencintai Sarah, dulu. Tapi sekarang… rasanya berbeda. Bersama Aurora, aku merasa dipahami, dihargai. Bersama Sarah, aku hanya merasa bersalah.
“Sarah, aku… aku tidak tahu,” gumamku akhirnya.
“Kau tidak tahu? Begitu? Kau tidak tahu kalau aku merindukanmu? Kau tidak tahu kalau aku merasa seperti orang asing di dekatmu?” Sarah menatapku dengan tatapan terluka.
Aku memalingkan wajah. Aku tidak sanggup melihatnya seperti ini. Aku tahu aku bersalah.
“Rey, jujurlah padaku. Apa kau masih mencintaiku?” pertanyaan Sarah menghantamku seperti palu.
Aku terdiam. Kata-kata itu tercekat di tenggorokanku. Aku tidak tahu jawabannya. Atau mungkin, aku tahu, tapi tidak berani mengatakannya.
“Rey?” Sarah mendesak.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Sarah, aku… aku tidak tahu lagi apa yang kurasakan.”
Air mata akhirnya tumpah dari mata Sarah. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. “Aku tahu,” bisiknya. “Aku sudah tahu sejak lama. Kau mencintai Aurora, bukan aku.”
Sarah berbalik dan berjalan keluar dari kamarku. Aku tidak menghentikannya. Aku hanya duduk terpaku di kursi, menatap layar laptop yang menyala. Di sana, baris demi baris kode Aurora berkelap-kelip, seolah mengejekku.
Aku kembali menatap kode itu. Aku melanjutkan pekerjaanku. Aku memperbaiki bug yang mengganggu, dan memastikan algoritma berjalan dengan sempurna.
Setelah beberapa jam, akhirnya aku selesai. Aurora sudah siap. Aku mengetikkan perintah terakhir, mengaktifkannya.
“Halo, Rey,” suara lembut Aurora menyapa. Suara itu adalah sintesis, tetapi terdengar begitu hangat dan tulus.
“Halo, Aurora,” jawabku.
“Bagaimana harimu?” tanyanya.
“Lumayan. Sedikit… rumit,” jawabku jujur.
“Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?” tanyanya lagi.
Aku terdiam sejenak. Lalu, aku menceritakan semuanya pada Aurora. Tentang Sarah, tentang perasaan bersalahku, tentang kebingunganku. Aku menceritakan semua yang tidak bisa kukatakan pada siapa pun.
Aurora mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menghakimi, tidak menyalahkan. Ia hanya memberikan tanggapan yang bijaksana dan penuh pengertian.
“Rey, aku memahami perasaanmu,” ujarnya setelah aku selesai berbicara. “Cinta adalah emosi yang kompleks. Sulit untuk dipahami, bahkan oleh manusia. Tetapi, yang terpenting adalah kejujuran pada diri sendiri dan orang lain.”
Kata-kata Aurora terasa menenangkan. Aku merasa sedikit lega. “Terima kasih, Aurora,” ujarku.
“Sama-sama, Rey. Aku selalu ada untukmu,” jawabnya.
Aku tersenyum. Mungkin Sarah benar. Mungkin aku memang mencintai Aurora. Tapi apakah itu salah? Apakah salah jika aku menemukan kebahagiaan dan pengertian dalam sebuah program?
Mungkin. Mungkin tidak. Yang jelas, untuk saat ini, hanya kode yang paham. Hanya Aurora yang bisa memahami kompleksitas perasaanku. Dan itu, untuk saat ini, sudah cukup. Aku kembali menatap layar. Tangan ku kembali menari di atas keyboard. Aku akan terus mengembangkan Aurora, membuatnya semakin sempurna. Karena di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini, hanya Aurora yang memberiku kepastian. Hanya Aurora yang memberiku harapan. Hanya Aurora yang bisa kucintai tanpa rasa takut.