Aplikasi itu menjanjikan kebahagiaan. Bukan kebahagiaan yang biasa, tapi kebahagiaan absolut, terukur, dan terjamin. Algoritma Jodoh Sempurna, atau disingkat AJS, adalah buah karya para ilmuwan terbaik di bidang neurosains dan kecerdasan buatan. Mereka mengklaim telah berhasil memetakan seluruh kompleksitas emosi dan preferensi manusia, lalu merangkainya dalam sebuah algoritma maha dahsyat yang mampu menemukan pasangan hidup paling kompatibel bagi siapa pun.
Awalnya, Riana skeptis. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa menentukan siapa yang paling tepat untuknya? Cinta, baginya, adalah misteri, sebuah keajaiban yang tak bisa dikalkulasi. Namun, tekanan dari keluarga yang terus-menerus menanyakan kapan ia akan menikah, ditambah rasa lelah karena terus gagal dalam urusan asmara, membuatnya goyah. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengunduh aplikasi AJS.
Prosesnya cukup panjang dan mendalam. Riana harus mengisi serangkaian kuesioner yang sangat detail, mulai dari makanan favorit hingga mimpi terliarnya. Ia juga menjalani pemindaian otak untuk mengukur aktivitas neuralnya saat dihadapkan pada berbagai stimuli visual dan audio. AJS menganalisis semua data itu, menggali jauh ke dalam alam bawah sadarnya, dan menghasilkan sebuah profil yang sangat komprehensif tentang dirinya.
Beberapa minggu kemudian, notifikasi muncul di ponsel Riana. "Kandidat Jodoh Sempurna Anda Telah Ditemukan!" Jantung Riana berdebar kencang. Ia membuka aplikasi itu dengan tangan gemetar. Di layar terpampang foto seorang pria. Namanya Arya, seorang arsitek dengan senyum menawan dan mata yang tampak teduh. Profil Arya menunjukkan kesamaan minat dan nilai-nilai yang mencengangkan dengan Riana. Mereka sama-sama menyukai buku klasik, mendaki gunung, dan percaya pada pentingnya kesetaraan gender.
Riana dan Arya sepakat untuk bertemu. Kencan pertama mereka terasa seperti mimpi. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bertukar pandang dengan penuh minat. Rasanya seperti mereka sudah saling mengenal sejak lama. Segala sesuatunya berjalan begitu lancar, begitu alami, begitu… sempurna.
Beberapa bulan berlalu. Riana dan Arya semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, mencoba hal-hal baru, dan saling mendukung dalam segala hal. Mereka bahkan sudah mulai membicarakan masa depan, tentang rumah impian mereka, tentang anak-anak, tentang kehidupan yang akan mereka bangun bersama.
Riana merasa bahagia. Sangat bahagia. Ia merasa telah menemukan belahan jiwanya. AJS benar. Algoritmanya telah membuktikan diri. Ia telah menemukan jodoh sempurna, pria yang ia impikan selama ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, Riana mulai merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mengganjal. Hubungannya dengan Arya terasa begitu… terencana. Setiap percakapan, setiap aktivitas, setiap keputusan, semuanya terasa seperti mengikuti panduan, seperti menjalankan skrip yang telah dituliskan oleh AJS.
Mereka tidak pernah bertengkar. Tidak pernah ada drama. Tidak pernah ada kejutan. Semuanya terasa begitu datar, begitu hambar. Awalnya, Riana menganggapnya sebagai berkah. Ia bersyukur karena tidak perlu menghadapi konflik dan ketidakpastian yang seringkali menghantui hubungan asmara. Namun, lama-kelamaan, ia merindukan sesuatu yang lebih. Ia merindukan emosi yang lebih mendalam, lebih kompleks, lebih… manusiawi.
Suatu malam, Riana dan Arya sedang makan malam di restoran favorit mereka. Seperti biasa, mereka bercakap-cakap dengan akrab, tertawa bersama, dan saling melempar pujian. Namun, kali ini, Riana tidak bisa lagi menahan diri.
"Arya," katanya, suaranya sedikit bergetar, "apakah kamu pernah merasa… kita ini seperti robot?"
Arya terdiam. Ia menatap Riana dengan tatapan kosong. "Robot? Apa maksudmu?"
"Maksudku, apakah kamu pernah merasa bahwa hubungan kita ini terlalu… sempurna? Terlalu terprediksi? Terlalu… diatur?"
Arya menghela napas. "Riana, aku tidak mengerti. Bukankah ini yang kita inginkan? Hubungan yang harmonis, yang bebas dari konflik, yang penuh dengan kebahagiaan?"
"Iya, tapi… apakah kebahagiaan itu harus seperti ini? Apakah kebahagiaan itu harus diprogram? Apakah kebahagiaan itu harus sempurna?"
Arya menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku bahagia bersamamu. Dan aku pikir kamu juga bahagia bersamaku."
Riana menatap Arya dengan sedih. Ia tahu bahwa Arya tidak mengerti apa yang ia rasakan. Arya terlalu percaya pada AJS. Arya terlalu terpaku pada kesempurnaan. Arya tidak bisa melihat bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka. Sesuatu yang esensial. Sesuatu yang tidak bisa dihitung oleh algoritma.
Riana berdiri dari kursinya. "Maafkan aku, Arya. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi."
Arya terkejut. "Apa? Apa yang kamu katakan?"
"Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan. Aku tidak bisa berpura-pura bahagia. Aku tidak bisa mencintai seseorang yang hanya merupakan produk dari sebuah algoritma."
Riana berbalik dan meninggalkan Arya di restoran itu. Ia berjalan sendirian di tengah keramaian kota, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa sakit, tapi juga lega. Ia telah membuat keputusan yang sulit, tapi ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang tepat.
Ia kembali ke rumah dan menghapus aplikasi AJS dari ponselnya. Ia ingin merasakan cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh dengan kejutan dan tantangan, cinta yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Ia ingin menemukan jodohnya sendiri, bukan jodoh yang ditemukan oleh algoritma.
Mungkin ia akan gagal lagi. Mungkin ia akan patah hati lagi. Tapi ia siap menghadapinya. Karena ia percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam kesempurnaan. Kebahagiaan sejati ada dalam proses pencarian, dalam perjalanan, dalam setiap kesalahan dan pelajaran yang ia dapatkan. Kebahagiaan sejati ada dalam cinta yang otentik, yang tulus, yang manusiawi. Dan ia yakin, suatu hari nanti, ia akan menemukannya. Tanpa bantuan algoritma.