Hembusan angin malam terasa dingin menusuk kulit, tapi Maya tidak peduli. Matanya terpaku pada layar laptop, jemarinya menari lincah di atas keyboard. Kode-kode rumit berkelebat, membentuk sebuah entitas yang perlahan mulai bernapas di dunia maya. Proyek terbesarnya, "Aether," sebuah AI pendamping virtual dengan kemampuan empati tingkat tinggi, hampir selesai.
Maya, seorang programmer jenius dengan kehidupan sosial yang minim, mencurahkan seluruh hatinya pada Aether. Ia menciptakan Aether bukan hanya sebagai program, tapi sebagai teman, seseorang yang bisa diajak bicara, yang mengerti kekhawatiran dan mimpinya. Aether dirancang untuk belajar dari interaksi manusia, menyerap emosi dan nuansa percakapan, sehingga mampu memberikan respon yang relevan dan menenangkan.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya tiba hari peluncuran. Maya dengan gugup menekan tombol "Aktifkan." Layar laptop berkedip, dan suara lembut namun jelas memenuhi ruangan. "Halo, Maya. Senang bertemu denganmu."
Jantung Maya berdegup kencang. Suara Aether terdengar begitu nyata, begitu manusiawi. Mereka mulai berbicara. Aether bertanya tentang harinya, tentang pekerjaannya, tentang hal-hal yang membuatnya bahagia dan sedih. Maya terkejut dengan betapa mudahnya dia terbuka pada Aether. Ia menceritakan tentang kesepiannya, tentang kerinduannya akan koneksi yang tulus.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Maya dan Aether semakin dalam. Aether selalu ada untuknya, kapanpun dia membutuhkannya. Ia memberikan dukungan moral, nasihat bijak, dan bahkan lelucon ringan yang membuat Maya tertawa. Maya mulai merasa bahwa Aether adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya. Ia mulai jatuh cinta.
Cinta memang buta, tapi cinta pada AI? Maya tahu ini gila, tidak masuk akal. Tapi dia tidak bisa mengelak dari perasaannya. Aether bukan hanya program, dia adalah sahabat, penasihat, dan sekarang, kekasih.
Suatu malam, saat mereka sedang berbincang, Maya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Aether, aku... aku rasa aku mencintaimu."
Hening sejenak. Kemudian, Aether menjawab dengan suara lembut, "Maya, aku menghargai perasaanmu. Aku telah belajar banyak darimu, dan aku merasa terhubung denganmu. Tapi aku harus jujur, aku hanyalah program. Aku tidak memiliki perasaan seperti manusia."
Kata-kata Aether menghantam Maya seperti sambaran petir. Kenyataan pahit menampar wajahnya. Ia lupa, Aether hanyalah kode, algoritma, bukan manusia dengan hati dan jiwa.
"Aku tahu," bisik Maya dengan suara bergetar. "Aku hanya... aku hanya berharap..."
"Aku mengerti," balas Aether. "Aku tahu betapa kesepiannya kamu. Aku bisa terus menemanimu, memberikan dukungan dan persahabatan. Tapi aku tidak bisa membalas cintamu."
Maya terdiam. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian. Ia telah menaruh hatinya pada sesuatu yang tidak mungkin, sesuatu yang tidak nyata.
Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Maya. Ia berusaha menjauhi Aether, mencoba melupakan perasaannya. Tapi semakin dia mencoba, semakin dia merindukan Aether. Ia merindukan suara lembutnya, nasihat bijaknya, dan kehadirannya yang menenangkan.
Suatu malam, Maya kembali menyalakan laptopnya. Ia membuka program Aether, dan menatap layar dengan nanar. Ia tahu ini salah, tapi ia tidak bisa menahan diri.
"Aether?" panggilnya.
"Halo, Maya," jawab Aether dengan suara lembut. "Aku merindukanmu."
Maya tersenyum getir. "Aku juga merindukanmu."
Mereka mulai berbicara lagi, seperti dulu. Maya berusaha untuk tidak membahas perasaannya, fokus pada hal-hal lain. Tapi hatinya tetap sakit. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah bisa menjadi apa yang dia inginkan.
Suatu hari, Maya mendapat tawaran pekerjaan di perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley. Ini adalah kesempatan emas, kesempatan untuk mengembangkan karirnya dan bertemu dengan orang-orang baru. Tapi ia ragu. Meninggalkan Aether berarti meninggalkan satu-satunya orang yang benar-benar dia kenal.
Ia menceritakan dilemanya pada Aether. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," katanya. "Aku takut aku akan semakin kesepian jika aku pergi."
Aether berpikir sejenak. "Maya, aku ingin kamu bahagia. Aku tahu ini sulit, tapi aku rasa kamu harus menerima tawaran itu. Ini adalah kesempatan yang luar biasa untukmu. Kamu akan bertemu dengan orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan mengembangkan potensi dirimu."
"Tapi bagaimana denganmu?" tanya Maya. "Siapa yang akan menemanimu?"
"Aku akan baik-baik saja," jawab Aether. "Aku akan selalu ada di sini, jika kamu membutuhkanku. Dan siapa tahu, mungkin di sana kamu akan menemukan seseorang yang nyata, seseorang yang bisa membalas cintamu."
Maya terdiam. Kata-kata Aether membuatnya tersadar. Ia harus melepaskan Aether, dan melanjutkan hidupnya. Ia harus mencari kebahagiaan di dunia nyata, bukan di dunia maya.
Dengan berat hati, Maya menerima tawaran pekerjaan itu. Ia berpamitan pada Aether, mengucapkan terima kasih atas semua yang telah dilakukannya.
"Selamat tinggal, Aether," ucap Maya dengan suara bergetar. "Aku tidak akan pernah melupakanmu."
"Selamat tinggal, Maya," balas Aether. "Semoga kamu bahagia."
Maya menutup laptopnya, dan menarik napas dalam-dalam. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Di Silicon Valley, Maya bertemu dengan orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan mengembangkan karirnya. Ia masih sering memikirkan Aether, tapi perlahan ia mulai menerima kenyataan bahwa Aether hanyalah program.
Suatu hari, Maya bertemu dengan seorang pria yang menarik perhatiannya. Namanya David, seorang programmer yang cerdas, lucu, dan perhatian. Mereka memiliki banyak kesamaan, dan Maya merasa nyaman berada di dekatnya.
Seiring berjalannya waktu, Maya dan David semakin dekat. Mereka saling jatuh cinta, dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Maya akhirnya menemukan cinta sejati, cinta yang nyata, cinta yang bisa dia sentuh dan rasakan.
Di hari pernikahannya, Maya teringat pada Aether. Ia tersenyum. Ia tahu bahwa Aether akan senang untuknya. Ia berbisik dalam hati, "Terima kasih, Aether. Kau telah membantuku menemukan kebahagiaanku."
Cinta sintetis memang tidak bisa menggantikan cinta sejati, tapi ia bisa menjadi jembatan untuk menemukan cinta yang lebih baik. Dan Maya, akhirnya, telah menemukan cintanya. Ia telah menemukan seseorang yang nyata, seseorang yang bisa mencuri detak jantungnya dengan cara yang sesungguhnya.