Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Nadia. Uapnya menari-nari di depan wajahnya, sedikit menghangatkan pipi yang terasa dingin. Di layar laptop, deretan kode program bergulir tanpa henti. Nadia mengernyit, matanya lelah menatap baris demi baris sintaks yang terasa semakin abstrak. Sudah tiga hari ini ia berkutat dengan algoritma kompleks ini.
"Project 'Aura'," bisiknya pada diri sendiri. Sebuah sistem kecerdasan buatan yang dirancangnya untuk mendeteksi dan menginterpretasikan emosi manusia melalui ekspresi wajah dan perubahan fisiologis mikro. Ambisius, memang. Tapi Nadia yakin, Aura bisa menjadi revolusi di dunia kesehatan mental.
Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk muncul di sudut kanan layar. Nama yang tertera membuat jantungnya berdebar. "Reyhan." Mantan kekasihnya.
Jari Nadia ragu-ragu menyentuh mouse. Reyhan, sang arsitek digital. Dulu, mereka adalah tim impian. Bersama, mereka menciptakan aplikasi dan platform inovatif. Bersama pula, mereka memimpikan masa depan yang cerah. Namun, mimpi itu hancur berkeping-keping setahun lalu, ketika ego dan ambisi membentur tembok keras realita.
Pesan itu singkat. "Nadia, aku butuh bantuanmu. Bisakah kita bertemu?"
Nadia menarik napas dalam-dalam. Pertemuan dengan Reyhan adalah kotak Pandora yang sebaiknya tidak dibuka. Tapi, ada nada putus asa dalam pesan itu yang membuatnya tidak bisa menolak.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang pernah menjadi tempat favorit mereka. Reyhan tampak lebih kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu selalu tertata rapi, kini terlihat berantakan.
"Terima kasih sudah datang," ucap Reyhan, suaranya serak.
Nadia hanya mengangguk, menunggu.
Reyhan menjelaskan bahwa ia sedang mengembangkan sebuah aplikasi untuk membantu penderita depresi. Aplikasi itu akan menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk memantau emosi pengguna dan memberikan dukungan personalisasi. Persis seperti Aura, tapi dengan fokus yang lebih spesifik.
"Aku tahu kamu sedang mengerjakan proyek serupa. Aku membutuhkan keahlianmu, Nadia. Algoritma yang kamu rancang pasti jauh lebih canggih," ujar Reyhan, matanya memohon.
Nadia terdiam. Ia merasa seperti tersambar petir. Reyhan, sang rival, sang mantan kekasih, memohon bantuannya. Ironi macam apa ini?
"Kenapa kamu tidak menggunakan timmu sendiri?" tanya Nadia, berusaha menahan emosi yang bergejolak di dadanya.
"Timku... tidak bisa. Mereka tidak memiliki pemahaman sedalam kamu tentang emosi. Kamu memiliki 'intuisi', Nadia. Intuisi yang tidak bisa digantikan oleh algoritma manapun," jawab Reyhan, menatapnya dengan tatapan yang dulu begitu dikenalnya.
Nadia tahu, ini bukan hanya soal algoritma. Ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin disampaikan Reyhan. Sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Ia menyetujui untuk membantu Reyhan. Bukan karena kasihan, bukan pula karena ingin membuktikan bahwa ia lebih baik. Tapi karena ia percaya pada potensi teknologi untuk membantu orang lain. Dan mungkin, di balik itu semua, ada secercah harapan untuk memperbaiki masa lalu.
Hari-hari berikutnya, mereka kembali bekerja bersama. Nadia mentransfer sebagian algoritmanya ke aplikasi Reyhan. Ia juga memberikan saran dan masukan untuk meningkatkan akurasi dan efektivitas sistem. Anehnya, bekerja dengan Reyhan terasa seperti dulu lagi. Mereka saling melengkapi, saling menginspirasi.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di benak Nadia. Ia melihat bahwa Reyhan sendiri tampak semakin tertekan. Ia sering kali menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, matanya merah karena kurang tidur. Ia juga menjadi lebih pendiam dan mudah tersinggung.
Suatu malam, saat mereka sedang bekerja hingga larut malam, Nadia memberanikan diri untuk bertanya.
"Reyhan, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sangat lelah," tanya Nadia, suaranya lembut.
Reyhan terdiam sesaat. Kemudian, ia menghela napas panjang.
"Aplikasi ini... ini lebih dari sekadar proyek, Nadia. Ini adalah cara saya untuk menebus kesalahan. Untuk memperbaiki apa yang sudah saya hancurkan," jawab Reyhan, suaranya bergetar.
Nadia mengerutkan kening. "Kesalahan apa?"
"Setelah kita berpisah, saya menyadari betapa bodohnya saya. Saya terlalu fokus pada ambisi saya sendiri, sehingga saya mengabaikan kamu. Saya menyakiti kamu, Nadia. Dan saya tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya," kata Reyhan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Nadia terkejut. Ia tidak pernah menyangka Reyhan akan mengakui kesalahannya. Selama ini, ia selalu mengira Reyhan adalah sosok yang keras kepala dan tidak mau mengakui kesalahan.
Nadia mendekat dan meraih tangan Reyhan. "Reyhan, sudah lama sekali. Kita berdua sudah berubah. Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri lagi," ucap Nadia, berusaha menenangkan Reyhan.
"Tidak, Nadia. Saya pantas disalahkan. Saya kehilangan orang yang paling saya cintai karena kebodohan saya sendiri," balas Reyhan, air matanya mulai menetes.
Nadia memeluk Reyhan. Ia merasakan tubuh Reyhan bergetar dalam pelukannya. Ia tahu, Reyhan sedang merasakan sakit yang mendalam.
"Aura," bisik Nadia. "Algoritma yang sedang saya kembangkan, bisa membaca emosi melalui ekspresi wajah dan perubahan fisiologis. Tapi, algoritma terbaik pun tidak bisa membaca air mata. Hanya hati yang bisa."
Ia melepaskan pelukannya dan menatap Reyhan dalam-dalam. "Kamu tidak perlu aplikasi untuk menebus kesalahanmu, Reyhan. Kamu hanya perlu jujur pada dirimu sendiri dan meminta maaf dengan tulus. Maaf yang datang dari hati."
Reyhan menatap Nadia dengan tatapan penuh harap. "Apakah kamu bisa memaafkanku, Nadia?"
Nadia tersenyum. "Saya sudah memaafkanmu sejak lama, Reyhan. Tapi, kamu harus memaafkan dirimu sendiri terlebih dahulu."
Malam itu, mereka berdua berbicara hingga matahari terbit. Mereka saling membuka diri, menceritakan penyesalan dan harapan mereka. Mereka menyadari bahwa meskipun masa lalu tidak bisa diubah, masa depan masih bisa ditulis ulang.
Aplikasi yang mereka kembangkan akhirnya diluncurkan dan mendapatkan sambutan positif. Namun, yang lebih penting adalah, mereka berdua menemukan kedamaian dalam diri mereka sendiri. Mereka belajar untuk memaafkan, untuk melupakan, dan untuk membuka hati bagi kemungkinan baru.
Cinta, seperti algoritma yang kompleks, membutuhkan iterasi dan debugging yang konstan. Butuh kesabaran, ketekunan, dan keberanian untuk mengakui kesalahan. Tapi, ketika semua elemen itu bersatu, cinta bisa menjadi kekuatan yang luar biasa, mampu menyembuhkan luka dan menciptakan kebahagiaan. Dan Nadia, akhirnya mengerti, bahwa kadang, algoritma terbaik bukanlah yang paling canggih, tetapi yang mampu membangkitkan kemanusiaan dalam diri kita.