Cinta, Piksel, dan Air Mata: Algoritma Patah Hati

Dipublikasikan pada: 10 Dec 2025 - 02:00:19 wib
Dibaca: 113 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, mengetik baris-baris kode dengan kecepatan yang membuat siapapun berdecak kagum. Di usia 25 tahun, ia adalah seorang lead programmer di "Amara", sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan. Ironis, pikirnya sambil menyesap kopi pahitnya. Menciptakan algoritma cinta, sementara hatinya sendiri terasa hancur berkeping-keping.

Dua tahun lalu, hidupnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan bersama Reno, seorang arsitek muda yang penuh semangat. Mereka bertemu di sebuah konferensi teknologi, bertukar pandang di antara presentasi tentang blockchain dan augmented reality. Reno, dengan senyumnya yang hangat dan mata coklatnya yang berbinar, berhasil mencuri hatinya dalam hitungan detik. Mereka merajut kisah cinta yang terasa sempurna, sebuah sinergi antara logika dan seni, antara algoritma dan desain.

Namun, kebahagiaan itu rapuh, seperti kode yang rentan terhadap bug. Reno mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri, sebuah kesempatan emas untuk mengembangkan karirnya. Anya mendukungnya sepenuh hati, meyakinkan diri bahwa jarak bukanlah penghalang bagi cinta sejati. Mereka berjanji untuk saling setia, untuk terus terhubung melalui panggilan video dan pesan singkat.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Mereka saling berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang tantangan dan pencapaian masing-masing. Namun, seiring berjalannya waktu, frekuensi komunikasi mereka mulai menurun. Reno semakin sibuk dengan pekerjaannya, Anya tenggelam dalam proyek-proyek ambisius di Amara. Perbedaan waktu dan kesibukan perlahan-lahan mengikis jalinan cinta mereka.

Puncak dari segalanya adalah ketika Anya menemukan foto Reno bersama seorang wanita lain di media sosial. Wanita itu cantik, anggun, dan terlihat sangat bahagia di samping Reno. Hati Anya hancur berkeping-keping. Ia mencoba menghubungi Reno, tetapi panggilannya tidak diangkat. Pesannya hanya dibaca tanpa balasan.

Malam itu, Anya menangis dalam diam di kamarnya. Air matanya membasahi bantal, menciptakan genangan kecil yang mencerminkan kehancuran hatinya. Ia merasa bodoh, naif, karena percaya pada cinta jarak jauh. Ia membenci dirinya sendiri karena telah memberikan seluruh hatinya kepada seseorang yang ternyata tidak bisa dipercaya.

Keesokan harinya, Anya datang ke kantor dengan mata sembab dan hati yang berat. Ia mencoba menyembunyikan kesedihannya di balik senyum palsu dan profesionalisme. Namun, rekan-rekannya bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sarah, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menariknya ke ruang istirahat.

"Anya, kamu kenapa? Matamu sembab sekali," tanya Sarah dengan nada khawatir.

Anya tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menceritakan semuanya kepada Sarah, tentang Reno, tentang foto itu, tentang patah hatinya. Sarah memeluknya erat, mencoba menenangkannya.

"Anya, aku tahu ini berat. Tapi kamu harus kuat. Kamu adalah wanita yang hebat, pintar, dan cantik. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dari Reno," kata Sarah dengan lembut.

Kata-kata Sarah sedikit menghibur Anya. Ia tahu Sarah benar. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit dan melanjutkan hidupnya.

Beberapa hari kemudian, Anya mendapat ide brilian. Ia ingin mengubah rasa sakit hatinya menjadi sesuatu yang bermanfaat. Ia ingin menciptakan sebuah algoritma yang bisa membantu orang lain mengatasi patah hati. Algoritma ini akan menganalisis data-data pribadi pengguna, seperti riwayat kencan, preferensi, dan kepribadian, untuk memberikan saran-saran yang personal dan efektif. Algoritma ini akan menjadi "terapis digital" yang siap mendengarkan keluh kesah pengguna dan memberikan solusi yang praktis.

Anya menamai algoritmanya "Phoenix", sebagai simbol kebangkitan dari keterpurukan. Ia mencurahkan seluruh energinya untuk mengembangkan Phoenix. Ia membaca buku-buku psikologi, mempelajari berbagai teknik terapi, dan melakukan riset tentang mekanisme kerja otak manusia dalam menghadapi patah hati. Ia ingin menciptakan algoritma yang tidak hanya cerdas, tetapi juga empatik.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Phoenix akhirnya selesai. Anya menguji algoritmanya pada dirinya sendiri dan beberapa teman dekatnya. Hasilnya sangat memuaskan. Phoenix mampu memberikan saran-saran yang tepat sasaran dan membantu mereka mengatasi patah hati mereka.

Aplikasi Amara kemudian mengintegrasikan Phoenix ke dalam sistem mereka. Hasilnya luar biasa. Tingkat kepuasan pengguna meningkat drastis. Banyak pengguna yang merasa terbantu oleh Phoenix dalam mengatasi masalah percintaan mereka.

Suatu malam, Anya sedang bekerja lembur di kantor. Ia membuka aplikasi Amara dan melihat statistik penggunaan Phoenix. Ia terkejut melihat bahwa Phoenix telah membantu ribuan orang di seluruh dunia. Ia merasa bangga dan terharu. Ia telah berhasil mengubah rasa sakit hatinya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Tiba-tiba, Anya mendapat notifikasi pesan dari Reno. Ia ragu untuk membukanya, tetapi rasa ingin tahunya terlalu besar. Ia membuka pesan itu dan membaca isinya.

"Anya, aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku minta maaf. Wanita di foto itu adalah sepupuku. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya padamu saat itu karena aku sedang mengalami masalah yang berat. Aku harap kamu bisa memaafkanku."

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa marah, kecewa, dan bingung. Ia sudah berusaha melupakan Reno dan melanjutkan hidupnya. Ia sudah menciptakan Phoenix untuk membantu orang lain mengatasi patah hati. Apakah Reno pantas mendapatkan kesempatan kedua?

Anya menutup laptopnya dan berdiri. Ia berjalan menuju jendela dan menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar dengan indahnya, mengingatkannya akan harapan dan kemungkinan baru. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Ia tahu, pilihan ada di tangannya. Ia bisa memaafkan Reno dan memberikan kesempatan kedua, atau ia bisa melupakannya dan melanjutkan hidupnya sendiri. Apapun keputusannya, ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Ia telah membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia adalah wanita yang kuat, pintar, dan mandiri. Ia adalah Anya, sang pencipta Phoenix, sang penakluk patah hati. Ia pantas mendapatkan cinta sejati, cinta yang tulus, cinta yang abadi. Dan ia yakin, cinta itu akan datang kepadanya, pada waktu yang tepat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI