Aplikasi itu bernama "SoulSync". Klaimnya bombastis: "Jodoh Impian, Algoritma yang Menentukan". Awalnya, aku hanya iseng mengunduhnya. Bosan dengan kencan-kencan buta yang selalu berakhir dengan kekecewaan, aku pikir, "Apa salahnya mencoba?" Apalagi setelah sahabatku, Rina, menemukan pasangannya melalui aplikasi ini, dan sekarang mereka sudah bertunangan.
Aku mengisi profil dengan jujur. Hobi membaca novel fiksi ilmiah, alergi terhadap kucing, menyukai kopi pahit tanpa gula, pekerjaan sebagai UI/UX designer di sebuah startup teknologi. Bahkan, aku mengunggah foto tanpa filter. Aku pasrah pada logika SoulSync.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul. "Selamat! SoulSync telah menemukan pasangan yang paling kompatibel untukmu: Ardiansyah, seorang data scientist." Aku mengernyit. Seorang data scientist? Terbayang sosok berkacamata tebal, serius, dan mungkin sedikit kaku. Tipeku lebih ke seniman atau musisi, yang punya jiwa bebas dan kreatif.
Profil Ardiansyah muncul di layar. Foto dirinya memperlihatkan seorang pria dengan senyum tipis, rambut disisir rapi, dan kemeja polos. Tertulis minatnya pada machine learning, neural networks, dan… catur. Aku mendesah. Klise. Benar-benar klise.
"Jangan langsung menilai, Na," Rina menasehati saat kami makan siang. "Kasih kesempatan. Siapa tahu dia menarik di balik penampilannya."
Dengan berat hati, aku menyetujui kencan pertama. Aku memilih sebuah kafe kecil dengan nuansa vintage, berharap suasana nyaman bisa mencairkan suasana.
Ardiansyah datang tepat waktu. Lebih tinggi dari yang kukira, dan ya, penampilannya memang sangat… precise. Dia memesan teh hijau tanpa gula. Aku memesan kopi hitam seperti biasa.
Percakapan awal terasa canggung. Dia menanyakan tentang pekerjaanku, aku bertanya tentang data science. Kami bertukar informasi seperti robot yang sedang memproses data. Tidak ada percikan. Tidak ada tawa spontan. Hanya fakta-fakta.
"SoulSync bilang, tingkat kecocokan kita 98%," ujarnya, memecah keheningan.
Aku tertawa hambar. "Mungkin algoritmanya salah."
Dia menatapku dengan serius. "Algoritma SoulSync sangat canggih. Data yang dikumpulkan sangat detail. Secara statistik, kita punya potensi hubungan yang sangat tinggi."
"Statistik tidak bisa menjamin perasaan, Ardiansyah," balasku. "Kamu mungkin sempurna di atas kertas, tapi hatiku tidak merasakannya."
Kencan itu terasa sangat panjang. Setelah satu jam, aku beralasan ada pekerjaan mendadak dan pamit. Aku merasa lega saat keluar dari kafe. Aku membenci SoulSync. Algoritma itu telah mempertemukanku dengan pria yang secara logis sempurna, tapi secara emosional, terasa hampa.
Beberapa hari kemudian, Ardiansyah menghubungiku lagi. Dia mengajakku ke pameran seni digital. Awalnya aku menolak, tapi dia terus membujuk. Akhirnya, aku setuju, berpikir mungkin ada sisi lain dari dirinya yang belum aku lihat.
Pameran itu cukup menarik. Instalasi seni yang interaktif, visual yang memukau. Aku menikmati melihat bagaimana teknologi dan seni berpadu. Ardiansyah, di luar dugaan, memberikan komentar yang cukup insightful tentang makna di balik beberapa karya seni. Dia bahkan tahu nama beberapa seniman yang karyanya dipamerkan.
Setelah pameran, kami makan malam di sebuah restoran Italia. Suasana lebih santai. Kami mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi. Tentang mimpi, tentang ketakutan, tentang harapan. Aku mulai melihat sisi lain dari Ardiansyah. Dia tidak sekaku yang kukira. Dia punya selera humor yang halus, dan dia pendengar yang baik.
Malam itu, setelah mengantarku pulang, Ardiansyah berdiri di depan pintu rumahku. "Na," ujarnya, ragu-ragu. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku menikmati menghabiskan waktu bersamamu. Aku… aku ingin mengenalmu lebih jauh."
Aku menatap matanya. Untuk pertama kalinya, aku melihat ada sesuatu di sana. Bukan hanya data dan logika, tapi juga ketulusan.
"Aku juga," jawabku pelan.
Setelah pertemuan itu, kami mulai berkencan secara teratur. Aku belajar bahwa Ardiansyah tidak hanya pandai dalam data science, tapi juga punya minat yang luas di bidang lain. Dia suka membaca buku-buku sejarah, dia bisa memainkan piano, dan dia punya koleksi vinyl yang mengagumkan. Dia tidak sempurna, tapi dia menarik.
Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku. Aku masih merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa hubungan kami "ditemukan" oleh algoritma. Aku merasa seperti sedang menjalani eksperimen, bukan hubungan yang nyata.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran tepi pantai, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku.
"Ardiansyah," kataku, "Aku senang kita bersama. Tapi aku masih merasa aneh tentang SoulSync. Aku merasa seperti… dipilihkan, bukan memilih."
Ardiansyah menghela napas. "Aku mengerti," ujarnya. "Aku juga sempat merasa seperti itu. Awalnya, aku percaya sepenuhnya pada logika SoulSync. Aku pikir, jika algoritma mengatakan kita cocok, maka kita pasti akan bahagia. Tapi kemudian aku sadar, algoritma hanya bisa memberikan starting point. Sisanya, tergantung pada kita."
Dia meraih tanganku. "Algoritma memang mempertemukan kita, Na. Tapi perasaan ini… ini nyata. Ini bukan hasil perhitungan. Ini adalah pilihan kita. Pilihan untuk saling mengenal, untuk saling mencintai."
Aku terdiam. Kata-katanya menyentuh hatiku. Aku mulai menyadari bahwa aku terlalu fokus pada bagaimana kami bertemu, dan melupakan apa yang kami rasakan.
Aku tersenyum. "Mungkin algoritma SoulSync tidak sepenuhnya salah," ujarku. "Mungkin dia hanya butuh sedikit bantuan dari hati kita."
Ardiansyah membalas senyumku. "Mungkin saja," ujarnya. "Tapi yang terpenting, kita di sini. Bersama."
Saat itu, aku tahu. Aku tahu bahwa aku mencintai Ardiansyah. Bukan karena algoritma, bukan karena statistik, tapi karena dia adalah dirinya sendiri. Aku telah menolak logikanya, tapi hatiku tidak bisa menolak perasaannya. Dan terkadang, hati memang lebih tahu dari logika. Aku tidak lagi membenci SoulSync. Mungkin, algoritma itu hanya perantara. Perantara untuk menemukan cinta yang sebenarnya.