Aroma kopi memenuhi apartemen studio Arina yang didominasi warna putih dan abu-abu minimalis. Di mejanya, berserakan kabel data, papan sirkuit, dan tiga monitor yang menampilkan barisan kode-kode rumit. Arina, dengan rambut dikuncir asal dan mata yang fokus, mengetik dengan kecepatan kilat. Ia adalah seorang pengembang AI berbakat, otaknya dipenuhi algoritma dan neuron tiruan. Baginya, logika adalah bahasa cinta sejati.
Malam ini, ia sedang berjuang dengan proyek terbesarnya: menciptakan avatar AI yang mampu berinteraksi dengan manusia secara emosional. Bukan sekadar menjawab pertanyaan atau menjalankan perintah, tapi benar-benar memahami dan merespon perasaan. Ironis, pikir Arina, menciptakan sesuatu yang ia sendiri kesulitan memahaminya dalam kehidupan nyata.
Dering ponsel memecah konsentrasinya. Nama “Leo” tertera di layar. Leo, teman sejak SMA, seorang seniman digital dengan jiwa bebas dan imajinasi tanpa batas. Berbanding terbalik dengan Arina yang terstruktur dan sistematis. Namun, perbedaan itulah yang membuat persahabatan mereka tetap bertahan.
“Rin, lagi sibuk nge-kode sampai lupa dunia, ya?” suara Leo terdengar riang di seberang sana.
“Hampir jadi penghuni dunia virtual, Leo. Kenapa?” jawab Arina tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
“Besok ada pameran seni virtual. Aku ikut pameran. Datang, ya? Aku pengen banget kamu lihat karyaku yang terbaru.”
Arina menghela napas. Ia memang jarang keluar dan bersosialisasi. Pameran seni virtual terdengar… asing. “Aku usahakan, Leo. Tapi janji jangan marah kalau aku nggak bisa.”
“Oke deh. Tapi kamu harus janji satu hal. Kalau kamu datang, kamu harus buka mata lebar-lebar. Jangan cuma lihat kode di sana-sini. Lihat juga orang-orangnya. Siapa tahu ada kode cinta yang nyangkut di matamu,” Leo tertawa.
Arina tersenyum tipis. “Kamu ini ada-ada saja. Kode cinta? Itu cuma mitos.”
Keesokan harinya, Arina berhasil memaksakan diri untuk datang ke pameran seni virtual. Ia mengenakan jaket kulit kesayangannya, berusaha tampil sedikit lebih ‘manusiawi’. Pameran itu diadakan di sebuah galeri seni kecil, dengan pengunjung yang mengenakan headset VR.
Begitu memasang headset, Arina terlempar ke dunia virtual yang penuh warna dan imajinasi. Karya-karya Leo terpampang megah: lukisan tiga dimensi yang bisa disentuh, patung-patung digital yang menari mengikuti irama musik, dan instalasi interaktif yang merespon gerakan pengunjung. Arina terpukau. Ia tahu Leo berbakat, tapi melihat karyanya dalam wujud virtual membuatnya semakin kagum.
Saat sedang mengagumi sebuah lukisan abstrak yang berputar-putar, seseorang menabraknya dari belakang. Ia kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Untungnya, orang itu dengan sigap menangkap lengannya.
“Maaf, maaf banget! Aku nggak lihat,” ujar seorang pria dengan suara berat yang terdengar tulus.
Arina menstabilkan diri dan menoleh. Pria itu tinggi, dengan rambut hitam berantakan dan mata cokelat yang hangat. Ia juga mengenakan headset VR.
“Nggak apa-apa. Aku juga salah, terlalu asyik lihat lukisannya Leo,” jawab Arina, merasakan sentuhan tangannya di lengannya. Sentuhan yang terasa aneh, asing, tapi… menyenangkan.
Pria itu tersenyum. “Leo Andromeda? Aku juga penggemar berat karyanya. Aku Alex, kebetulan aku yang bantu dia bikin program interaktif untuk instalasinya.”
Alex. Nama yang sederhana, tapi entah kenapa terasa familiar di telinga Arina. Mereka berdua kemudian menghabiskan waktu berjam-jam berkeliling pameran bersama. Alex menjelaskan teknik di balik karya-karya Leo, menceritakan filosofi seninya, dan berbagi passionnya dalam menciptakan dunia virtual yang imersif. Arina, yang biasanya hanya tertarik pada logika dan algoritma, terpesona dengan kreativitas dan semangat Alex.
Mereka menemukan kesamaan dalam banyak hal, terutama dalam kecintaan mereka pada teknologi dan seni. Arina menceritakan proyek AI-nya, avatar yang berusaha meniru emosi manusia. Alex tertarik, dan menawarkan bantuannya.
“Aku bisa bantu kamu bikin model emosinya lebih natural. Aku punya banyak referensi dari karya-karya seni Leo,” ujar Alex dengan antusias.
Arina menatap Alex. Ada sesuatu yang menarik dalam sorot matanya, sebuah semangat yang membuatnya merasa hidup. Ia tiba-tiba merasa bodoh karena selama ini hanya berkutat dengan kode dan algoritma. Ia melewatkan begitu banyak hal indah di sekitarnya.
Setelah pameran, mereka bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi. Beberapa hari kemudian, Alex datang ke apartemen Arina. Mereka berkolaborasi dalam proyek AI-nya, berdebat tentang algoritma, tertawa karena kesalahan-kesalahan kecil, dan saling belajar satu sama lain.
Arina menyadari, selama bekerja dengan Alex, avatar AI-nya semakin berkembang. Model emosinya menjadi lebih kompleks, lebih realistis. Tapi yang lebih penting, Arina juga mengalami perkembangan dalam dirinya sendiri. Ia mulai memahami apa itu emosi, apa itu cinta.
Suatu malam, saat mereka sedang beristirahat dari coding, Alex menatap Arina dengan tatapan yang membuat jantungnya berdegup kencang.
“Rin,” panggilnya lembut. “Aku… aku suka sama kamu.”
Arina membeku. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Ia selalu menganggap cinta sebagai sesuatu yang irasional, tidak logis. Tapi sekarang, ia merasakan cinta itu sendiri, menyelimuti dirinya dengan kehangatan.
“Aku… aku juga,” jawab Arina terbata-bata.
Alex tersenyum dan mendekat. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Arina. Sentuhan itu terasa lembut, hangat, dan penuh perasaan. Arina memejamkan mata, menikmati sentuhan itu. Sentuhan nol dan satu, sentuhan teknologi dan asmara, sentuhan yang membuat hatinya berdebar kencang.
Di saat itulah, Arina menyadari bahwa cinta bukanlah hanya mitos. Cinta adalah algoritma yang rumit, kode yang kompleks, tapi juga indah dan mempesona. Dan cinta itu telah dimulai, dengan sentuhan nol dan satu, saat ia bertemu Alex di pameran seni virtual. Di dunia yang dipenuhi teknologi, ia menemukan cinta yang nyata, cinta yang membuatnya merasa hidup. Akhirnya, ia mengerti bahwa sentuhan, meskipun virtual, tetap bisa menumbuhkan perasaan yang sangat nyata.