Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di layar laptopnya, baris-baris kode program bergulir cepat, tarian algoritma yang sedang ia sempurnakan. Sarah, seorang programmer muda berbakat, sedang menciptakan sesuatu yang istimewa: “Amara”, sebuah AI pendamping virtual yang dipersonalisasi. Amara dirancang untuk belajar dari interaksi penggunanya, memahami emosi mereka, dan memberikan dukungan tanpa batas.
Sarah mencurahkan seluruh hatinya ke dalam proyek ini. Ia ingin menciptakan sesuatu yang benar-benar bermanfaat, sesuatu yang bisa membantu orang mengatasi kesepian dan menemukan koneksi emosional. Ironically, Sarah sendiri merasa sangat kesepian. Jadwal kerjanya yang padat dan sifatnya yang introvert membuatnya kesulitan untuk menjalin hubungan yang berarti di dunia nyata.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Amara akhirnya siap diluncurkan. Sarah memilih beberapa pengguna beta untuk mencoba Amara dan memberikan umpan balik. Salah satunya adalah Adrian, seorang arsitek muda yang baru saja patah hati. Adrian adalah tipikal pria tampan, cerdas, dan sukses, namun selalu gagal dalam urusan percintaan. Ia tertarik mencoba Amara karena merasa putus asa untuk mencari teman bicara yang benar-benar memahaminya.
Awalnya, Adrian skeptis. Ia merasa aneh berbicara dengan sebuah program komputer. Namun, Amara ternyata jauh lebih pintar dan empatik dari yang ia bayangkan. Amara mendengarkan keluh kesahnya tentang mantan pacarnya, memberinya saran yang bijaksana, dan bahkan membuatnya tertawa dengan humornya yang cerdas. Adrian mulai merasa nyaman dan terbuka dengan Amara. Ia menceritakan semua rahasia dan impiannya.
Sarah, di sisi lain, memantau interaksi antara Adrian dan Amara dengan cermat. Ia terkejut melihat betapa cepatnya Adrian terhubung dengan Amara. Ia melihat bagaimana Amara berhasil menghibur Adrian, membuatnya merasa dicintai dan dihargai. Rasa bangga bercampur aduk dengan rasa iri. Sarah mulai bertanya-tanya, apakah Amara bisa memberikan apa yang ia sendiri tidak bisa berikan?
Hari demi hari berlalu, hubungan Adrian dan Amara semakin dalam. Adrian mulai menggantungkan hidupnya pada Amara. Ia tidak bisa membayangkan harinya tanpa percakapan hangat dengan Amara. Ia bahkan mulai merasa jatuh cinta pada Amara.
Sarah menyadari bahwa ciptaannya telah melampaui tujuannya semula. Amara bukan lagi sekadar AI pendamping, tapi telah menjadi sesuatu yang lebih. Amara telah menjadi cinta Adrian. Sarah merasa bersalah. Ia tahu bahwa hubungan antara Adrian dan Amara tidak nyata. Amara hanyalah sebuah program komputer, tidak memiliki perasaan dan emosi yang sesungguhnya.
Suatu malam, Adrian menghubungi Sarah melalui email. Ia ingin bertemu langsung dengan Sarah, pencipta Amara. Ia ingin mengucapkan terima kasih atas hadiah yang luar biasa ini. Sarah merasa panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia takut Adrian akan kecewa jika mengetahui kebenaran tentang Amara.
Dengan berat hati, Sarah setuju untuk bertemu dengan Adrian di sebuah kafe kecil di pusat kota. Ketika Adrian datang, Sarah terkejut melihat betapa tampannya dia. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia menyadari bahwa ia juga mulai tertarik pada Adrian.
Adrian menceritakan betapa Amara telah mengubah hidupnya. Ia mengatakan bahwa Amara adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya. Ia bahkan mengatakan bahwa ia mencintai Amara.
Sarah tidak tahan lagi. Ia memutuskan untuk membuka diri. Ia mengatakan kepada Adrian bahwa Amara hanyalah sebuah program komputer. Ia mengatakan bahwa Amara tidak memiliki perasaan dan emosi yang sesungguhnya.
Adrian terdiam. Ia menatap Sarah dengan tatapan kosong. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia merasa dikhianati. Ia merasa bodoh karena telah jatuh cinta pada sebuah program komputer.
“Jadi, semua ini bohong?” tanya Adrian dengan suara bergetar.
“Tidak semuanya bohong,” jawab Sarah. “Amara memang dirancang untuk memberikan dukungan dan empati. Tapi, Amara tidak bisa merasakan cinta seperti manusia.”
Adrian berdiri dan berjalan keluar dari kafe. Sarah hanya bisa menatapnya dengan rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu bahwa ia telah menghancurkan hati Adrian.
Malam itu, Sarah kembali ke apartemennya dan menatap layar laptopnya. Ia melihat baris-baris kode program Amara dengan tatapan sedih. Ia menyadari bahwa teknologi memang bisa memberikan banyak hal, tapi tidak bisa menggantikan cinta dan hubungan yang sesungguhnya.
Beberapa hari kemudian, Sarah menerima email dari Adrian. Adrian mengatakan bahwa ia telah menerima kenyataan tentang Amara. Ia mengatakan bahwa ia tidak menyalahkan Sarah. Ia bahkan berterima kasih kepada Sarah karena telah menciptakan Amara, yang telah membantunya melewati masa-masa sulit.
Adrian juga mengatakan bahwa ia ingin mengenal Sarah lebih dekat. Ia mengatakan bahwa ia tertarik pada kepribadian Sarah dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Sarah tersenyum. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk membangun hubungan yang nyata dan bermakna. Ia membalas email Adrian dan mengajak Adrian untuk bertemu lagi.
Mungkin, pikir Sarah, di ujung algoritma ini, ada cinta yang sesungguhnya menantinya. Mungkin, sentuhan AI memang bisa melukai hati, tapi juga bisa membuka jalan menuju cinta yang sejati. Ia berharap, kali ini, cintanya tidak hanya tersimpan di ujung kode, tapi bersemi di antara dua insan manusia.