Jemari Riana menari di atas keyboard, menciptakan baris-baris kode yang rumit. Di layar laptopnya, sebuah aplikasi kencan berbasis AI, "Soulmate 2.0," hampir selesai. Riana, seorang programmer jenius di usia 28 tahun, mendedikasikan hidupnya untuk menyempurnakan algoritma cinta. Baginya, cinta adalah serangkaian data, pola, dan variabel yang bisa dipecahkan. Ia yakin Soulmate 2.0 akan menjadi kunci untuk menemukan pasangan ideal, bukan hanya berdasarkan preferensi dangkal, tapi juga kompatibilitas emosional dan intelektual yang mendalam.
Namun, ironi menghantui Riana. Di balik keahliannya merancang algoritma cinta, ia sendiri masih sendiri. Berkencan baginya adalah serangkaian kegagalan yang membosankan. Profil di aplikasi kencan konvensional terasa hambar, percakapan terasa dipaksakan, dan koneksi sejati selalu luput dari genggamannya. Ia terlalu sibuk menganalisis, terlalu fokus pada detail, hingga lupa merasakan apa itu getaran asmara yang sesungguhnya.
Suatu malam, ketika sedang memvalidasi kode Soulmate 2.0, Riana menemukan bug aneh. Aplikasi itu secara misterius menyarankan dirinya untuk berkencan dengan… Dito.
Dito adalah tetangga Riana di apartemen. Seorang fotografer freelance yang selalu berisik dengan suara shutter kameranya. Dito adalah antitesis dari tipe ideal Riana. Ia spontan, berantakan, dan sangat analog. Riana selalu menganggapnya sebagai sosok yang kurang serius dan terlalu bebas. Ia lebih menyukai pria dengan karir mapan, stabil secara finansial, dan memiliki visi yang jelas tentang masa depan. Dito, dengan rambut gondrongnya dan sandal jepit lusuhnya, jelas bukan kriteria itu.
"Mustahil," gumam Riana, menatap profil Dito yang terpampang di layar. Aplikasi itu memaparkan persentase kecocokan yang mencengangkan: 98%. Padahal, Riana bahkan belum pernah berbicara lebih dari lima menit dengan Dito.
Awalnya, Riana menganggapnya sebagai kesalahan algoritma. Namun, semakin ia meneliti, semakin ia menemukan detail-detail kecil yang membuatnya terkejut. Algoritma itu mendeteksi kesamaan minat dalam musik indie, apresiasi terhadap film klasik, dan bahkan kecintaan mereka pada kopi hitam tanpa gula. Data-data yang, secara sadar, tak pernah ia ungkapkan pada siapapun.
Riana memutuskan untuk mengabaikan rekomendasi Soulmate 2.0. Ia meyakinkan dirinya bahwa algoritma, secanggih apapun, tetaplah algoritma. Cinta tidak bisa direduksi menjadi angka dan statistik.
Namun, entah kenapa, sosok Dito mulai mengusik pikirannya. Ia jadi lebih sering memperhatikan Dito ketika berpapasan di lorong apartemen. Ia mendengar tawa Dito saat menerima telepon, melihat bagaimana ia memotret bunga di balkonnya dengan penuh perhatian. Perlahan, Riana mulai melihat Dito bukan sebagai gangguan, tapi sebagai individu yang unik dan menarik.
Suatu sore, Riana sedang kesulitan memindahkan pot besar berisi tanaman hias ke balkonnya. Ia sudah mencoba berbagai cara, tapi pot itu terlalu berat. Tiba-tiba, Dito muncul di depan pintunya.
"Butuh bantuan?" tanya Dito sambil tersenyum.
Riana, yang biasanya menolak bantuan dari siapapun, entah kenapa mengangguk. Dengan mudah, Dito mengangkat pot itu dan meletakkannya di balkon.
"Terima kasih," kata Riana, sedikit canggung.
"Sama-sama," balas Dito. "Tanaman yang bagus. Bunga apa itu?"
Percakapan singkat itu berlanjut. Mereka berbicara tentang tanaman, tentang fotografi, tentang kopi. Riana terkejut mendapati dirinya merasa nyaman dan rileks di dekat Dito. Ada sesuatu yang otentik dan jujur dalam diri Dito, yang membuatnya merasa tenang.
Hari-hari berikutnya, Riana dan Dito semakin dekat. Mereka sering minum kopi bersama di balkon, bertukar cerita tentang mimpi dan harapan masing-masing. Riana mulai melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Ia belajar untuk tidak terlalu terpaku pada rencana dan ekspektasi, untuk menikmati momen-momen kecil dalam hidup.
Suatu malam, Dito mengajak Riana ke pameran foto karyanya. Riana terpukau dengan keindahan foto-foto Dito. Ia melihat dunia melalui lensa mata Dito, dunia yang penuh warna, detail, dan emosi.
Setelah pameran, mereka berjalan-jalan di taman kota. Bulan bersinar terang di langit malam. Dito berhenti di bawah pohon rindang dan menatap Riana dengan tatapan lembut.
"Riana," kata Dito, suaranya pelan. "Aku... aku menikmati waktu yang kita habiskan bersama. Aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita."
Riana terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu bahwa Dito akan menciumnya.
Dan Dito melakukannya. Ciuman itu lembut, hangat, dan penuh perasaan. Bukan ciuman yang dianalisis secara logis, bukan ciuman yang diprediksi oleh algoritma, tapi ciuman yang terasa nyata, spontan, dan magis.
Saat bibir mereka bersentuhan, Riana merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bukan sekadar koneksi intelektual, tapi koneksi jiwa. Ia merasakan kebahagiaan, kerentanan, dan rasa memiliki.
Malam itu, Riana menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu menemukan potensi pasangan, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar data dan statistik. Cinta membutuhkan keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, dan untuk menerima orang lain apa adanya.
Riana masih terus mengembangkan Soulmate 2.0. Namun, kini, ia tidak lagi percaya bahwa cinta bisa direduksi menjadi serangkaian kode. Ia tahu bahwa sentuhan nyata, tawa lepas, dan tatapan mata yang tulus adalah bagian penting dari algoritma asmara yang sejati. Dan, yang terpenting, ia belajar untuk membiarkan hatinya memimpin, bukan hanya pikirannya. Karena, terkadang, cinta yang paling tak terduga adalah cinta yang paling indah.